Sabtu, 06 Mei 2017

CERPEN, Antara Berkah dan Tantangan Kehidupan ...

Antara Berkah dan Tantangan Kehidupan ...

Langkah kakiku terayun memasuki pasar tradisional, membawa keranjang berisi sayuran yang baru kupetik subuh tadi. Dengan semangat kususun sayuran itu di atas meja dagangan, masih jam enam seperempat, wajar saja bila pasar belum terlalu ramai.
Aku membersihkan sekitar tempat berdagang dengan sapu lidi.
Beginilah pekerjaanku, berdagang di pasar demi membantu membiyayai sekolah adik bungsu yang baru kelas enam sd. Sebentar lagi dia ujian nasional, butuh peralatan lengkap. Seperti pensil 2b, penghapus, dan perlengkapan ujian lainnya.
.
"Mbak Ashna, kangkungnya satu ikat ya."
Suara itu membuat aku menoleh, seorang ibu dengan jilbab yang rapih tengah memilah-milah daganganku.
Aku tersenyum, "Silahkan dipilih, Bu. Sendirian ke pasarnya?"
Ibu itu mengangguk, "Iya nih, Mbak. Soalnya ... anakku kuliahnya pagi."
Aku kembali tersenyum, saat ibu itu menyodorkan seikat kangkung dan seikat bayam untuk kubungkus. Aku memasukan kangkung dan bayam itu ke dalam kantong plastik, lalu menyerahkannya pada sang ibu.
"Berapa, Mbak?"
"Kangkungnya dua ribu, bayamnya dua ribu lima ratus." jawabku.
Ibu itu menyerahkan selembar uang lima ribuan, "Ini, Mbak."
Aku menerimanya, "Alhamdulillah, terimakasih, Bu. Lima ratusnya saya kasih masako, ya."
Si ibu tersenyum, "Iya Mbak, gak apa-apa."
.
Aku tersenyum, sudah ada pelaris pagi ini. Setidaknya daganganku sudah berkurang, tak tega rasanya saat melihat ibu yang terbaring lemah tanpa daya di tempat tidur. Ayah sudah mangkat empat tahun yang lalu, tidak meninggalkan apapun, kecuali hanya sepetak tanah yang kutanami sayuran dan sebuah rumah mungil yang kami tempati.
Sebagai anak sulung, hatiku terpanggil untuk berjuang menafkahi keluarga. Aku hanya tiga bersaudara, adikku yang laki-laki telah merantau ke Jakarta, umurnya baru sembilan belas tahun, tiga tahun di bawahku.
Sementara adik perempuanku si bungsu, baru berusia dua belas tahun.
.
Menjelang pukul sepeuluh pagi, aku tersenyum daganganku tinggal tersisa tiga ikat. Satu ikat bayam dan dua ikat kangkung, aku harus pulang, biarlah bayam dan kangkung ini kutitip di tempat mbok Darmi.
"Mbok, titip bayam sama kangkungku ya, aku mau pulang."
Mbok Darmi mengangguk, "Mpun telas toh, Cah Ayu?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Inggih Mbok, sampun."
Mbok Darmi membungkus beberapa buah tempe dan tahu, lalu menyerahkannya padaku.
Aku hanya menerimanya, "Pinten, Mbok?"
"Oalah, Mpun. Ndak usah bayar." sahut Mbok Darmi sambil tersenyum.
"Subhanallah, matur suwun tenan niki, Mbok." haturku.
.
Aku melangkah pulang, membawa keranjang berisi beras dua kilo, tempe dan tahu pemberian mbok Darmi, dan satu kilo minyak goreng.
Senyum terlukis di bibirku yang aku yakin kering, karna aku belum meminum seteguk air pun pagi ini.
Saat tiba di rumah, segera ku buatkan teh untuk ibu dan membantu beliau minum obat.
Tubuh kurusnya, membuat beliau terlihat renta di usianya yang baru empat puluh delapan tahun. Setelah membantu ibu minum obat, aku beranjak ke dapur untuk memasak bahan makanan yang tadi aku beli.
.
Seringkali aku iri melihat mereka yang hidup berkecukupan, sementara aku, berkecimpung dalam tantangan kehidupan yang keras. Tapi ... ah, sudahlah! Hidup sederhana seperti ini pun aku sudah bahagia, karna masih memiliki dia, ya ... dia sosok yang kupanggil ibu.
Sesulit apapun, asalkan berkah Allah menyertai. Karna berkah bukanlah dari seberapa banyak uang yang kumiliki, tapi ... seberapa besar makna dan manfaatnya, serta seberapa besar rasa syukur yang dapat aku panjatkan.
Uang dua juta, belum tentu berkah saat kita memilikinya. Kenapa? Karna belum tentu kita ingat Allah saat menggenggam uang sebanyak itu.
Berkah bukan diukur dari seberapa sering kita untung, tapi ... seberapa syukur dan qana'ah kita ketika mengalami rugi.

***

Risha F Alam (Riri)
Komunitas Bisa Menulis
Lampung, 300317

Tidak ada komentar:

Posting Komentar