Rabu, 01 Februari 2017

Contoh Essay The Best For LPDP


ini ni sob, contoh Essay yang bangus buat referensi. Essay ini milik temanku yang lolos LPDP. isinya sangat menginspirasi dan bagus banget. selamat membaca sob..
 

Essay Sukses Terbesar Dalam Hidupku
Pendidikan untuk Keluarga adalah Suksesku

Muhammad Syahid dan Mariani Idris adalah orang tua yang selalu mengawal kesuksesan saya.Walaupun mereka bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) namun tetap mengutamakan pendidikan di atas segalanya bagi ke-4 anaknya. Rumah petak kecil di Purwokerto menjadi saksi bagaimana orang tua saya lebih merelakan “berbeda” dengan kebanyakan orang seusianya yang sudah dapat membangun rumah sendiri demi melihat semua anaknya menyandang gelar sarjana. Konsentrasi dalam pendidikan ini dibuktikan dengan menyekolahkan kami semua di Solo ketika SMU agar kami mandiri. Namun, semua diharuskan kembali lagi ke kampung halaman ketika kuliah untuk menghemat pengeluaran. Syaratnya, kami harus masuk ke fakultas ternama di Universitas Jenderal Soedirman, satu-satunya universitas negeri di Purwokerto.

Sebagai anak pertama, saya akhirnya diterima di Fakultas Kedokteran yang terkenal “mahal” dengan keringanan atas prestasi dan nilai ujian masuk yang baik. Walau begitu, saya bersimpuh menangis meminta izin agar tetap diperbolehkan melanjutkan jurusan FK karena saat itu saya sudah diterima di jurusan Hubungan Internasional Uiversitas Jember. Pasalnya, saya tidak dapat memaksakan diri atas kondisi keuangan orang tua yang masih harus membiayai ketiga adik saya. Hingga akhirnya mama mengizinkan saya lantaran percaya bahwa saya adalah “anak doa”. Berbekal “anak doa”, mama yakin saya akan lulus entah bagaimana caranya nanti mereka mencari uang. Akhirnya saya tahu bahwa orang tua saya “menyekolahkan SK PNS” demi saya. Saya melewati masa-masa berat dimana saya akhirnya lulus menjadi dokter dalam 7,5 tahun. Saya merasakan getirnya menjadi orang pas-pasan yang memaksakan diri berprestasi di kedokteran. Saya bekerja paruh waktu, berorganisasi, berlomba hingga menang, serta mengejar beasiswa belajar di berbagai negara. Apapun saya kerjakan saat itu untuk menghasilkan uang dan mendapatkan keringan SPP karena pada saat bersamaan adik saya juga kuliah di Fakultas Hukum. Hingga akhirnya, saya dan adik pertama saya lulus bersamaan.
Setelah lulus, saya resmi menggantikan peran orang tua yang telah pensiun dalam membiayai kedua adik saya di Fakultas Pertanian dan Agama yang masih tingkat awal. Tiga tahun saya bekerja di pelosok dan jauh dari keluarga hanya demi melihat adik saya tidak lagi merasakan kesulitan ketika kuliah. Saya berharap akhir 2014 tugas penting ini dapat terselesaikan dengan sempurna ketika adik saya yang yang terakhir diwisuda. Bangga sekaligus senang dapat menyisihkan 80 % dari gaji untuk membiayai kuliah dan menghidupi keluarga sementara sisanya ditabung untuk sebuah mimpi yang tidak pernah padam bahwa suatu hari saya dapat melanjutkan spesialisasi yang ratusan juta itu.
Saat ini saya mungkin belum di jenjang sukses menjadi spesialis, namun melihat seluruh adik saya lulus kuliah adalah kesuksesan terbesar saat ini. Apalagi ketika melihat mereka satu persatu mulai bekerja sesuai bidang yang mereka sukai. Saya dapat tersenyum puas walau masih ada pekerjaan rumah lainnya yaitu memotivasi mereka untuk terus kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. “Education is a pill for curing poverty” selalu saya tekankan karena obat mujarab memang pahit namun menyehatkan. Saya percaya pendidikan adalah investasi terbesar untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan mencari kekayaan batin. Ini bukan hal mudah mengingat paradigma sebagian besar kesuksesan di Indonesia masih diukur dari harta kekayaan.
Saya merasakan hal itu karena dibandingkan dengan rekan dokter lainnya yang sudah dapat mengaplikasikan hasil kerja mereka dalam bentuk rumah atau kendaraan, saya masih belum memiliki “apa-apa” yang terlihat secara fisik. Kenyataannya, saya telah meraih harta paling berharga yaitu menuntaskan janji saya kepada orang tua untuk membimbing saudara saya. Saya tidak pernah melupakan pelukan Mama dengan mata berkaca-kaca mengucapkan terima kasih hingga akhirnya tidak ada lagi suara selain isak tangis kita berdua ketika satu persatu adik saya lulus. Setidaknya, hanya ini yang mampu saya lakukan atas perjuangan orang tua saya menjadikan saya dokter dengan keringat dan darah mereka. Setelah ini, saya tahu kesuksesan saya harus diraih lagi dengan belajar di bangku spesialisasi. Seperti asal kata dokter dari doctore yang artinya mengajar, saya berharap menjadi spesialis anak dapat membuat saya berbagi ilmu lebih banyak lagi dengan hal lebih spesifik. Perlahan saya “mengajar” dan menyederhanakan bahasa medis dengan berbagi tulisan, foto, juga video melalui tulisan ringan di kanal jurnalistik online bernama Kompasiana (cabang Kompas) sejak 2009. Saya pun merasa sukses menjadi penulis karena tulisan bertemakan kesehatan masyarakat pelosok saya seringkali menjadi Headline di kompasiana, kompas online, maupun kompas cetak. Saya percaya kekuatan menulis ini nantinya akan membantu saya meniti kesuksesan menjadi spesialis anak, membuktikan kembali bahwa saya memang “anak doa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar