Kisah
Hujan kian deras, jalanan banjir, pengendara motor dan
pejalan kaki bergegas menepi ke emperan toko, duduk di cafe, kantin, atau rumah
makan di sepanjang jalan Jenderal Sudirman ini.
.
''Uhh, hujannya awet. Mana perutku lapar lagi'' aku menoleh
menatapnya, ini yang kesekian kalinya ia mengeluh. Tangan memeluk lutut,
rambutnya yang gondrong sedikit basah oleh tempias air hujan.
.
''Hmm, itu diseberang jalan ada warung bakso, Mas mau ke
sana?'' aku bertanya, menatapnya dengan senyum.
.
''Aku tahu, Wie. Itu di seberang ada warung bakso. Tapi
lihatlah...'' Ia merogoh kantong celana jeansnya, mengeluarkan selembar uang
lusuh.
.
''Hanya tinggal lima ribu, ini pun untuk ongkos angkot kita
nanti.'' Aku tertawa, iya aku tahu dia lapar. Jam segini biasanya kami sudah
sampai di rumah, makan atau sedang minum teh hangat berdua di beranda rumah.
Hujan kali ini membuat telat, angkot tidak lewat dan kami tertunda pulang di
depan toko tempat kami bekerja.
.
''Aku masih punya uang lima ribu. Kalau digabungkan dengan
uang Mas, cukup untuk membeli semangkuk bakso.'' Tawarku, sembari mengeluarkan
selembar uang dari kantong baju gamis. Ia menoleh, bibirnya tertawa tanpa
suara. Menarik sekali dipandanganku, gigi putihnya berbaris rapi. Ia terlihat
tampan.
.
''Dewi sayang, cukup semangkuk bakso, tapi nanti kita
pulang, bagaimana?''
.
''Kenapa bagaimana? Kita jalan kaki saja. Memutar dari gang
yang tembus ke belakang kontrakan kita, Mas.'' Aku menjawab yakin, tertawa
kecil.
.
''Ahh tidak, kemaren kita pulang jalan. Dan Dewi mengeluh
cape, betisnya pegal. Malam jadi susah tidur.'' Ia tertawa mengingat itu.
.
''Baiklah, nanti Mas gendong aku. Jadi tidak ada keluhan
cape lagi.'' Ia menatapku...
Aku suka, tatapan matanya membuatku yakin semua baik-baik
saja, selalu begitu.
.
''Oke, kalau begitu. Yuk kita makan bakso.'' Ia menggandeng
tanganku, menerobos hujan berlari ke arah warung bakso.
.
Beberapa mata menatap curi-curi, senyum-senyum melihat kami
makan satu mangkok berdua. Romantis fikir mereka, ah tidak tahu saja, ini karna
keadaan. Mata kami saling tatap, tawa kami tahan, ia menyuap mie dan bulatan
daging dengan santai, aku menyendok kuahnya. Sesekali ia menyuapiku, bahagia
rasa dalam dadaku, biar ini teramat irit.
* * *
Itu kisah lima tahun lalu... Saat kami masih sama-sama
bekerja di toko. Kini, kami telah sukses, mempunyai bisnis besar sendiri. Maka
tiada lagi acara makan semangkuk berdua. Hidangan penuh satu meja. Meja panjang
yang memberi jarak antara ia dan aku. Tak ada lagi suapan, tidak lagi makan
sembari bertukar senyum. Karna ia atau aku makan dan sibuk dengan gadget
masing-masing.
Benarkah ini sukses?
Dewi Yuslimah
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 20 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar