Rabu, 22 Maret 2017

CINTA DALAM DIAM


Cinta_Dalam_Diam
Oleh: Julaeha Lala
Komunitas Bisa Menulis


Pagi ini melihatmu lagi, seperti biasa menunggu angkot yang sama. Tapi kali ini kamu kurang beruntung. Angkotnya sudah penuh, tapi kamu memberi isyarat 'menggantung' dan pak sopirpun berhenti. Bergelantungan di pintu seperti Tarzan. Dan bagiku, itu malah membuatmu terlihat tambah macho.
Sekolah kita yang sangat jauh, dan angkot yang masih sangat jarang saat itu membuat kita tak mau ambil resiko telat datang ke sekolah.
.
Sore ini, aku melihatmu lagi. Tak perlu tegur sapa, cukup melihatmu tersenyum sudah merasa senang.
Laki-laki tampan berhidung mancung, bermata elang, dengan alis lebat ba' ulat bulu.
Ini, untuk pertama kalinya aku begitu memperhatikan sosok lawan jenis. Meski sejak kelas dua SMP sudah ada beberapa teman laki-laki menyatakan perasaannya padaku. Tapi waktu itu aku tidak mengerti. Dan tidak memiliki perasaan yang aneh seperti ini.
Usiaku tujuhbelas sekarang, dan mungkin tengah dilanda demam 'cinta pertama'.
Perasaan ini sudah lama ada, semenjak pertama aku sekolah SMA dan menggunakan angkot yang sama denganmu.
Melihatmu bercanda dan tertawa dengan teman seangkot kita, itu cukup membuatku bahagia. Entah mengapa hanya aku yang tak kau ajak bercanda, meski teman-temanmu yang lain kerap menggoda dengan julukan si manis dalam angkot lalu terlihat kau tersenyum setiap mendengar itu.
Dan akupun senang.
.
Sore ini, aku mulai patah hati. Kulihat kau berjalan ke arah angkot dengan seorang perempuan berhijab. Yang kutahu dia anak kelas tiga MAN. Kalian mengambil tempat tepat di hadapanku.
Seperti biasa, kau hanya melempar senyum padaku.
Sedang dia tengah sibuk melanjutkan obrolan yang entah apa, denganmu.
Aku cemburu. Aku iri melihat perempuan itu duduk begitu menempel denganmu. Dan lebih sakit lagi saat kau mulai memegang tangan perempuan itu di atas pangkuannya.
Tahukah, melihatmu melakukan itu di depan mata, itu membuatku sakit. Sakit yang tak beralasan karena memang aku bukan siapa-siapa.
.
Bila kau memilih dia karena hijabnya, itu membuatku berpikir untuk memakai hijab juga. Ah, terdengar konyol sekali bukan?
* * * * *
Bersambung
# Cinta_Dalam_Diam
Part 2
.
Diam-diam aku meminjam kerudung segiempat ibu. Kupandangi diri di cermin, usai berjuang keras dengan jari yang berkali-kali tertusuk jarum pentul. Lumayan. Tersenyum sendiri melihat bayangan di hadapanku. Tapi tiba-tiba, rasa kurang percaya diri hadir lagi. Kembali kubuka kerudung itu, dan mencampakkannya di tempat tidur.
Aku bukan dia!
Berjuta rasa menggumpal di dada, ada cemburu resah juga marah. Lelah. Kuhempaskan diriku, memandang langit-langit kamar yang bisu.
Ada apa denganku?
.
Pagi ini, tidak sesemangat hari yang lalu. Bahkan aku berharap, tidak satu angkot lagi denganmu. Tapi jadwal kita selalu sama, dan pagi ini angkot tidak sepenuh biasanya.
Saat kulihat kamu sudah terlihat dari kejauhan, aku membuka buku besar yang kubawa.
"Rajin amat ..."
Refleks kuangkat wajahku, ada rasa tak percaya saat kudengar suaramu menyapa.
Aku hanya bisa memberikanmu senyum. Senyum yang sepertinya teramat aneh aku rasa.
Untuk pertama kalinya kamu menyapa langsung padaku setelah hampir satu tahun kita menjadi teman satu angkot. Mungkin karena teman-teman yang lain tak ada. Yang ada hanya ibu-ibu yang hendak pergi ke pasar.
Ah, aku merasa terpaksa menjadi temanmu pagi ini.
.
Sore harinya, kembali kudapati kamu bersama perempuan itu. Mesra.
Aku sudah bertekad, tak ingin satu angkot lagi dengan kalian. Sakit.
"Ayo, Neng ... satu lagi," ujar pak sopir.
"Ngga, Bang ... mau nunggu temen dulu,"
"Yee, ntar kemaleman pulangnya,"
Aku berlagak tengok kanan kiri seolah tengah mencari, tak menghiraukan ucapan pak sopir yang segera berlalu.
Hhhh...
Tak kusangka, menyukaimu akan sebegini sakitnya.
.
"Cowok itu, gue kan?" ucapmu sore itu, ketika kita tengah menunggu angkotnya penuh. Tidak seperti kemarin-kemarin, sore ini kamu sendiri.
"Maksud lo?!"
Aku bingung, kamu tak pernah seakrab ini dengan ku.
Lalu, kulihat kamu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah buku kecil yang sangat aku kenali. Aku langsung merebut buku itu dari tanganmu.
"Maaf, gue udah baca semua."
Mataku terasa panas, aku hanya bisa menunduk malu. Tiba-tiba air mata terasa begitu deras mengalir. Aku tak sanggup lagi berhadapan denganmu. Andai aku bisa menghilang.
"Maaf, kemaren gue liat buku lo jatoh pas mau gue kasiin lo udah naik bis."
.
Cerobohnya aku. Buku catatan kecil itu memang selalu kubawa. Dan pagi itu, saat aku berpura-pura membaca buku besar di depanmu mungkin buku catatan itu tengah kutaruh di situ dan jatuh.
.
"Maafin gue, Ra."
Kamu terus meminta maaf. Tapi aku sungguh sangat-sangat malu. Semua perasaan itu. Sejak pertama melihatmu hingga hari sebelum kemarin semua tercatat disitu. Dalam bentuk puisi dan sumpah serapahku tentangmu.
Lalu kamu membelikanku tisu, membukanya dan menyodorkannya padaku. Sumpah! Andai bukan saat seperti ini, aku pasti sangat tersanjung dengan perlakuanmu. Tapi tidak kali ini. Tisumu mungkin bisa menghapus air mataku, tapi tidak bisa menghapus berjuta rasa malu di dadaku.
.
Diam. Kita sama-sama terdiam. Bahkan ketika teman-teman yang lain mulai bersenda gurau tak lagi terdengar sahutan darimu. Dan akupun hanya tertunduk tak sanggup mengangkat wajahku.
"Lo kenapa, Ra?" tanya Galang teman satu STMmu padaku.
Aku hanya menggeleng.
"Baru abis diputusin pacar, ya? Udah jangan dipikirin! Masih banyak cowok yang laen. Gue siap jadi gantinya, apa Guntur?" celotehnya lagi.
Jleb!
Guntur. Sebilah belati seakan menancap di dadaku saat Galang menyebut namamu. Refleks mata kita bertemu. Ah, aku merasa sebelumnya kita tak pernah seaneh ini.
.
Pagi ini, aku tak harus bertemu lagi denganmu. Aku malas berangkat sekolah. Dengan alasan kurang enak badan pada ibu. Ada sedikit rindu, tapi rasa malu jauh lebih menguasai di kalbu.
.
Empat hari tak bertemu. Semoga semuanya bisa kembali seperti semula.
Dan ternyata hari ini, aku tidak mendapatimu menunggu angkot. Mungkin sudah berangkat lebih dulu. Syukurlah.
.
Sorenya, teman-teman satu angkot kita ribut membicarakan akan menjengukmu. Mereka bilang kamu sakit. Tapi bukan sakit biasa. Hari sabtu sore kamu terjatuh dari kereta ketika anak satu STM denganmu terlibat tawuran.
Sungguh, aku ngeri membayangkan apa yang terjadi denganmu. Pasti sakit sekali. Jatuh dari kereta.
.
Malam ini aku tak dapat tidur. Aku memikirkan keadaanmu. Menyalahkan mengapa kamu harus ikut tawuran.
.
Pagi yang kusut. Duduk di angkot tak lagi indah tanpamu. Tapi dugaanku meleset, aku melihatmu di jalan yang sama. Berdiri manis menunggu angkot, dengan kondisi fisik sehat walafiat. Dan tentu saja, tampan.
.
"Geseran dong," pintamu.
Sekilas aku menengok ke bangku belakang.
"Di belakang masih kosong!" sahutku.
"Orang pengennya di sini, biar kaya anak sopir ya, Bang," jawabmu malah meminta dukungan pak sopir.
Hhh....
Aku menyesal sudah duduk di depan. Benarkah? Tapi hatiku mengkhianati.
Ada debar yang indah. Meski rasa malu itu masih ada.
.
Salah tingkah. Tak tahu mau berbuat apa. Meski berusaha sebiasa mungkin tetap saja terlihat aneh.
.
"Udah sembuh?" tiba-tiba ucapan itu malah keluar dari bibirku.
Mata elangmu terlihat menatapku dari kaca spion, bibirmu seakan tersenyum penuh kemenangan. Aku menyesal bertanya. Dan kenapa juga aku harus melihat kaca spion itu. Wajah itu ... ingin sekali rasanya aku menonjokmu.
"Siapa yang sakit?" jawabanmu datar, terdengar seperti meledek.
Entah kenapa, sejak kamu temukan buku catatan harianku, sikapmu berubah jadi aneh padaku. Tapi aku suka.
"Kata temen-temen ..." aku tak melanjutkan ucapanku.
"Kangen yaa ..." jawabanmu malah membuat mukaku merah. Untunglah angkot segera sampai di tujuan. Hingga aku bisa terbebas dengan kondisi yang sangat menyebalkan, meski sekaligus menyenangkan.
.
Tiba-tiba kamu menahan tanganku. Ketika aku hendak berjalan ke halte bus.
Aku hanya menurut. Terdiam menunggu, dengan tanganmu masih memegang lenganku.
"Ra ... cowok itu, gue kan?" pertanyaan yang sama dengan waktu itu. Yang membuatku menangis saking malunya. Aku berusaha melepaskan tanganku, tapi kamu malah lebih kuat menahan.
Aku hanya menunduk diam.
"Ra, gue udah putusin Dina."
Sontak aku memandang wajahmu.
Semudah itukah? batinku.
Kemudian dengan cepat menunduk lagi. Aku tak sanggup menatap mata elangmu.
"Gue juga ngga ngerti, Ra ... waktu gue baca semua puisi sama curhatan yang ada di buku lo. Semaleman gue ngga bisa tidur. Gue ngerasa beda. Gue jatuh cinta sama lo."
Ada gerimis di hatiku saat kamu ucapkan itu. Tapi, aku merasa ini aneh. Harusnya senang, tapi mengapa aku malah sedih mendengar ucapan itu.
Aku merasa, kamu tengah mengasihaniku.
"Waktu itu gue sengaja, nyuruh temen-temen bohong kalo gue sakit. Biar tau reaksi lo gimana. Maaf Ra, tapi waktu hari jum'at sabtu gue ngga bisa nemuin lo, rasanya gue kehilangan."
.
Aku menatap wajahnya. Ingin mencari kebenaran. Benarkah semudah itu, membuatnya jatuh cinta padaku. Puisi. Curhatan. Sumpah serapah di buku kecil itu?
Kuberanikan lebih lama memandang mata elangnya. Ada sebentuk tanya, akankah nasibku sama menyedihkannya dengan Dina nanti, ketika kelak ada perempuan lain mengirimkanmu puisi?
* * * * *
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar