Poligami? I Said, No!
Belakangan ini, saya sering sekali melihat berita-berita di media sosial juga televisi tentang isu poligami. Terlihat bagaimana dengan wajah semringah para ustaz mulai memamerkan istri-istri muda mereka yang jelita, didampingi istri tua yang jelebak (walau disembunyikan). Jika di luar sana perempuan-perempuan cantik nan salehah berebut ingin dipoligami, bahkan sampai mengumumkan kesiapan tersebut. Saya dengan tegas menyatakan tidak ingin dipoligami.
Tentu sifat dan tabiat setiap perempuan tidak sama. Ada yang memang benar-benar siap dipoligami. Ada yang tidak siap sama sekali meski telah diiming-iming akan masuk surga. Lalu apakah saya tidak ingin masuk surga? Jalan menuju surga bukan cuma satu pintu. Itu yang saya yakini. Kadangkala saya penasaran ingin tahu, siapa yang akan masuk surga terlebih dahulu.
Belakangan ini, saya sering sekali melihat berita-berita di media sosial juga televisi tentang isu poligami. Terlihat bagaimana dengan wajah semringah para ustaz mulai memamerkan istri-istri muda mereka yang jelita, didampingi istri tua yang jelebak (walau disembunyikan). Jika di luar sana perempuan-perempuan cantik nan salehah berebut ingin dipoligami, bahkan sampai mengumumkan kesiapan tersebut. Saya dengan tegas menyatakan tidak ingin dipoligami.
Tentu sifat dan tabiat setiap perempuan tidak sama. Ada yang memang benar-benar siap dipoligami. Ada yang tidak siap sama sekali meski telah diiming-iming akan masuk surga. Lalu apakah saya tidak ingin masuk surga? Jalan menuju surga bukan cuma satu pintu. Itu yang saya yakini. Kadangkala saya penasaran ingin tahu, siapa yang akan masuk surga terlebih dahulu.
Seorang
perempuan yang seumur hidupnya tidak ingin dimadu, tetapi amat patuh dan
selalu melayani suaminya dengan baik juga penuh kemesraan dan cinta.
Ataukah, seorang perempuan yang rela dimadu yang tetap tersenyum manis
di hadapan khalayak ramai maupun keluarga, tetapi sering menangis dalam
sujud, doa, dikesendiriannya. Siapa di antara mereka yang lebih dulu
merasakan aroma surga?
Sekiranya ada perempuan yang begitu tangguh; bersedia tanpa rasa cemburu secuil pun mendera dadanya, untuk melepas suami tercinta yang didampingi sejak tidak punya apa-apa, sampai berkucupan sehingga mempunyai niat untuk apa-apa. Melihat suami tersayang bercumbu rayu dan menggauli wanita yang lebih muda dan segar? Adakah perempuan yang demikian? Saya ingin sekali berkenalan dengan beliau. Ingin mendengar suara hati beliau dengan kejujuran yang tidak dipalsukan. Yang tidak dipaksakan.
Jika alasan agama yang menjadi landasan poligami. Mengapa bukan menolong janda-janda tua yang sudah tidak berdaya, sudah tidak berkemampuan yang dipilih sebagai istri kedua, ketiga, dan keempat. Bukankah Nabi demikian. Sama halnya ketika menikahi Aisyah ra yang masih belia. Adalah karena petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Poligami memang diperbolehkan dalam Islam. Tetapi ada aturannya. Ada syaratnya. Bukan seenaknya mau memilih apalagi sampai sembunyi-sembunyi hingga bertahun-tahun.
Hati perempuan sangatlah lembut. Engkau tinggikan suara saja sudah sukses membuat matanya berkaca-kaca. Namun, ia pandai menutupi, jadi tak usahlah menambah luka hatinya dengan niatmu yang dikuasai napsu dunia. Bukankah tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan suasana tentram dan bahagia? Adil? Untuk diri sendiri pun kita masih sering tidak adil, tidak perlu berangan akan sanggup berlaku adil kepada manusia lainnya, jika kotak ibadah masih belum sampai bahkan separuh. Jadi, saya katakan tidak untuk poligami.
Nuha Inara
Komunitas Bisa Menulis
7 - Mei - 2017.
Sekiranya ada perempuan yang begitu tangguh; bersedia tanpa rasa cemburu secuil pun mendera dadanya, untuk melepas suami tercinta yang didampingi sejak tidak punya apa-apa, sampai berkucupan sehingga mempunyai niat untuk apa-apa. Melihat suami tersayang bercumbu rayu dan menggauli wanita yang lebih muda dan segar? Adakah perempuan yang demikian? Saya ingin sekali berkenalan dengan beliau. Ingin mendengar suara hati beliau dengan kejujuran yang tidak dipalsukan. Yang tidak dipaksakan.
Jika alasan agama yang menjadi landasan poligami. Mengapa bukan menolong janda-janda tua yang sudah tidak berdaya, sudah tidak berkemampuan yang dipilih sebagai istri kedua, ketiga, dan keempat. Bukankah Nabi demikian. Sama halnya ketika menikahi Aisyah ra yang masih belia. Adalah karena petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Poligami memang diperbolehkan dalam Islam. Tetapi ada aturannya. Ada syaratnya. Bukan seenaknya mau memilih apalagi sampai sembunyi-sembunyi hingga bertahun-tahun.
Hati perempuan sangatlah lembut. Engkau tinggikan suara saja sudah sukses membuat matanya berkaca-kaca. Namun, ia pandai menutupi, jadi tak usahlah menambah luka hatinya dengan niatmu yang dikuasai napsu dunia. Bukankah tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan suasana tentram dan bahagia? Adil? Untuk diri sendiri pun kita masih sering tidak adil, tidak perlu berangan akan sanggup berlaku adil kepada manusia lainnya, jika kotak ibadah masih belum sampai bahkan separuh. Jadi, saya katakan tidak untuk poligami.
Nuha Inara
Komunitas Bisa Menulis
7 - Mei - 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar