WAKTU TAK PERNAH LUPA, SAYANG
Oleh: Humaira Aziza > Komunitas Bisa Menulis
# estafetaksarahumaz
Cinta adalah ingatan terbaik. Kau melintasi beberapa periode
waktu, dimensi dan bahkan reinkarnasi tak akan membunuh bayangannya. Jika aku
menyebut cinta sebagai kesucian, murni dan tak terjamah, maka itulah yang
kurasakan setiap kali seluruh perhatianku teralih ke satu titik, yaitu dirinya.
Pada hari ini ia bercukur seraya menyenandungkan lagu
Traümer. Pria itu melakukannya dengan gerakan melingkar yang terorganisir. Sebagaimana
ia menjalani hidup seperti rotasi jarum jam, memastikan surat kabar dilipat
dengan benar, kursi makan tidak bergeser sedikit lebih jauh beberapa derajat,
bahkan sepatu tidur harus berwarna merah pada Senin dan hijau pada Sabtu.
Penyimpangan sekecil apapun dari ritual itu akan
mengusiknya. Lebih hebat dari reaksi marahnya saat Bayern München tak berhasil
meraih kemenangan dalam Bundesliga.
Ini waktu tepat untuk memberitahunya bahwa kemarin adalah
hari ulang tahunku. Sebaiknya ia memikirkan sebuah kado istimewa untukku,
paling tidak untuk beberapa tahun yang terlewatkan. Mungkin lebih tepatnya,
sengaja dilewatkan, atau Tuhan memang sedang menghukumku saat itu.
Akan tetapi, waktu-waktu yang hilang tak akan pernah kembali
untukmu. Kau hanya perlu menebus rasa kehilangan akan itu.
"Ada sesuatu yang ingin kaukatakan, Chriselda?"
Ia mencuci pisau cukur dengan air hangat, menggosok-gosoknya
seakan benda itu baru saja terbenam dalam kubangan lumpur.
"Sebenarnya pertanyaan itu lebih pantas kuajukan
padamu."
Masih dengan suara setengah terbenam di antara handuk yang
menggosok wajah, ia berkomentar, "Kau tahu aku sama sekali tidak menyukai
rahasia. Sekecil apapun itu."
Aku mencoba percaya tak akan ada hal yang lebih buruk
terjadi di antara kami. Percuma saja, gerutuku dalam hati. Alih-alih
mengharapkan atmosfer yang lebih baik, ia bahkan tak pernah benar-benar yakin
apa yang kuinginkan. Juga perubahan pada diriku yang seharusnya mendapatkan
lebih banyak perhatian. Ia hanya sebongkah batu.
Ya, itulah pria yang kaucintai sepenuh hati, Chriselda.
"Bukankah kita sudah memainkannya selama
bertahun-tahun???" seruku garang.
Sama sekali bukan sifatnya untuk memaafkan intimidasi itu
begitu saja. Ia menatapku seperti burung hantu, hanya saja bedanya burung hantu
ini memiliki taring yang akan siap mengoyak tubuhku.
"Mengapa kau tak mengatakan apapun?" tuntutku,
merasa di atas angin saat menyadari ia hanya melemparkan handuk dengan marah,
melenggang pergi, bersikap seolah tak ada yang terjadi.
Ia menuangkan sereal ke dalam mangkuk, menarik kursi makan.
Duduk di sana sambil membuka kotak susu dengan marah. Aku tersenyum senang,
menyadari bagaimana sekuat apapun ia mencoba menyangkal kekalahan itu, tetap
tak dapat mencegahnya dari melakukan hal di luar idealisme. Ia tak pernah makan
dengan pakaian tak lengkap seperti saat ini.
"Terserah padamu jika ingin bergabung denganku di meja
makan ini atau tidak." Ia bersungut sambil menyuap beberapa sendok sereal
sekaligus.
Ia marah, mungkin sangat marah. Namun tetap berusaha menjaga
logika di atas emosinya.
"Kita harus bicara."
Aku berjalan menghampirinya dengan tangan terlipat di dada.
Gaya menghakimi yang aku tahu sangat dibencinya dan dipandang sebagai sebuah
kecongkakan dan dominasi.
"Bukankah kita sedang melakukannya?"
"Kemarin hari ulang tahunku. Tidakkah itu berarti
sesuatu bagimu?" Suaraku melunak, sadar sepenuhnya bahwa mengkonfrontasi
pria itu saat ini bukan hal benar untuk dilakukan.
Tangannya menggantung sendok di ujung bibir. Ia memikirkan
ucapanku, lalu sedikit terhibur menyadari bagaimana polemik di antara kami
tidak harus setajam reaksi yang kutunjukkan.
"Jadi kau ingin hadiah?" Ia memutar kepala,
tersenyum padaku. Kehangatan senyum itu ... saat ini aku bahkan rela mati
untuknya.
"Aku berhak untuk itu, bukan?"
Kubalas senyuman itu sambil menempelkan tanganku ke atas
punggung tangannya yang berbulu. Ia terkesima saat aku mengusapnya lembut.
"Chriselda, kita akan membicarakan hal itu besok. Aku
sedang merasa kurang sehat." Ia menarik tangannya dengan gusar.
"Aku hanya ingin satu hari berada di luar!"
Ia menghentikan langkah, melihat melampaui punggungnya, lalu
menjawab dingin, "Keinginanmu sungguh tidak masuk akal."
Jadi ia ingin bermain-main denganku. Tentu saja! Bukankah
selama ini kami telah memainkan permainan yang sama selama bertahun-tahun?
"Sebaliknya, aku tidak pernah merasa sewaras ini."
"Kau sadar konsekuensi dari ucapanmu itu?"
Akhirnya ia benar-benar berbalik menghadapku. Wajahnya semakin berwarna merah
muda. "Dan kau tak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya. Kau bahagia
tinggal di sini."
"Itu karena aku ketakutan, Ludwig."
Dan saat mengucapkannya, aku merasakan sensasi dingin yang
hampir kulupakan selama bertahun-tahun kembali menyelimuti tubuh ini.
Ia menatapku dalam pandangan yang sulit kutafsirkan. Ada
rasa marah, namun juga bisa kulihat kebingungan dan rasa bersalah di sana.
"Kau tak pernah menyerah rupanya. Kupikir setelah semua
yang kulakukan selama ini ..."
"Aku tahu kau telah begitu baik padaku. Tapi itu semua
tidak cukup."
Ia menghempaskan tubuh pada sofa, menyadari seberapa banyak
perubahanku, melepaskan dirinya dalam kekalutan hebat. Hal ini selalu berakhir
dengan otot-otot wajah yang menegang, lalu keinginan seperti akan mencabut
rambut-rambut itu dari akarnya.
"Inikah yang kauinginkan? Menikmati kebebasanmu?"
Aku tak akan pernah sanggup menatap kesedihan di wajah
Ludwig. Mungkin seharusnya aku sudah membenci pria itu sejak bertahun-tahun
lalu. Tetapi bahkan dengan segala kenangan akan awal pertemuan kami yang
sedemikian buruk, tetap tak menjadi alasan yang cukup bagiku untuk
menganggapnya sebagai musuh.
Aku terlalu mencintainya sehingga napasku menjadi sesak
setiap kali ia berpaling dariku.
"Itu memang tidak akan terdengar adil bagi kita,"
jawabku, mengambil posisi duduk di sampingnya selayaknya seorang kekasih yang
bersedia menyerap segala rasa sakit pasangannya.
"Kau tidak bersalah, Chriselda. Aku tak akan
menyangkalnya kali ini."
Mein Gott! Ia begitu rapuh dan aku hanya ingin mendekapnya,
meyakinkan segalanya akan baik-baik saja, seperti yang dulu selalu dilakukannya
untukku.
"Aku merasa bahagia bersamamu."
Kudekatkan wajah pria itu ke arahku, merasakan hangat bibir
dan lidahnya. Seperti mimpi yang menjadi nyata saat tangan kokohnya melingkari
leherku.
Satu menit, dua menit ...
Hasratku seketika harus terbunuh saat ia menarik wajah dan
tubuhnya menjauh. Ekspresi pria tersebut seperti baru saja menemukan kenyataan
bahwa peluru yang dilepaskan untuk menembak kijang justeru berakhir di dada
seseorang.
"Ada apa? Kau tidak menikmatinya?" tanyaku dengan
nada tersinggung.
"Ini sama sekali tidak benar," jawabnya dengan
suara bergetar. Aku tahu saat ini ia sedang mencoba melawan keinginannya.
"Kita saling mencintai."
Ia berdiri, mengatur jarak yang cukup aman dariku, lalu
menjawab, "Mustahil! Kau adalah puteriku, Chriselda!"
Aku hanya bisa memandangi tubuh setengah bungkuknya yang
menjauh dengan perasaan hancur. Di mana kenangan masa kecil itu masih sekokoh
prasasti. Ia tidak ikut pecah bersama hatiku, melainkan melesat mundur pada
sebuah momen. Titik balik dari seluruh kerumitan ini.
Saat di suatu sore ia merenggutku dari bus sekolah sebelas
tahun silam. Mendandani dan mengganti namaku seperti puteri tujuh tahunnya yang
hilang. Ia memberikan cinta dan segala yang kubutuhkan saat itu, dan aku hanya
perlu menukarnya dengan waktu.
Kami masih dua orang asing yang sama. Hanya saja, waktu
mengubah perasaan dan banyak hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar