Kamis, 09 Maret 2017

Cerpen, MENJADI TUA, LALU LUKA


MENJADI TUA, LALU LUKA
::
Lelaki itu mengelap keringat di tengkuk dan wajah nenek dengan cepat dan bertenaga. Kepala nenek ikut tergerak mengikuti gerakan tangan lelaki itu.
“Nduk (Nak), Nenek lelah. Pingin pulang."
“Ngemis aja, lelah! Kumpulin duit dulu. Baru nanti sore pulang!” Lelaki itu menghardiknya sambil melempar handuk ke mukanya.
Lelaki itu kesal mendengar permintaan nenek. Sudah dilihatnya di kantong kresek, uang hasil mengemis si nenek masih dua puluh ribuan. Ia juga kesal pada orang-orang kenapa tak banyak memberi sedekah pada nenek. Dalam kesimpulannya, zaman kini orang-orang menjadi pelit, egois. Ya, egois. Maka, ia pun begitu.
Lelaki itu segera pergi. Tak berlama-lama. Takut diperhatikan orang.
Siang sudah terik. Nenek itu duduk di kursi kayu. Tertunduk wajahnya. Matanya sayu. Handuk di genggamannya, merosot jatuh ke tanah.
“Oh, Gusti. Nasibku elek tenan (buruk sekali). Menjadi tua, tak berdaya, dan tak diperhatikan anak dan cucu. Kini dimanfaatkan. Apa yang bisa kuperbuat, Gusti, selain menerima. Kulo nrimo, Gusti, atas semua apa saja yang diperlakukan orang.” Suaranya begitu lirih.
Tangannya bergerak lemah mengusap kelopak matanya. Tak ada air mata. Produksi air matanya telah menurun seiring bertambahnya usia. Matanya sering perih, dada juga perih. Kering kini.
Kering hatinya menjalani hari tua. Semua yang diterima kini atasnya tak lagi sejuk. Anak satu-satunya, sudah enam tahun meninggalkannya dan entah di mana. Ia dititipkan di panti jompo.
Di panti itu, ia melihat sesamanya yang tua yang selalu bercerita masa muda yang telah berlalu. Masa lalu membawa ingatan yang melukai. Masa lalu adalah mimpi tidur. Kini adalah jaga.
Setiap hari ia harus menghadapi sesamanya yang beremosi tak lagi terkontrol. Ada yang menangis tiba-tiba. Ada yang berteriak kecewa. Ada yang merepet terus. Lalu sesekali menerima perlakuan perawat tak ramah. Hati dan tubuh tuanya sudah sangat sensitif merasakan ketaknyamanan.
Semua yang dilihat, didengar, dan dirasa di panti sangat mudah mengusiknya. Membawanya dalam dunia kesepian yang hampa. Membangkitkan perasaan-perasaan tersakiti, tak berdaya, tersia-siakan. Menjadi tua, ia terluka.
Tak tahan di panti jompo, diam-diam ia keluar dari panti jompo. Berharap di luar sana menemukan kesejukan. Entah di mana itu.
Awal mula bertemu anak-anak berseragam sekolah SD. Anak-anak itu menyapa dan bertanya penuh penasaran padanya. Nenek mau ke mana, tinggal di mana, anak cucu Nenek di mana?
Begitu ribut pertanyaan itu. Tapi ia senang dan tersenyum. Ia tak bisa menjawab. Suaranya lemah. Lagi pula ia tak tega merobek keindahan, mimpi, dan harapan di jiwa anak-anak yang polos dan mata-mata yang penuh binar itu, dengan menceritakan dunia hati orang dewasa, dan kisah menjadi tua adalah luka.
Hanya sesaat dengan anak-anak itu. Sebenarnya ingin ia berlama-lama. Tertawa bahagia. Melupakan segala, menganggap derita tak pernah ada. Ia sempat merasakan kembali hidup membuncah dalam dadanya.
Lalu, di malam tak tahu tidur di mana, lelaki itu mendapatinya tertidur di pinggir toko. Ia dibawa ke rumah lelaki itu. Sangat senang dan bahagia ia mulanya. Diperlakukannya dengan kasih. Ia betah. Tetapi hanya beberapa hari.
Lalu kini, di sini ia. Di pinggir jalan, di bawah terik, deru debu, dan bisingnya lalu-lalang manusia, ia masih tertunduk. Kedua telapak tangannya terbuka di atas kedua paha.
“Ya Gusti, ampuni kulo (hamba). Aku mengemis demi lelaki itu. Demi meredam bentak dan marah lelaki itu. Agar dia mau membersihkan kotoran melekat di tubuhku di saat aku tak berdaya. Hanya dia yang kini memperhatikanku.”
Sebuah sedan berhenti di depannya. Saat kaca mobil terbuka, pengendara di dalamnya melempar uang ke arahnya. Lalu segera sedan pergi dengan debu meruah di udara menimpa wajahnya.***

Fazil Abdullah > Komunitas Bisa Menulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar