Langkah kakiku terayun memasuki pasar tradisional, membawa
keranjang berisi sayuran yang baru kupetik subuh tadi. Dengan semangat kususun
sayuran itu di atas meja dagangan, masih jam enam seperempat, wajar saja bila
pasar belum terlalu ramai.
Aku membersihkan sekitar tempat berdagang dengan sapu lidi.
Beginilah pekerjaanku, berdagang di pasar demi membantu
membiyayai sekolah adik bungsu yang baru kelas enam sd. Sebentar lagi dia ujian
nasional, butuh peralatan lengkap. Seperti pensil 2b, penghapus, dan
perlengkapan ujian lainnya.
.
"Mbak Ashna, kangkungnya satu ikat ya."
Suara itu membuat aku menoleh, seorang ibu dengan jilbab
yang rapih tengah memilah-milah daganganku.
Aku tersenyum, "Silahkan dipilih, Bu. Sendirian ke
pasarnya?"
Ibu itu mengangguk, "Iya nih, Mbak. Soalnya ... anakku
kuliahnya pagi."
Aku kembali tersenyum, saat ibu itu menyodorkan seikat
kangkung dan seikat bayam untuk kubungkus. Aku memasukan kangkung dan bayam itu
ke dalam kantong plastik, lalu menyerahkannya pada sang ibu.
"Berapa, Mbak?"
"Kangkungnya dua ribu, bayamnya dua ribu lima
ratus." jawabku.
Ibu itu menyerahkan selembar uang lima ribuan, "Ini,
Mbak."
Aku menerimanya, "Alhamdulillah, terimakasih, Bu. Lima
ratusnya saya kasih masako, ya."
Si ibu tersenyum, "Iya Mbak, gak apa-apa."
.
Aku tersenyum, sudah ada pelaris pagi ini. Setidaknya
daganganku sudah berkurang, tak tega rasanya saat melihat ibu yang terbaring
lemah tanpa daya di tempat tidur. Ayah sudah mangkat empat tahun yang lalu,
tidak meninggalkan apapun, kecuali hanya sepetak tanah yang kutanami sayuran
dan sebuah rumah mungil yang kami tempati.
Sebagai anak sulung, hatiku terpanggil untuk berjuang
menafkahi keluarga. Aku hanya tiga bersaudara, adikku yang laki-laki telah
merantau ke Jakarta, umurnya baru sembilan belas tahun, tiga tahun di bawahku.
Sementara adik perempuanku si bungsu, baru berusia dua belas
tahun.
.
Menjelang pukul sepeuluh pagi, aku tersenyum daganganku
tinggal tersisa tiga ikat. Satu ikat bayam dan dua ikat kangkung, aku harus
pulang, biarlah bayam dan kangkung ini kutitip di tempat mbok Darmi.
"Mbok, titip bayam sama kangkungku ya, aku mau
pulang."
Mbok Darmi mengangguk, "Mpun telas toh, Cah Ayu?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Inggih Mbok,
sampun."
Mbok Darmi membungkus beberapa buah tempe dan tahu, lalu
menyerahkannya padaku.
Aku hanya menerimanya, "Pinten, Mbok?"
"Oalah, Mpun. Ndak usah bayar." sahut Mbok Darmi
sambil tersenyum.
"Subhanallah, matur suwun tenan niki, Mbok."
haturku.
.
Aku melangkah pulang, membawa keranjang berisi beras dua
kilo, tempe dan tahu pemberian mbok Darmi, dan satu kilo minyak goreng.
Senyum terlukis di bibirku yang aku yakin kering, karna aku
belum meminum seteguk air pun pagi ini.
Saat tiba di rumah, segera ku buatkan teh untuk ibu dan
membantu beliau minum obat.
Tubuh kurusnya, membuat beliau terlihat renta di usianya
yang baru empat puluh delapan tahun. Setelah membantu ibu minum obat, aku
beranjak ke dapur untuk memasak bahan makanan yang tadi aku beli.
.
Seringkali aku iri melihat mereka yang hidup berkecukupan,
sementara aku, berkecimpung dalam tantangan kehidupan yang keras. Tapi ... ah,
sudahlah! Hidup sederhana seperti ini pun aku sudah bahagia, karna masih
memiliki dia, ya ... dia sosok yang kupanggil ibu.
Sesulit apapun, asalkan berkah Allah menyertai. Karna berkah
bukanlah dari seberapa banyak uang yang kumiliki, tapi ... seberapa besar makna
dan manfaatnya, serta seberapa besar rasa syukur yang dapat aku panjatkan.
Uang dua juta, belum tentu berkah saat kita memilikinya.
Kenapa? Karna belum tentu kita ingat Allah saat menggenggam uang sebanyak itu.
Berkah bukan diukur dari seberapa sering kita untung, tapi
... seberapa syukur dan qana'ah kita ketika mengalami rugi.
***
Komunitas Bisa Menulis
Lampung, 300317
Tidak ada komentar:
Posting Komentar