MATAHARI BELUM TERBIT DI SINI
Oleh: Fazil Abdullah
Komunitas Bisa Menulis
Seorang perempuan kumuh dengan bayi mungil dalam
gendongannya, sedang mengorek-ngorek tong sampah di belakang ruko kami.
Matahari belum terbit.
Ia ketakutan dan mencoba menghindariku dengan langkah
terseok-seok. Tangis bayinya makin melengking. Dari warna kulitnya yang coklat
legam dan jilbab yang dikenakan, aku bisa mengenalnya sebagai etnis Rohingya.
"Tunggu!" Seruku dengan bamaca (bahasa Myanmar
lisan). Sampah yang masih kujinjing, kulempar ke tong.
Tubuh tuaku masih sanggup berlari mengejarnya. Ia jatuh
rubuh karena lelah dan kesakitan. Siku dan lutut perempuan itu terkena badan
jalan lorong belakang toko kami. Bayinya masih bisa dilindungi. Ia menarik
diri, menyandarkan ke dinding, menyampingiku. Ekor matanya melihatku ketakutan.
Aku melihat sekeliling. Ke atas, ke jendela-jendela. Tak ada
yang melihat kami. Aku pegang kedua pundaknya dengan lembut. Membangkitkannya,
merangkulnya, mengajaknya masuk ke rukoku.
"Jangan takut. Segera masuk tokoku," kataku
selembut kubisa agar ia percaya padaku.
Ia masih ketakutan dan pasrah. Dengan ketergesaan, kami
masuk dapur sebelum para pembenci Rohingya melihat kami. Apalagi sekarang isu
anti-Rohingya mencuat lagi ketika demonstran menolak rencana Pemerintah Myanmar
memberi kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.
Kami sama-sama minoritas di negeri ini. Tapi beda etnis.
Kami China. Tak (atau belum) ditindas. Sebab kami bisa masuk dalam mayoritas
negeri ini lewat kesamaan agama, yaitu Buddha. Tapi dulu, tahun 1998, di negeri
tetangga, aku merasakan seperti yang dialaminya kini. Dikejar-kejar layaknya
tikus got untuk dibasmi.
Ia kududukkan di kursi empuk. Kumuh, bau, dan bergetar dia.
Bayinya yang menangis ingin sekali kugendong, tapi ia tak mau melepaskan. Aku
segera tuangkan air putih untuk menghapus dahaganya.
Kuambil dot botol milik cucuku dan susu bubuk. Kulakukan
dengan cepat agar bisa segera kuberikan ke bayinya. Bayinya yang penuh kotor
dan goresan merah luka di wajah, langsung diam ketika dot susu diisapnya dengan
lahap.
Kubuat juga teh hangat. Kuambil roti. Kuberikan padanya.
"Makan dan minumlah sebagai peganjal. Nanti nasi masak, kau juga bisa
makan," kataku.
Kepercayannya mulai tubuh.
"Aku mau ambil betadine dan kapas. Tapi kamu harus
mandi dulu. Sekarang makanlah rotinya dulu untuk menyembuhkan perut laparmu.
Nanti kita obati lukamu."
Tangannya kotor. Tanah melekat di tangan dan di ujung
kuku-kukunya. Di punggung tangan dan pergelangan, penuh goresan-goresan merah
masih segar. Lengan baju, jilbab, celana longgarnya koyak-koyak dan lembab.
Kondisinya menunjukkan ia baru melewati lumpur, air, dan semak-semak. Mungkin
ia melarikan diri melalui hutan dan sungai dari tempat mukimnya. Belum kutanya
kabar suami dan keluarganya.
Ia minum dan makan roti dengan lahap. Matanya masih
menerawang tanpa menatapku. Air matanya bercucuran bercampur ke roti yang
sedang ditelannya.
# catatan_fa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar