Sabtu, 06 Mei 2017

CERPEN, KISAH

Kisah

Hujan kian deras, jalanan banjir, pengendara motor dan pejalan kaki bergegas menepi ke emperan toko, duduk di cafe, kantin, atau rumah makan di sepanjang jalan Jenderal Sudirman ini.
.
''Uhh, hujannya awet. Mana perutku lapar lagi'' aku menoleh menatapnya, ini yang kesekian kalinya ia mengeluh. Tangan memeluk lutut, rambutnya yang gondrong sedikit basah oleh tempias air hujan.
.
''Hmm, itu diseberang jalan ada warung bakso, Mas mau ke sana?'' aku bertanya, menatapnya dengan senyum.
.
''Aku tahu, Wie. Itu di seberang ada warung bakso. Tapi lihatlah...'' Ia merogoh kantong celana jeansnya, mengeluarkan selembar uang lusuh.
.
''Hanya tinggal lima ribu, ini pun untuk ongkos angkot kita nanti.'' Aku tertawa, iya aku tahu dia lapar. Jam segini biasanya kami sudah sampai di rumah, makan atau sedang minum teh hangat berdua di beranda rumah. Hujan kali ini membuat telat, angkot tidak lewat dan kami tertunda pulang di depan toko tempat kami bekerja.
.
''Aku masih punya uang lima ribu. Kalau digabungkan dengan uang Mas, cukup untuk membeli semangkuk bakso.'' Tawarku, sembari mengeluarkan selembar uang dari kantong baju gamis. Ia menoleh, bibirnya tertawa tanpa suara. Menarik sekali dipandanganku, gigi putihnya berbaris rapi. Ia terlihat tampan.
.
''Dewi sayang, cukup semangkuk bakso, tapi nanti kita pulang, bagaimana?''
.
''Kenapa bagaimana? Kita jalan kaki saja. Memutar dari gang yang tembus ke belakang kontrakan kita, Mas.'' Aku menjawab yakin, tertawa kecil.
.
''Ahh tidak, kemaren kita pulang jalan. Dan Dewi mengeluh cape, betisnya pegal. Malam jadi susah tidur.'' Ia tertawa mengingat itu.
.
''Baiklah, nanti Mas gendong aku. Jadi tidak ada keluhan cape lagi.'' Ia menatapku...
Aku suka, tatapan matanya membuatku yakin semua baik-baik saja, selalu begitu.
.
''Oke, kalau begitu. Yuk kita makan bakso.'' Ia menggandeng tanganku, menerobos hujan berlari ke arah warung bakso.
.
Beberapa mata menatap curi-curi, senyum-senyum melihat kami makan satu mangkok berdua. Romantis fikir mereka, ah tidak tahu saja, ini karna keadaan. Mata kami saling tatap, tawa kami tahan, ia menyuap mie dan bulatan daging dengan santai, aku menyendok kuahnya. Sesekali ia menyuapiku, bahagia rasa dalam dadaku, biar ini teramat irit.
* * *
Itu kisah lima tahun lalu... Saat kami masih sama-sama bekerja di toko. Kini, kami telah sukses, mempunyai bisnis besar sendiri. Maka tiada lagi acara makan semangkuk berdua. Hidangan penuh satu meja. Meja panjang yang memberi jarak antara ia dan aku. Tak ada lagi suapan, tidak lagi makan sembari bertukar senyum. Karna ia atau aku makan dan sibuk dengan gadget masing-masing.
Benarkah ini sukses?

Dewi Yuslimah
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 20 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar