Sabtu, 25 Maret 2017

PERMAINAN_MEMANGGIL_ARWAH


PERMAINAN_MEMANGGIL_ARWAH
Oleh: Shin Er
Komunitas Bisa Menulis

Aku membuka pintu kamar dan melangkah masuk kedalam, tapi ...
“Oh, shit ...!” Aku tercekat.
Kulihat sesosok berwarna putih di atas ranjang dengan cahaya redup di dalamnya. Segera aku menyadari bahwa itu adalah Kimmie, adik perempuanku yang berumur 9 tahun. Dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut putih, duduk berdiam di atas ranjang dengan senter kecil di tangannya. Sementara lampu kamar dimatikan. Membuat suasana kamar menjadi gelap.
“Kimmie, apa-apaan sih? bikin kaget aja,” gerutuku kesal. Lalu aku menyalakan lampu kamar. Seketika ruangan menjadi terang.
Kimmie membuka selimut yang menutupi tubuhnya, lalu dia menatapku dengan wajah polos. Tapi kemudian senyum nakal yang terukir di bibirnya.
“Aku lagi main permainan manggil arwah, Kak!” Dia memberitahuku dengan bangga, “aku nggak takut main itu sendirian ....“
“Mahgrib mahgrib main kaya gitu, entar setannya dateng beneran tau!” Aku melotot ke arahnya. Aku memang sedikit penakut. Dan aku nggak mau ada hal buruk terjadi setelah permainan konyol itu dimainkan. Seperti yang kulihat di film film itu.
Kulihat ada buku yang sudah dipenuhi coretan di pangkuan Kimmie.
“Tadi sih udah ada arwah yang dateng, Kak” Kimmie menyayangkan, “aku baru mau nanya di mana dia tinggal ....” ucapnya meneruskan.
“Denger, nggak usah main yang aneh aneh kaya gitu. Kakak nggak suka!” Aku berucap tegas.
Kimmie merengut. Tapi sebelum dia berkata apa-apa, kudengar mama memanggil.
“Michelle, Kimmie ...! Ayo makan!” seru mama dari arah dapur.
Kimmie segera berlari keluar kamar, aku mengikuti di belakangnya. Tapi entah kenapa aku ingin menoleh ke buku yang tadi dipegang Kimmie dan sekarang tergeletak begitu saja di lantai kamar.
Dahiku mengernyit. Ada sesuatu tertulis di sana. Itu tulisan Kimmie? Entahlah. Tapi tulisan itu terlihat jelas dan tidak rapi. Seperti coretan yang diulang-ulang hingga membentuk huruf-huruf berjejer tak rapi. Aku mencoba mengejanya
'Di sini'
.
Lewat tengah malam aku terjaga. Suasana hening. Penerangan kamar hanya berasal dari cahaya lampu tidur di sisi ranjang. Di sebelahku ada Kimmie yang tertidur pulas dengan suara dengkuran pelan.
Aku berusaha untuk kembali tidur, tapi suara detak jam dinding membuatku merasa terganggu. Karena entah kenapa suaranya terdengar seperti sesuatu yang tengah berjalan mendekat.
Dengan perasaan sedikit gugup aku menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhku kecuali bagian kepala. Suasana benar benar sepi dan menyesakkan. Setiap kali aku berusaha memejamkan mata, aku merasa ada yang sedang mengawasi.
Lalu tiba tiba saja aku mengingat tulisan di buku Kimmie sore tadi.
Di sini. Di sini. Di sini. Di sini.
Seperti aku tengah membaca tulisan itu berulang-ulang. Semakin aku mencoba berhenti, tulisan itu terlihat semakin nyata. Di sini ....
Aku tercekat menyadari sesuatu. Menyadari kata-kata Kimmie sebelum dia pergi keluar kamar. 'Aku baru aja nanya dimana dia tinggal...' begitukan kata Kimmie?
Dan tulisan itu bilang ... Di sini ?
Angin dingin terasa mengusap tengkukku. Apalagi setelah mendengar bahwa suara yang terdengar jelas itu bukanlah suara detakan jam dinding. Karena semakin lama suaranya terdengar makin jelas dan mendekat.
Aku segera menutupi seluruh tubuh dengan selimut hingga ke kepala, dan berusaha untuk tidur.
.
Aku membuka mataku, cahaya matahari sudah menerobos masuk melalui jendela. Ada aroma masakan tercium dari luar kamar, juga suara berisik barang barang dan suara mama di dapur.
Aku menarik nafas lega. Lalu menoleh pada Jimmie yang masih tertidur pulas di sampingku.
“Kimmie, ayo bangun!” Aku menepuk nepuk pipi Kimmie sedikit kesal.
Kimmie membuka matanya dengan malas. Mata besarnya mengerjap menatapku dengan wajah polos.
“Denger, jangan pernah main manggil setan kaya kemaren lagi ngerti? Awas kalo main itu lagi!” ucapku setengah mengancam.
Kimmie mengernyitkan dahi. Tapi sebelum dia bicara sesuatu, kudengar mama berteriak sambil mengetuk pintu kamar kami dari luar.
“Michie! Kimmie! Udah siang, bangun. Nanti kalian terlambat pergi ke Sekolah!”
.
“Michie, setelah ini suruh Kimmie mandi ya!” Mama berteriak dari dapur saat menyadari aku sudah keluar dari kamar mandi.
“Ya, Ma,” sahutku sambil melangkah menuju kamar.
Aku membuka pintu kamar dan terpekik kaget. Kulihat sesuatu berwarna putih di atas ranjang. Tapi kemudian aku segera sadar kalau Kimmie sedang melakukan permainan konyol seperti kemarin.
“Kimmie!” Aku berseru kesal.
Kimmie menyingkapkan selimut putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia menoleh padaku dan tersenyum lebar.
“Kakak, dia jawab pertanyaanku!” Kimmie berucap senang.
“Udah kakak bilang, kakak nggak suka kamu main itu, ngerti nggak sih?!” Aku nggak perduli dengan kesenangan Kimmie. Karena aku merasa permainan itu memang membawa ‘sesuatu' ke sini.
Kimmie melompat turun dari ranjang dan menunjukkan buku penuh coretan di tangannya, “Lihat, dia bilang namanya Eliza.”
Bahkan aku sama sekali nggak ingin melihat tulisan itu.
“Tadi aku nanya, kenapa dia mati ...” Kimmie bertahan memberitahuku.
Aku menghela nafas kesal, “Mama bilang kamu suruh cepetan mandi. Mandi sana!” ucapku mengalihkan pembicaraannya.
Kimmie sedikit merengut karena reaksiku yang tak mempedulikan ceritanya. Lalu dia berjalan malas keluar dari kamar setelah menyambar handuk.
Kamar mulai gelap karena hari sudah petang. Aku melangkah menuju tombol lampu dan menekannya.
Klik! Kamar menjadi terang.
Mataku langsung tertuju ke arah ranjang. Di mana sebuah buku penuh coretan tergeletak di atasnya. Kulihat ada huruf-huruf yang terlihat jelas dan tak rapi, seperti kemarin. Tapi dengan kata yang berbeda.
Ragu, aku bergerak mendekat dan mengejanya.
Hatiku berdesir.
Bunuh.
***
Aku membuka mata. Hening dan temaram. Sial, aku terbangun tengah malam lagi. Seketika perasaan tak enak mengalir di hatiku.
Pelan, aku bergeser lebih dekat kepada Kimmie yang tertidur lelap di sebelahku. Sambil menahan nafas. Seolah-olah dengan begitu ‘sesuatu' yang sedang mengawasi akan berpikir aku masih tertidur. Bodoh? Apapun namanya tapi aku benar-benar merasa takut.
Oh, shit ... aku mengeluh dalam hati. Kudengar suara itu lagi. Suara langkah kaki mendekat yang sedikit terseret. Entah dari mana asalnya, tapi makin lama terdengar semakin jelas.
Dahiku mengernyit saat mendengar suara lain yang meningkahi suara terseret itu. Suara apa itu? Aku menajamkan pendengaran, berusaha mendengar suara aneh itu lebih jelas lagi. Di antara suara detak jam dinding dan suara degub jantung yang seperti ingin melompat lompat keluar, suara itu akhirnya dapat kudengar lebih jelas.
Clak- clak- clak !
Aku menahan nafas. Apa? Suara apa itu?
Srek ... Srek ... Srek ....
Clak – clak – clak !!
Aku menarik nafas dalam dengan ketakutan yang luar biasa. Tak bisa menerka suara apa yang terdengar itu. Seperti ada sesuatu yang basah tiap kali suara itu terdengar. Dan ketakutanku semakin menggila saat mengingat tulisan di buku Kimmie.
Bunuh, bunuh, bunuh
Srek ... Srek ... Srek
Clak – clark -clak !!
Bunuh, bunuh, bunuh
Bunuh ....
.
“Aah ...!!” Aku tersentak bangun dan duduk. Kulihat cahaya matahari melalui celah-celah tirai jendela kamar. Apa yang barusan itu mimpi ? Tapi aku yakin itu bukan mimpi. Itu benar-benar nyata dan mungkin kemudian aku tertidur karena terlalu takut.
Aku menoleh pada Kimmie yang masih lelap. Dengan perasaan kesal aku mengguncang guncang tubuh Kimmie.
“Kimmie! Ayo bangun!” Aku sedikit berseru.
Kimmie menggeliat dan membuka mata nya dengan malas.
“Kimmie, Kakak bakal ngadu ke mama kalo kamu maen main sama setan lagi. Ngerti ?!” Ancamku dengan kesal.
Dia menatapku dengan wajah polos, dan itu membuat hatiku sedikit luluh.
“Jangan pernah main main tentang setan, itu bahaya. Kamu denger kakak?” aku menurunkan nada suaraku.
Kimmie mengangguk mengerti.
Aku menghela nafas dan melompat turun dari ranjang. Hatiku merasa lega karena ternyata aku sudah melewati malam itu. Dan kuharap aku tidak akan pernah mengalami kejadian mengerikan itu lagi
***!
“Jam segini baru pulang, Michie?” Mama menegur saat aku melangkah masuk ke rumah. Dia menoleh ke arah jam dinding, seolah memberitahu kalau sekarang sudah pukul 7 malam dan itu tandanya aku terlambat pulang.
“Iya, Ma. Tadi abis les, Ratih ngajakin ke toko buku dulu.” Aku menjelaskan sambil melangkah masuk menuju kamar dengan perasaan lelah.
Cekrek! Aku membuka pintu kamar.
Gelap.
Gelap dan ....
“Kimmie!!” Aku berteriak kesal. Kesal, kaget, dan takut. Lebih tepatnya sangat takut.
Lagi lagi kulihat Kimmie melakukan hal sama seperti yang dia lakukan selama dua hari berturut turut kemarin.
Aku menarik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dan melemparkan selimut itu ke lantai. Kimmie menoleh padaku dengan wajah takut . Takut akan kemarahanku.
Lampu kamar menyala. Kulihat mama berdiri di pintu kamar dengan tangan masih memegang tombol lampu. Matanya menatap ke arah kami berdua heran.
“Ada apa?” tanya Mama.
“Ma, dari kemaren Kimmie main permainan manggil setan tuh!” akhirnya aku mengadu.
“Memangnya kenapa sih, Kak? Aku aja berani ...” Kimmie bertanya heran.
Aku menoleh ke arah mama, “Ma ...!”
Mama masih diam, dia menatapku dengan tatapan ‘memangnya kenapa kalau Kimmie main itu? Itu kan cuma permainan konyol yang dimainkan anak anak?’
“Aku dapet mimpi buruk terus sejak Kimmie main itu, Ma.” Akhirnya aku mengakui.
“Itu karena Kakak emang penakut,” Kimmie menggodaku.
Aku melotot kesal padanya.
“Ma ...!” Aku menatap mama, meminta pembelaan, dengan mimik muka sedikit memelas agar mama percaya. “aku bener bener mimpi buruk karena itu!” ucapku setengah mengeluh.
“Kimmie, jangan main itu lagi,” akhirnya mama memutuskan.
Kimmie menatap Mama sedikit tidak terima.
“Ya udah, sekarang kita makan malam dulu.” ucap mama sebelum berlalu pergi dari pintu kamar kami.
Aku dan Kimmie bertatapan.
“Tadi aku nanya, apa yang dia mau ...” Kimmie setengah berbisik.
“Jangan terusin lagi. Kakak nggak mau denger.” Potongku.
Aku meminta pulpen di tangannya. Dia sedikit keberatan, tapi akhirnya mau menyerahkan pulpen itu padaku
.
“Janji sama Kakak, jangan main ini lagi, Ok?” aku menatap mata Kimmie dalam dalam.
Mata bulat Kimmie menatapku ragu, tapi kemudian dia mengangguk.
Aku mengusap kepalanya, “Bagus, sekarang ayo makan ...” ajakku.
Kimmie beranjak turun dari ranjang dan pergi keluar kamar. Aku menghela nafas lega, dan akan melangkah mengikuti Kimmie, tapi ekor mataku menangkap sesuatu di atas ranjang. Ini bukan tentang buku yang dipakai Kimmie untuk berkomunikasi dengan hantu, tapi tentang tulisan di atasnya. Garis garis membentuk huruf huruf besar, tidak rapi tapi terlihat jelas. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin membacanya. Karena aku merasa mimpi burukku memang berasal dari tulisan itu. Tapi entah kenapa seperti ada yang memaksaku untuk mengejanya.
Aku tercekat, darahku berdesir ....
Kimmie.
***
Kimmie. Kimmie. Kimmie
Apa maksudnya?
Jam sudah menunjukkan pukul 11.39 malam, dan aku belum bisa tidur. Sekeras apapun berusaha untuk tidur, mataku tetap tak bisa dipejamkan. Malah selalu teringat pada tulisan itu. Kimmie. ....
Entah kenapa aku merasa itu adalah sebuah firasat buruk.
Tanpa sadar aku menoleh pada Kimmie yang sudah lelap di sampingku. Lalu tiba tiba saja muncul pertanyaan itu. Apa ‘sesuatu’ itu ingin menyakiti Kimmie? Jantungku berdetak cepat. Aku bergeser mendekati Kimmie, menatap wajah polosnya yang sedang tertidur lelap.
Hatiku mengecil, oh tidak ... Jangan sakiti Kimmie. Dia adik kesayanganku. Aku memeluk Kimmie. Dia menggeliat sebentar, lalu tangan mungilnya balas memelukku.
Aku mencium wajah Kimmie lama. Jangan sakiti Kimmie, kumohon, apapun kamu ...!
.
Srek ... Srek ... Srek
Aku membuka mata. Ternyata aku baru saja tertidur saat memeluk Kimmie. Dan sekarang aku terbangun karena mendengar suara itu.
Srek ... Srek ... Srek
Suara itu terdengar mendekat. Jantungku mulai berdegub keras. Aku menahan nafas dan berusaha untuk tetap terpejam.
Srek. .. Srek ... Srek
Clak- clak – clark !
Badanku gemetar. Aku menggenggam selimut yang menutupi seluruh tubuh hingga kepalaku.
Srek. .. Srek. ..srek .... Clak- clak- clak
Srek ... Srek ... Srek ... Clak- clak- clak !
Srek ... Srek ... Srek ... Clak- clak- clakk !!
Aku tidak tahan dengan rasa ketakutan yang semakin menekan. Tapi aku tidak bisa berteriak. Badanku bergetar hebat, saat aku tahu ke arah mana suara itu menuju.
Kimmie !!
Tidak! Jangan Kimmie !!
Aku menyingkap selimut yang menutupi wajahku. Dan ... aku melihatnya!!
Sesosok tubuh perempuan kecil dengan baju berwarna putih kusam. Rambutnya panjang, kusut dan sebagian dibasahi oleh darah yang sudah mengental. Wajahnya sangat pucat. Seluruh bola matanya berwarna putih. Seperti terbeliak, besar dan terbalik ke arah dalam. Dan mulutnya ...mulutnya terlihat sobek dengan rahang copot menggantung menyentuh lehernya dengan lidah terjulur keluar. Basah, berliur dan penuh darah.
Kakinya terseret. Seperti satu kakinya memang sudah hancur. Itu sebabnya tiap kali dia berjalan ada suara ‘srekk ...’ yang terdengar. Sementara bersamaan dengan langkahnya yang terseret itu rahangnya yang menggantung terus bergoyang goyang beradu dengan lidahnya. Clak- clak!!
Srek ... Srek ... Srekk... dia menyeret langkahnya mendekat.
Clak- clak- clakk !! Suara rahang yang beradu dengan mulut yang penuh darah.
Aku terkesiap. Menatapnya dengan nafas seperti tercekik. Ingin berteriak, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Lalu kulihat tangannya terulur ... ke arah Kimmie !!
Jangan ...! Jangan Kimmie !!
Tiba tiba dia menoleh padaku dengan cepat. Lalu mulutnya menyeringai dan kulihat rahangnya bergerak gerak beradu semakin cepat. Aku melotot penuh kengerian saat menyadari bahwa dia sedang menunjukkan gerakan mengunyah !!
Clak- clakk- clakk !!! Clak - clak- clakk !!!
.
“Kimmie!!!” Aku berteriak sekuat tenaga.
Aku terbangun dan duduk di ranjang. Dengan nafas tersengal sengal dan kedua tangan mencengkram selimut dengan erat. Jantungku berdegub keras seperti akan keluar dari rongga dada.
Hening. Tak ada suara srek dan clak. Dan tak ada sosok itu di samping tubuh Kimmie. Cahaya matahari mulai mengintip di celah celah jendela kamar. Perlahan keteganganku mereda. Aku menghembuskan nafas lega setelah menyadari kalau semua itu memang cuma mimpi. Apalagi setelah kulihat Kimmie masih tertidur lelap, dan dia baik baik saja
Aku mengusap rambut Kimnie dengan perasaan lega dan senang. Tak pernah aku merasa sebahagia ini saat melihat Kimmie.
Kimmie mulai menggeliat, dan membuka matanya. Dia menatapku, Aku tersenyum padanya
“Ayo bangun, sudah pagi ...” ucapku.
Kimmie tersenyum. Senyum yang terlihat begitu tenang. Dia beranjak bangun dari ranjang.
Aku masih menatapnya saat kulihat dia memungut buku yang sering dia gunakan untuk bermain memanggil setan. Lalu dia membuangnya ke tempat sampah di sudut kamar kami. Aku tersenyum lega. Mungkin Kimmie merasakan mimpi buruk itu semalam, karena itu dia tidak ingin memainkannya lagi.
Tapi kemudian kulihat dia mengambil buku itu lagi. Juga pulpen di meja belajar kami.
“Kimmie, jangan bilang kamu mau main itu lagi!” Aku segera menegurnya.
Tapi Kimmie tersenyum padaku dan menggeleng. “Aku cuma mau bilang terimakasih. ..” ucapnya.
Dahiku mengernyit. Terimakasih? Buat apa? Pada siapa? aku bertanya dalam hati, dan kemudian aku menyadari sesuatu ....
Kimmie menulis dengan tangan kanannya!!
Dia menaruh pulpen dan menatapku sekilas, kemudian berlalu keluar dari kamar. Dahiku berkerut, sejak kapan Kimmie tidak kidal?
Diam diam aku membaca tulisan di kertas itu. Kimmie menulis terimakasih. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Mataku menatap punggung Kimmie yang berjalan keluar dan menghilang di balik pintu. Benar, ada yang aneh. Tapi apa ....
Aku kembali menatap ke arah buku itu.
Dahiku mengernyit. Ada sesuatu di bawah tulisan ‘terimakasih’ Kimmie. Tulisan itu terlihat coret coretan dan tidak rapi. Seperti di tulis dengan tangan yang gemetar. Aku mengejanya.
Darahku berdesir,
‘Kakak tolong aku'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar