Ayu Larasati > Komunitas Bisa Menulis
Magelang, 10 Maret 2017
Teh Pukul Tiga Sore
"Kenapa kita harus bertemu di 0 kilometer?" Tanya
seseorang di telepon.
Aku memilin rambut, menjatuhkan kepala di bantal sofa,
"Untuk merayakan jarak kita yang mengecil menjadi 0 kilometer."
.
"Begitu?"
.
Aku mengangguk, "Iya."
.
Aku tersenyum. Dan aku yakin, jauh di sana dia juga tengah
tersenyum.
***
Setahun sebelumnya.
"Pokoknya, malam ini harus kamu kirim file-nya,"
omel Gustav di telepon, "no more excuse! Gak ada alasan lagi e-mailmu eror
atau koneksi internet lemot."
.
Suara Gustav segalak petir, setegas batu cadas.
.
"Tapi, Gus...., aku tid--"
.
Gustav memotong dengan cepat, "Aku nggak mau dengar
alasan apa pun."
.
Klik. Telepon ditutup. Membuatku semakin frustasi,
dikejar-kejar deadline begini. Sekarang jam tiga sore. Seharian ini aku belum
mandi sama sekali. Gustav si manusia robot itu pasti tidak tahu rasanya menjadi
aku : si gadis malang yang baru saja menangis semalaman. Mataku bengkak--karena
jarang tidur ditambah menangis lama. Patah hati membuatku malas melakukan apa
pun. Sekalipun itu hanya pergi ke kamar mandi. Jarak antara kamar mandi dan
tempat tidur serasa sejauh Laut Utara dan Samudra Hindia.
.
Setelah susah payah menyeret langkah ke kamar mandi untuk
mengguyur tubuh ini dari kuman-kuman, aku membuka lemari, tidak ada pakaian
bersih yang tersisa. Kecuali sebuah blouse lengan panjang berwarna biru safir.
Astaga, bahkan aku lupa untuk membawa semua baju kotor ke tempat laundry.
Suasana hati yang buruk membuat keadaan semakin kacau saja.
.
Tanpa menunggu lama, aku mengenakan blouse itu, disusul
celana jeans dan sepatu kets. Aku menguncir rambut sekenanya. Kupatut diriku di
cermin : sangat kasual dan terlihat menyedihkan. Terutama mataku. Mungkin
sedikit make up bisa menyamarkannya. (Sebelumnya aku tidak punya alasan bagus
untuk menyapukan make up ke wajah kecuali ketika akan bertemu dengan Gio).
.
Tidak sampai tiga puluh menit aku sudah sampai di kafe
Delicioux. Selain suasana kafe yang sangat mendukung untuk menulis, latte di
sini lumayan enak. Yah, walaupun tidak sebagus di kafe X--tempat aku bertemu
pertama kali dengan Gio yang barista sekaligus penulis skenario. Oke, Emeralda,
berhentilah memikirkan laki-laki itu. Gio sudah jadi milik
wanita-cantik-dan-feminin itu. Kamu tidak perlu memikirkan lagi orang yang
jelas-jelas tidak pernah memikirkanmu.
.
Baiklah. Sekarang fokus pada deadline naskah. Atau Gustav
akan mengundang penjagal untuk memenggal leherku. (Akan lebih baik kalau dia
mengundang Gong Yoo dan pedang Goblin-nya).
.
Microsoft word terbuka seiring datangnya moccha latte yang
telah diracik barista. Kucecap sedikit, lalu jemariku mulai mengebut di atas
keyboard. Kupasang headphone warna biru di telinga. Mengalirkan puluhan lagu
The Cranberries. Kadang-kadang aku masih mendengarkan Frank Sinatra juga.
Selera musikku memang aneh. Ngomong-ngomong, Fly Me to the Moon-nya Frank
Sinatra lagu yang bagus menurutku. Tapi, itu kan lagu favoritnya Gio juga. Oh
Goodness. Aku langsung menghapus file lagu itu dari i-Pod.
.
Semuanya baik-baik saja, hingga seseorang menyeret kursi di
depanku. Aku sengaja memilih meja yang terletak di pojok ruangan agar tidak
terganggu. Tapi, orang ini? Who the heck he is?
.
"Boleh aku duduk di sini?" Tanya si lelaki.
.
"Mm-mm," aku menggumam. Tapi telunjukku menekan
tombol keyboard lebih keras.
.
Laki-laki itu duduk begitu saja. Lima menit kemudian
secangkir lemon tea datang untuknya. Sepasang mata di balik lensa kacamatanya
dengan serius membaca sebuah novel fantasi yang dipegangnya.
.
Laki-laki itu menyesap tehnya, "Ada yang salah?"
.
"Eh?" Aku gelagapan, karena ketahuan mengamatinya.
Aku menggeleng, lalu kembali fokus ke layar laptop. Kursor berkedip-kedip di
halaman word, tanpa ada kalimat tambahan lagi. Tiba-tiba buntu, konsentrasiku
terpecah ke laki-laki itu.
.
Sepertinya, aku pernah bertemu dengannya. Tapi, di mana?
Rasanya tidak asing. Aku memutar otak--mencoba mencari file-file memori yang
kemungkinan bisa membantu menjawab prasangkaku.
.
"Kamu pasti Alda. Emeralda Wening. Apakah benar?"
Cetus laki-laki itu membuatku hampir tersedak cangkir latte.
Bagaimana laki-laki itu tahu namaku?
.
"Kamu pasti tidak mengingatku. Hmm. Sayang
sekali," suara beratnya menerpa telinga. Membuatku terhenyak. Aku....
sekarang pernah mendengar suaranya. Tapi kapan? Di mana? Pundakku tiba-tiba
menggigil, terjebak deja vu.
.
"An endless talking. Yahoo! Messenger. Ingat ID
"Hazard"?" Bisiknya.
.
Hazard? Sekilas seperti nama pemain bola di klub Chelsea.
Eden Hazard. Memori di kepala ini sedikit demi sedikit terbuka file-filenya
satu per satu. Hazard? Astaga! Aku tidak menyangka bisa bertemu dengannya di
sini!
.
"Sudah ingat?" Laki-laki itu tersenyum. Aku masih
melongo. Menatapnya tidak percaya.
.
"Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu denganmu
secara langsung. Tapi sayang sekali Alda, aku harus pergi. Ada seminar yang
harus kuisi."
.
"Eh? Iya...." Aku speechless. Tidak tahu mau
bilang apa. Bagiku, ini terlalu mengejutkan. Bertemu dengan tidak sengaja
dengan teman maya yang dua tahun terakhir menjadi teman berkeluh-kesah.
.
"Kamu kelihatan tidak baik-baik saja. Berceritalah
padaku," Hazard meletakkan kartu nama di meja, "Jam tiga sore. Dua
cangkir teh. Pintu selalu terbuka untukmu."
.
Hazard tersenyum. Lalu pergi meninggalkanku yang terpaku di
kursi bersama sisa latte dan lemon tea miliknya yang tinggal setengah cangkir.
Aku masih membisu, padahal banyak pertanyaan yang berjejalan di kepala : apakah
dia masih menyukai Chelsea? Di mana dia tinggal? Siapa nama aslinya? Atau
Hazard itu memang nama aslinya?
.
Suasana kafe semakin ramai. Tapi terasa palsu. Bising.
Tiba-tiba aku merasa sendirian, sepi, hanya bertemankan aroma latte yang dingin
dan terasa hambar.
***
Dia datang, melambaikan tangan.
Lalu menyerahkan seikat krisan biru. Menanamnya di planet
merahku.
Jam tiga sore. Matahari terjatuh di barat, menjemput senja.
Menerangi dua cangkir teh yang terhidang bersama sepasang senyum.
***
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar