Cinta_Dalam_Diam
Oleh: Julaeha Lala
Komunitas Bisa Menulis
Pagi ini melihatmu lagi, seperti biasa menunggu angkot yang
sama. Tapi kali ini kamu kurang beruntung. Angkotnya sudah penuh, tapi kamu
memberi isyarat 'menggantung' dan pak sopirpun berhenti. Bergelantungan di
pintu seperti Tarzan. Dan bagiku, itu malah membuatmu terlihat tambah macho.
Sekolah kita yang sangat jauh, dan angkot yang masih sangat
jarang saat itu membuat kita tak mau ambil resiko telat datang ke sekolah.
.
Sore ini, aku melihatmu lagi. Tak perlu tegur sapa, cukup
melihatmu tersenyum sudah merasa senang.
Laki-laki tampan berhidung mancung, bermata elang, dengan
alis lebat ba' ulat bulu.
Ini, untuk pertama kalinya aku begitu memperhatikan sosok
lawan jenis. Meski sejak kelas dua SMP sudah ada beberapa teman laki-laki
menyatakan perasaannya padaku. Tapi waktu itu aku tidak mengerti. Dan tidak
memiliki perasaan yang aneh seperti ini.
Usiaku tujuhbelas sekarang, dan mungkin tengah dilanda demam
'cinta pertama'.
Perasaan ini sudah lama ada, semenjak pertama aku sekolah
SMA dan menggunakan angkot yang sama denganmu.
Melihatmu bercanda dan tertawa dengan teman seangkot kita,
itu cukup membuatku bahagia. Entah mengapa hanya aku yang tak kau ajak
bercanda, meski teman-temanmu yang lain kerap menggoda dengan julukan si manis
dalam angkot lalu terlihat kau tersenyum setiap mendengar itu.
Dan akupun senang.
.
Sore ini, aku mulai patah hati. Kulihat kau berjalan ke arah
angkot dengan seorang perempuan berhijab. Yang kutahu dia anak kelas tiga MAN.
Kalian mengambil tempat tepat di hadapanku.
Seperti biasa, kau hanya melempar senyum padaku.
Sedang dia tengah sibuk melanjutkan obrolan yang entah apa,
denganmu.
Aku cemburu. Aku iri melihat perempuan itu duduk begitu
menempel denganmu. Dan lebih sakit lagi saat kau mulai memegang tangan
perempuan itu di atas pangkuannya.
Tahukah, melihatmu melakukan itu di depan mata, itu
membuatku sakit. Sakit yang tak beralasan karena memang aku bukan siapa-siapa.
.
Bila kau memilih dia karena hijabnya, itu membuatku berpikir
untuk memakai hijab juga. Ah, terdengar konyol sekali bukan?
* * * * *
Bersambung
# Cinta_Dalam_Diam
Part 2
.
Diam-diam aku meminjam kerudung segiempat ibu. Kupandangi
diri di cermin, usai berjuang keras dengan jari yang berkali-kali tertusuk
jarum pentul. Lumayan. Tersenyum sendiri melihat bayangan di hadapanku. Tapi
tiba-tiba, rasa kurang percaya diri hadir lagi. Kembali kubuka kerudung itu,
dan mencampakkannya di tempat tidur.
Aku bukan dia!
Berjuta rasa menggumpal di dada, ada cemburu resah juga marah.
Lelah. Kuhempaskan diriku, memandang langit-langit kamar yang bisu.
Ada apa denganku?
.
Pagi ini, tidak sesemangat hari yang lalu. Bahkan aku
berharap, tidak satu angkot lagi denganmu. Tapi jadwal kita selalu sama, dan
pagi ini angkot tidak sepenuh biasanya.
Saat kulihat kamu sudah terlihat dari kejauhan, aku membuka
buku besar yang kubawa.
"Rajin amat ..."
Refleks kuangkat wajahku, ada rasa tak percaya saat kudengar
suaramu menyapa.
Aku hanya bisa memberikanmu senyum. Senyum yang sepertinya
teramat aneh aku rasa.
Untuk pertama kalinya kamu menyapa langsung padaku setelah
hampir satu tahun kita menjadi teman satu angkot. Mungkin karena teman-teman
yang lain tak ada. Yang ada hanya ibu-ibu yang hendak pergi ke pasar.
Ah, aku merasa terpaksa menjadi temanmu pagi ini.
.
Sore harinya, kembali kudapati kamu bersama perempuan itu.
Mesra.
Aku sudah bertekad, tak ingin satu angkot lagi dengan
kalian. Sakit.
"Ayo, Neng ... satu lagi," ujar pak sopir.
"Ngga, Bang ... mau nunggu temen dulu,"
"Yee, ntar kemaleman pulangnya,"
Aku berlagak tengok kanan kiri seolah tengah mencari, tak
menghiraukan ucapan pak sopir yang segera berlalu.
Hhhh...
Tak kusangka, menyukaimu akan sebegini sakitnya.
.
"Cowok itu, gue kan?" ucapmu sore itu, ketika kita
tengah menunggu angkotnya penuh. Tidak seperti kemarin-kemarin, sore ini kamu
sendiri.
"Maksud lo?!"
Aku bingung, kamu tak pernah seakrab ini dengan ku.
Lalu, kulihat kamu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
Sebuah buku kecil yang sangat aku kenali. Aku langsung merebut buku itu dari
tanganmu.
"Maaf, gue udah baca semua."
Mataku terasa panas, aku hanya bisa menunduk malu. Tiba-tiba
air mata terasa begitu deras mengalir. Aku tak sanggup lagi berhadapan
denganmu. Andai aku bisa menghilang.
"Maaf, kemaren gue liat buku lo jatoh pas mau gue
kasiin lo udah naik bis."
.
Cerobohnya aku. Buku catatan kecil itu memang selalu kubawa.
Dan pagi itu, saat aku berpura-pura membaca buku besar di depanmu mungkin buku
catatan itu tengah kutaruh di situ dan jatuh.
.
"Maafin gue, Ra."
Kamu terus meminta maaf. Tapi aku sungguh sangat-sangat
malu. Semua perasaan itu. Sejak pertama melihatmu hingga hari sebelum kemarin
semua tercatat disitu. Dalam bentuk puisi dan sumpah serapahku tentangmu.
Lalu kamu membelikanku tisu, membukanya dan menyodorkannya
padaku. Sumpah! Andai bukan saat seperti ini, aku pasti sangat tersanjung
dengan perlakuanmu. Tapi tidak kali ini. Tisumu mungkin bisa menghapus air
mataku, tapi tidak bisa menghapus berjuta rasa malu di dadaku.
.
Diam. Kita sama-sama terdiam. Bahkan ketika teman-teman yang
lain mulai bersenda gurau tak lagi terdengar sahutan darimu. Dan akupun hanya
tertunduk tak sanggup mengangkat wajahku.
"Lo kenapa, Ra?" tanya Galang teman satu STMmu
padaku.
Aku hanya menggeleng.
"Baru abis diputusin pacar, ya? Udah jangan dipikirin!
Masih banyak cowok yang laen. Gue siap jadi gantinya, apa Guntur?"
celotehnya lagi.
Jleb!
Guntur. Sebilah belati seakan menancap di dadaku saat Galang
menyebut namamu. Refleks mata kita bertemu. Ah, aku merasa sebelumnya kita tak
pernah seaneh ini.
.
Pagi ini, aku tak harus bertemu lagi denganmu. Aku malas
berangkat sekolah. Dengan alasan kurang enak badan pada ibu. Ada sedikit rindu,
tapi rasa malu jauh lebih menguasai di kalbu.
.
Empat hari tak bertemu. Semoga semuanya bisa kembali seperti
semula.
Dan ternyata hari ini, aku tidak mendapatimu menunggu
angkot. Mungkin sudah berangkat lebih dulu. Syukurlah.
.
Sorenya, teman-teman satu angkot kita ribut membicarakan
akan menjengukmu. Mereka bilang kamu sakit. Tapi bukan sakit biasa. Hari sabtu
sore kamu terjatuh dari kereta ketika anak satu STM denganmu terlibat tawuran.
Sungguh, aku ngeri membayangkan apa yang terjadi denganmu.
Pasti sakit sekali. Jatuh dari kereta.
.
Malam ini aku tak dapat tidur. Aku memikirkan keadaanmu.
Menyalahkan mengapa kamu harus ikut tawuran.
.
Pagi yang kusut. Duduk di angkot tak lagi indah tanpamu.
Tapi dugaanku meleset, aku melihatmu di jalan yang sama. Berdiri manis menunggu
angkot, dengan kondisi fisik sehat walafiat. Dan tentu saja, tampan.
.
"Geseran dong," pintamu.
Sekilas aku menengok ke bangku belakang.
"Di belakang masih kosong!" sahutku.
"Orang pengennya di sini, biar kaya anak sopir ya,
Bang," jawabmu malah meminta dukungan pak sopir.
Hhh....
Aku menyesal sudah duduk di depan. Benarkah? Tapi hatiku
mengkhianati.
Ada debar yang indah. Meski rasa malu itu masih ada.
.
Salah tingkah. Tak tahu mau berbuat apa. Meski berusaha
sebiasa mungkin tetap saja terlihat aneh.
.
"Udah sembuh?" tiba-tiba ucapan itu malah keluar
dari bibirku.
Mata elangmu terlihat menatapku dari kaca spion, bibirmu
seakan tersenyum penuh kemenangan. Aku menyesal bertanya. Dan kenapa juga aku
harus melihat kaca spion itu. Wajah itu ... ingin sekali rasanya aku
menonjokmu.
"Siapa yang sakit?" jawabanmu datar, terdengar
seperti meledek.
Entah kenapa, sejak kamu temukan buku catatan harianku,
sikapmu berubah jadi aneh padaku. Tapi aku suka.
"Kata temen-temen ..." aku tak melanjutkan
ucapanku.
"Kangen yaa ..." jawabanmu malah membuat mukaku
merah. Untunglah angkot segera sampai di tujuan. Hingga aku bisa terbebas
dengan kondisi yang sangat menyebalkan, meski sekaligus menyenangkan.
.
Tiba-tiba kamu menahan tanganku. Ketika aku hendak berjalan
ke halte bus.
Aku hanya menurut. Terdiam menunggu, dengan tanganmu masih
memegang lenganku.
"Ra ... cowok itu, gue kan?" pertanyaan yang sama
dengan waktu itu. Yang membuatku menangis saking malunya. Aku berusaha
melepaskan tanganku, tapi kamu malah lebih kuat menahan.
Aku hanya menunduk diam.
"Ra, gue udah putusin Dina."
Sontak aku memandang wajahmu.
Semudah itukah? batinku.
Kemudian dengan cepat menunduk lagi. Aku tak sanggup menatap
mata elangmu.
"Gue juga ngga ngerti, Ra ... waktu gue baca semua
puisi sama curhatan yang ada di buku lo. Semaleman gue ngga bisa tidur. Gue
ngerasa beda. Gue jatuh cinta sama lo."
Ada gerimis di hatiku saat kamu ucapkan itu. Tapi, aku
merasa ini aneh. Harusnya senang, tapi mengapa aku malah sedih mendengar ucapan
itu.
Aku merasa, kamu tengah mengasihaniku.
"Waktu itu gue sengaja, nyuruh temen-temen bohong kalo
gue sakit. Biar tau reaksi lo gimana. Maaf Ra, tapi waktu hari jum'at sabtu gue
ngga bisa nemuin lo, rasanya gue kehilangan."
.
Aku menatap wajahnya. Ingin mencari kebenaran. Benarkah
semudah itu, membuatnya jatuh cinta padaku. Puisi. Curhatan. Sumpah serapah di
buku kecil itu?
Kuberanikan lebih lama memandang mata elangnya. Ada sebentuk
tanya, akankah nasibku sama menyedihkannya dengan Dina nanti, ketika kelak ada
perempuan lain mengirimkanmu puisi?
* * * * *
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar