Minggu, 12 Maret 2017

WAKTU TAK PERNAH LUPA, SAYANG


WAKTU TAK PERNAH LUPA, SAYANG
Oleh: Humaira Aziza > Komunitas Bisa Menulis

# estafetaksarahumaz
Cinta adalah ingatan terbaik. Kau melintasi beberapa periode waktu, dimensi dan bahkan reinkarnasi tak akan membunuh bayangannya. Jika aku menyebut cinta sebagai kesucian, murni dan tak terjamah, maka itulah yang kurasakan setiap kali seluruh perhatianku teralih ke satu titik, yaitu dirinya.
Pada hari ini ia bercukur seraya menyenandungkan lagu Traümer. Pria itu melakukannya dengan gerakan melingkar yang terorganisir. Sebagaimana ia menjalani hidup seperti rotasi jarum jam, memastikan surat kabar dilipat dengan benar, kursi makan tidak bergeser sedikit lebih jauh beberapa derajat, bahkan sepatu tidur harus berwarna merah pada Senin dan hijau pada Sabtu.
Penyimpangan sekecil apapun dari ritual itu akan mengusiknya. Lebih hebat dari reaksi marahnya saat Bayern München tak berhasil meraih kemenangan dalam Bundesliga.
Ini waktu tepat untuk memberitahunya bahwa kemarin adalah hari ulang tahunku. Sebaiknya ia memikirkan sebuah kado istimewa untukku, paling tidak untuk beberapa tahun yang terlewatkan. Mungkin lebih tepatnya, sengaja dilewatkan, atau Tuhan memang sedang menghukumku saat itu.
Akan tetapi, waktu-waktu yang hilang tak akan pernah kembali untukmu. Kau hanya perlu menebus rasa kehilangan akan itu.
"Ada sesuatu yang ingin kaukatakan, Chriselda?"
Ia mencuci pisau cukur dengan air hangat, menggosok-gosoknya seakan benda itu baru saja terbenam dalam kubangan lumpur.
"Sebenarnya pertanyaan itu lebih pantas kuajukan padamu."
Masih dengan suara setengah terbenam di antara handuk yang menggosok wajah, ia berkomentar, "Kau tahu aku sama sekali tidak menyukai rahasia. Sekecil apapun itu."
Aku mencoba percaya tak akan ada hal yang lebih buruk terjadi di antara kami. Percuma saja, gerutuku dalam hati. Alih-alih mengharapkan atmosfer yang lebih baik, ia bahkan tak pernah benar-benar yakin apa yang kuinginkan. Juga perubahan pada diriku yang seharusnya mendapatkan lebih banyak perhatian. Ia hanya sebongkah batu.
Ya, itulah pria yang kaucintai sepenuh hati, Chriselda.
"Bukankah kita sudah memainkannya selama bertahun-tahun???" seruku garang.
Sama sekali bukan sifatnya untuk memaafkan intimidasi itu begitu saja. Ia menatapku seperti burung hantu, hanya saja bedanya burung hantu ini memiliki taring yang akan siap mengoyak tubuhku.
"Mengapa kau tak mengatakan apapun?" tuntutku, merasa di atas angin saat menyadari ia hanya melemparkan handuk dengan marah, melenggang pergi, bersikap seolah tak ada yang terjadi.
Ia menuangkan sereal ke dalam mangkuk, menarik kursi makan. Duduk di sana sambil membuka kotak susu dengan marah. Aku tersenyum senang, menyadari bagaimana sekuat apapun ia mencoba menyangkal kekalahan itu, tetap tak dapat mencegahnya dari melakukan hal di luar idealisme. Ia tak pernah makan dengan pakaian tak lengkap seperti saat ini.
"Terserah padamu jika ingin bergabung denganku di meja makan ini atau tidak." Ia bersungut sambil menyuap beberapa sendok sereal sekaligus.
Ia marah, mungkin sangat marah. Namun tetap berusaha menjaga logika di atas emosinya.
"Kita harus bicara."
Aku berjalan menghampirinya dengan tangan terlipat di dada. Gaya menghakimi yang aku tahu sangat dibencinya dan dipandang sebagai sebuah kecongkakan dan dominasi.
"Bukankah kita sedang melakukannya?"
"Kemarin hari ulang tahunku. Tidakkah itu berarti sesuatu bagimu?" Suaraku melunak, sadar sepenuhnya bahwa mengkonfrontasi pria itu saat ini bukan hal benar untuk dilakukan.
Tangannya menggantung sendok di ujung bibir. Ia memikirkan ucapanku, lalu sedikit terhibur menyadari bagaimana polemik di antara kami tidak harus setajam reaksi yang kutunjukkan.
"Jadi kau ingin hadiah?" Ia memutar kepala, tersenyum padaku. Kehangatan senyum itu ... saat ini aku bahkan rela mati untuknya.
"Aku berhak untuk itu, bukan?"
Kubalas senyuman itu sambil menempelkan tanganku ke atas punggung tangannya yang berbulu. Ia terkesima saat aku mengusapnya lembut.
"Chriselda, kita akan membicarakan hal itu besok. Aku sedang merasa kurang sehat." Ia menarik tangannya dengan gusar.
"Aku hanya ingin satu hari berada di luar!"
Ia menghentikan langkah, melihat melampaui punggungnya, lalu menjawab dingin, "Keinginanmu sungguh tidak masuk akal."
Jadi ia ingin bermain-main denganku. Tentu saja! Bukankah selama ini kami telah memainkan permainan yang sama selama bertahun-tahun?
"Sebaliknya, aku tidak pernah merasa sewaras ini."
"Kau sadar konsekuensi dari ucapanmu itu?" Akhirnya ia benar-benar berbalik menghadapku. Wajahnya semakin berwarna merah muda. "Dan kau tak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya. Kau bahagia tinggal di sini."
"Itu karena aku ketakutan, Ludwig."
Dan saat mengucapkannya, aku merasakan sensasi dingin yang hampir kulupakan selama bertahun-tahun kembali menyelimuti tubuh ini.
Ia menatapku dalam pandangan yang sulit kutafsirkan. Ada rasa marah, namun juga bisa kulihat kebingungan dan rasa bersalah di sana.
"Kau tak pernah menyerah rupanya. Kupikir setelah semua yang kulakukan selama ini ..."
"Aku tahu kau telah begitu baik padaku. Tapi itu semua tidak cukup."
Ia menghempaskan tubuh pada sofa, menyadari seberapa banyak perubahanku, melepaskan dirinya dalam kekalutan hebat. Hal ini selalu berakhir dengan otot-otot wajah yang menegang, lalu keinginan seperti akan mencabut rambut-rambut itu dari akarnya.
"Inikah yang kauinginkan? Menikmati kebebasanmu?"
Aku tak akan pernah sanggup menatap kesedihan di wajah Ludwig. Mungkin seharusnya aku sudah membenci pria itu sejak bertahun-tahun lalu. Tetapi bahkan dengan segala kenangan akan awal pertemuan kami yang sedemikian buruk, tetap tak menjadi alasan yang cukup bagiku untuk menganggapnya sebagai musuh.
Aku terlalu mencintainya sehingga napasku menjadi sesak setiap kali ia berpaling dariku.
"Itu memang tidak akan terdengar adil bagi kita," jawabku, mengambil posisi duduk di sampingnya selayaknya seorang kekasih yang bersedia menyerap segala rasa sakit pasangannya.
"Kau tidak bersalah, Chriselda. Aku tak akan menyangkalnya kali ini."
Mein Gott! Ia begitu rapuh dan aku hanya ingin mendekapnya, meyakinkan segalanya akan baik-baik saja, seperti yang dulu selalu dilakukannya untukku.
"Aku merasa bahagia bersamamu."
Kudekatkan wajah pria itu ke arahku, merasakan hangat bibir dan lidahnya. Seperti mimpi yang menjadi nyata saat tangan kokohnya melingkari leherku.
Satu menit, dua menit ...
Hasratku seketika harus terbunuh saat ia menarik wajah dan tubuhnya menjauh. Ekspresi pria tersebut seperti baru saja menemukan kenyataan bahwa peluru yang dilepaskan untuk menembak kijang justeru berakhir di dada seseorang.
"Ada apa? Kau tidak menikmatinya?" tanyaku dengan nada tersinggung.
"Ini sama sekali tidak benar," jawabnya dengan suara bergetar. Aku tahu saat ini ia sedang mencoba melawan keinginannya.
"Kita saling mencintai."
Ia berdiri, mengatur jarak yang cukup aman dariku, lalu menjawab, "Mustahil! Kau adalah puteriku, Chriselda!"
Aku hanya bisa memandangi tubuh setengah bungkuknya yang menjauh dengan perasaan hancur. Di mana kenangan masa kecil itu masih sekokoh prasasti. Ia tidak ikut pecah bersama hatiku, melainkan melesat mundur pada sebuah momen. Titik balik dari seluruh kerumitan ini.
Saat di suatu sore ia merenggutku dari bus sekolah sebelas tahun silam. Mendandani dan mengganti namaku seperti puteri tujuh tahunnya yang hilang. Ia memberikan cinta dan segala yang kubutuhkan saat itu, dan aku hanya perlu menukarnya dengan waktu.
Kami masih dua orang asing yang sama. Hanya saja, waktu mengubah perasaan dan banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar