Minggu, 12 Maret 2017

Teh Pukul Tiga Sore


Ayu Larasati > Komunitas Bisa Menulis
Magelang, 10 Maret 2017


Teh Pukul Tiga Sore


"Kenapa kita harus bertemu di 0 kilometer?" Tanya seseorang di telepon.
Aku memilin rambut, menjatuhkan kepala di bantal sofa, "Untuk merayakan jarak kita yang mengecil menjadi 0 kilometer."
.
"Begitu?"
.
Aku mengangguk, "Iya."
.
Aku tersenyum. Dan aku yakin, jauh di sana dia juga tengah tersenyum.
***
Setahun sebelumnya.
"Pokoknya, malam ini harus kamu kirim file-nya," omel Gustav di telepon, "no more excuse! Gak ada alasan lagi e-mailmu eror atau koneksi internet lemot."
.
Suara Gustav segalak petir, setegas batu cadas.
.
"Tapi, Gus...., aku tid--"
.
Gustav memotong dengan cepat, "Aku nggak mau dengar alasan apa pun."
.
Klik. Telepon ditutup. Membuatku semakin frustasi, dikejar-kejar deadline begini. Sekarang jam tiga sore. Seharian ini aku belum mandi sama sekali. Gustav si manusia robot itu pasti tidak tahu rasanya menjadi aku : si gadis malang yang baru saja menangis semalaman. Mataku bengkak--karena jarang tidur ditambah menangis lama. Patah hati membuatku malas melakukan apa pun. Sekalipun itu hanya pergi ke kamar mandi. Jarak antara kamar mandi dan tempat tidur serasa sejauh Laut Utara dan Samudra Hindia.
.
Setelah susah payah menyeret langkah ke kamar mandi untuk mengguyur tubuh ini dari kuman-kuman, aku membuka lemari, tidak ada pakaian bersih yang tersisa. Kecuali sebuah blouse lengan panjang berwarna biru safir. Astaga, bahkan aku lupa untuk membawa semua baju kotor ke tempat laundry. Suasana hati yang buruk membuat keadaan semakin kacau saja.
.
Tanpa menunggu lama, aku mengenakan blouse itu, disusul celana jeans dan sepatu kets. Aku menguncir rambut sekenanya. Kupatut diriku di cermin : sangat kasual dan terlihat menyedihkan. Terutama mataku. Mungkin sedikit make up bisa menyamarkannya. (Sebelumnya aku tidak punya alasan bagus untuk menyapukan make up ke wajah kecuali ketika akan bertemu dengan Gio).
.
Tidak sampai tiga puluh menit aku sudah sampai di kafe Delicioux. Selain suasana kafe yang sangat mendukung untuk menulis, latte di sini lumayan enak. Yah, walaupun tidak sebagus di kafe X--tempat aku bertemu pertama kali dengan Gio yang barista sekaligus penulis skenario. Oke, Emeralda, berhentilah memikirkan laki-laki itu. Gio sudah jadi milik wanita-cantik-dan-feminin itu. Kamu tidak perlu memikirkan lagi orang yang jelas-jelas tidak pernah memikirkanmu.
.
Baiklah. Sekarang fokus pada deadline naskah. Atau Gustav akan mengundang penjagal untuk memenggal leherku. (Akan lebih baik kalau dia mengundang Gong Yoo dan pedang Goblin-nya).
.
Microsoft word terbuka seiring datangnya moccha latte yang telah diracik barista. Kucecap sedikit, lalu jemariku mulai mengebut di atas keyboard. Kupasang headphone warna biru di telinga. Mengalirkan puluhan lagu The Cranberries. Kadang-kadang aku masih mendengarkan Frank Sinatra juga. Selera musikku memang aneh. Ngomong-ngomong, Fly Me to the Moon-nya Frank Sinatra lagu yang bagus menurutku. Tapi, itu kan lagu favoritnya Gio juga. Oh Goodness. Aku langsung menghapus file lagu itu dari i-Pod.
.
Semuanya baik-baik saja, hingga seseorang menyeret kursi di depanku. Aku sengaja memilih meja yang terletak di pojok ruangan agar tidak terganggu. Tapi, orang ini? Who the heck he is?
.
"Boleh aku duduk di sini?" Tanya si lelaki.
.
"Mm-mm," aku menggumam. Tapi telunjukku menekan tombol keyboard lebih keras.
.
Laki-laki itu duduk begitu saja. Lima menit kemudian secangkir lemon tea datang untuknya. Sepasang mata di balik lensa kacamatanya dengan serius membaca sebuah novel fantasi yang dipegangnya.
.
Laki-laki itu menyesap tehnya, "Ada yang salah?"
.
"Eh?" Aku gelagapan, karena ketahuan mengamatinya. Aku menggeleng, lalu kembali fokus ke layar laptop. Kursor berkedip-kedip di halaman word, tanpa ada kalimat tambahan lagi. Tiba-tiba buntu, konsentrasiku terpecah ke laki-laki itu.
.
Sepertinya, aku pernah bertemu dengannya. Tapi, di mana? Rasanya tidak asing. Aku memutar otak--mencoba mencari file-file memori yang kemungkinan bisa membantu menjawab prasangkaku.
.
"Kamu pasti Alda. Emeralda Wening. Apakah benar?" Cetus laki-laki itu membuatku hampir tersedak cangkir latte.
Bagaimana laki-laki itu tahu namaku?
.
"Kamu pasti tidak mengingatku. Hmm. Sayang sekali," suara beratnya menerpa telinga. Membuatku terhenyak. Aku.... sekarang pernah mendengar suaranya. Tapi kapan? Di mana? Pundakku tiba-tiba menggigil, terjebak deja vu.
.
"An endless talking. Yahoo! Messenger. Ingat ID "Hazard"?" Bisiknya.
.
Hazard? Sekilas seperti nama pemain bola di klub Chelsea. Eden Hazard. Memori di kepala ini sedikit demi sedikit terbuka file-filenya satu per satu. Hazard? Astaga! Aku tidak menyangka bisa bertemu dengannya di sini!
.
"Sudah ingat?" Laki-laki itu tersenyum. Aku masih melongo. Menatapnya tidak percaya.
.
"Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu denganmu secara langsung. Tapi sayang sekali Alda, aku harus pergi. Ada seminar yang harus kuisi."
.
"Eh? Iya...." Aku speechless. Tidak tahu mau bilang apa. Bagiku, ini terlalu mengejutkan. Bertemu dengan tidak sengaja dengan teman maya yang dua tahun terakhir menjadi teman berkeluh-kesah.
.
"Kamu kelihatan tidak baik-baik saja. Berceritalah padaku," Hazard meletakkan kartu nama di meja, "Jam tiga sore. Dua cangkir teh. Pintu selalu terbuka untukmu."
.
Hazard tersenyum. Lalu pergi meninggalkanku yang terpaku di kursi bersama sisa latte dan lemon tea miliknya yang tinggal setengah cangkir. Aku masih membisu, padahal banyak pertanyaan yang berjejalan di kepala : apakah dia masih menyukai Chelsea? Di mana dia tinggal? Siapa nama aslinya? Atau Hazard itu memang nama aslinya?
.
Suasana kafe semakin ramai. Tapi terasa palsu. Bising. Tiba-tiba aku merasa sendirian, sepi, hanya bertemankan aroma latte yang dingin dan terasa hambar.
***
Dia datang, melambaikan tangan.
Lalu menyerahkan seikat krisan biru. Menanamnya di planet merahku.
Jam tiga sore. Matahari terjatuh di barat, menjemput senja. Menerangi dua cangkir teh yang terhidang bersama sepasang senyum.
***
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar