Cinta_Dalam_Sekeranjang_Mangga
Oleh: Julaeha Lala
Komunitas Bisa Menulis
Kupandangi sekeranjang mangga muda yang teronggok di atas
meja.
"Ini ibu bawain mangga muda, biar kamu cepet hamil.
Perempuan yang suka makan rujak biasanya bisa cepat hamil," ujar ibu
mertua.
"Iya Kak Sisy, bilangin tuh sama kak Andre jangan
terlalu sibuk kerja. Kecape'an juga kan bikin kwalitas hubungan suami istri
jadi terganggu," sahut Rima adik iparku, yang sudah lebih dulu berkeluarga
dan punya anak dua yang lucu-lucu.
Pagi tadi mereka datang berkunjung untuk pertama kalinya.
.
Hhhh...
Berusaha berpikir positif, pernikahanku dengan Andre sudah
berjalan tiga bulan. Sebagai anak tertua dan tergolong lambat menikah, aku bisa
mengerti bila keluarganya begitu sangat mengharapkan keturunan dari kami. Tapi
bagaimana mungkin?
.
"Jangan terlalu diambil hati."
Hanya itu yang keluar dari mulutnya, saat aku menceritakan
perihal kedatangan ibu dan adiknya, dan apa yang mereka inginkan dari kami.
Setelah itu seperti biasa ia sibuk kembali dengan sisa
pekerjaan yang dibawa ke rumah.
.
Aku masih terjaga sedang suamiku sudah tertidur dengan
pulasnya. Mataku menerawang, bimbang. Bahkan gerakanku yang berbalik kanan dan
kiri karena gelisahpun tidak mengusik tidurnya.
Aku maklum, mungkin dia terlalu lelah.
Lelah? Bahkan sejak malam pertama ia selalu dingin.
"Saya capek, mau tidur dulu," ucapnya di malam
pengantin kami. Bahkan di saat kami belum melakukan apa-apa.
.
Pernikahan kami memang bukan karena cinta. Usianya yang
sudah menginjak kepala empat, dipaksa menikah oleh sang nenek yang tengah sakit
parah, denganku yang hanya anak dari bawahan di kantor ayahnya. Dan aku, hanya
menurut saja, karena baktiku.
Awalnya aku sangat tidak terima, menikah dengan laki-laki
yang terpaut usia lima belas tahun itu, meski aku tahu dia cukup tampan dan
mapan.
.
"Belom tidur?" tiba-tiba suaranya menyadarkanku
dari lamunan. Dia terbangun. Minum.
"Masih mikirin ucapan ibu?" lanjutnya.
Aku hanya menggeleng. Membenahi selimut pada tubuhku dan
berusaha untuk tidur. Berbicarapun percuma pikirku. Entahlah, aku merasa
sepertinya dia tidak punya hasrat pada perempuan. Apa dia gay?
Aku bergidik ngeri membayangkannya.
.
Seperti biasa, aku menyiapkan sarapan untuknya. Bahkan di
hari sabtupun ia tetap sibuk bekerja.
"Selamat pagii," ucapnya formal seperti biasa.
"Paag gi ju ga ..." balasku ragu ketika kulihat ia
hanya memakai kaus dan celana pendek.
"Libur?" tanyaku.
"Kenapa? Ngga suka?"
Aku hanya tersenyum mendengarnya balik bertanya.
"Kasihan mangga mudanya," ujarnya, sambil menimang
satu mangga seraya berjalan mendekatiku.
Tingkahnya sangat aneh, tersenyum misterius. Aku yang masih
mengaduk nasi goreng menjadi curiga dengan caranya. Ia malah mematikan kompor
lalu bergerak cepat membopongku.
"Heii.. apa-apaan sih? Mau dibawa kemana?"
teriakku.
Ia menurunkanku perlahan di ranjang, aku langsung berdiri
tegang. Ada apa dengannya? Kesambet setan di mana, pikirku.
"Aku ingin tidur dengan istriku. Kenapa?"
"Mas. Ini ngga perlu," ujarku. Aku tahu ia pasti
terpaksa melakukan ini.
"Bukankah kamu ingin hamil?"
"Mas ... tolong, jangan lakukan ini. Ibu juga sudah
punya dua cucu. Ibu pasti ngerti," aku mulai takut. Aku memang sempat
mengeluh, sudah menikah tapi masih gadis. Tapi bukan cara seperti ini yang aku
inginkan.
"Maas, jangaann ...!"
* * * * *
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar