Kamis, 23 Maret 2017

MATAHARI BELUM TERBIT DI SINI (Cerpen)


MATAHARI BELUM TERBIT DI SINI
Oleh: Fazil Abdullah
Komunitas Bisa Menulis


Seorang perempuan kumuh dengan bayi mungil dalam gendongannya, sedang mengorek-ngorek tong sampah di belakang ruko kami. Matahari belum terbit.
Ia ketakutan dan mencoba menghindariku dengan langkah terseok-seok. Tangis bayinya makin melengking. Dari warna kulitnya yang coklat legam dan jilbab yang dikenakan, aku bisa mengenalnya sebagai etnis Rohingya.
"Tunggu!" Seruku dengan bamaca (bahasa Myanmar lisan). Sampah yang masih kujinjing, kulempar ke tong.
Tubuh tuaku masih sanggup berlari mengejarnya. Ia jatuh rubuh karena lelah dan kesakitan. Siku dan lutut perempuan itu terkena badan jalan lorong belakang toko kami. Bayinya masih bisa dilindungi. Ia menarik diri, menyandarkan ke dinding, menyampingiku. Ekor matanya melihatku ketakutan.
Aku melihat sekeliling. Ke atas, ke jendela-jendela. Tak ada yang melihat kami. Aku pegang kedua pundaknya dengan lembut. Membangkitkannya, merangkulnya, mengajaknya masuk ke rukoku.
"Jangan takut. Segera masuk tokoku," kataku selembut kubisa agar ia percaya padaku.
Ia masih ketakutan dan pasrah. Dengan ketergesaan, kami masuk dapur sebelum para pembenci Rohingya melihat kami. Apalagi sekarang isu anti-Rohingya mencuat lagi ketika demonstran menolak rencana Pemerintah Myanmar memberi kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.
Kami sama-sama minoritas di negeri ini. Tapi beda etnis. Kami China. Tak (atau belum) ditindas. Sebab kami bisa masuk dalam mayoritas negeri ini lewat kesamaan agama, yaitu Buddha. Tapi dulu, tahun 1998, di negeri tetangga, aku merasakan seperti yang dialaminya kini. Dikejar-kejar layaknya tikus got untuk dibasmi.
Ia kududukkan di kursi empuk. Kumuh, bau, dan bergetar dia. Bayinya yang menangis ingin sekali kugendong, tapi ia tak mau melepaskan. Aku segera tuangkan air putih untuk menghapus dahaganya.
Kuambil dot botol milik cucuku dan susu bubuk. Kulakukan dengan cepat agar bisa segera kuberikan ke bayinya. Bayinya yang penuh kotor dan goresan merah luka di wajah, langsung diam ketika dot susu diisapnya dengan lahap.
Kubuat juga teh hangat. Kuambil roti. Kuberikan padanya. "Makan dan minumlah sebagai peganjal. Nanti nasi masak, kau juga bisa makan," kataku.
Kepercayannya mulai tubuh.
"Aku mau ambil betadine dan kapas. Tapi kamu harus mandi dulu. Sekarang makanlah rotinya dulu untuk menyembuhkan perut laparmu. Nanti kita obati lukamu."
Tangannya kotor. Tanah melekat di tangan dan di ujung kuku-kukunya. Di punggung tangan dan pergelangan, penuh goresan-goresan merah masih segar. Lengan baju, jilbab, celana longgarnya koyak-koyak dan lembab. Kondisinya menunjukkan ia baru melewati lumpur, air, dan semak-semak. Mungkin ia melarikan diri melalui hutan dan sungai dari tempat mukimnya. Belum kutanya kabar suami dan keluarganya.
Ia minum dan makan roti dengan lahap. Matanya masih menerawang tanpa menatapku. Air matanya bercucuran bercampur ke roti yang sedang ditelannya.
# catatan_fa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar