Ibnu Nafisah > Komunitas Bisa Menulis
SUZAN
Akhirnya kebenaran terungkap juga.
"Suzan"
Suzan dengan huruf "Z" bukan "S" dan itu
tertera pada sebuket bunga mawar berwarna merah maron.
Itu seminggu yang lalu.
Kemarin sebuah paket berisi gaun malam. Berwarna hitam
berkilap, bercorak kulit ular dan tentu saja akan menampakkan bahu yang putih
jika ia memakainya. Dan hari ini satu set berlian akan menghiasi lehernya yang
jenjang.
Semua hadiah itu beralamat pada sebuah gedung berlantai tiga
puluh empat. Yang tak lain adalah sebuah gedung rumah sakit tertinggi di kota
itu, Guy Hospital. Tempat saya bertemu pertama kali ia di sana. Namanya Suzan dan
ia seorang perawat. Kali ini pertama kali kuajak berkencan di The Ivy restoran.
Hati jadi tidak menentu sejak suaranya kudengar dari ujung
telepon sore tadi.
"Oh, tuan Charles," katanya santai, "apakah
ini tidak berlebihan?"
"Tidak. Tentu saja itu berlebihan, jika itu bukan Anda,
Nona," ucapku mencoba menenangkan.
"Jadi..., malam ini pukul tujuh. Dengan gaun serta
berlian-berlian itu? Tapi, saya masih bertugas jam-jam seperti itu...."
"Supir pribadi saya akan menjemput. Entahlah, tapi ini
akan menjelaskan sesuatu hal, jika gadis semanis Anda mau menerima undangan
ini."
"Coba jelaskan, maksud Anda, Tuan?"
"Datanglah! Akan terlihat jelas jika Anda bersedia
hadir di sini. Dan menemani saya menikmati champagne legendaris...."
"Baiklah, saya akan datang, biar Anda tidak penasaran
lagi pada saya."
"Iya, biar kita tak saling penasaran lagi."
Kemudian telepon terputus. Dan di sinilah saya berada.
Memakai tuxedo hitam berkancing satu lengkap dengan dasi kupu-kupu hitam.
Kancing itu sudah terbuka kini, menampakkan dalaman rompi yang juga berwarna
hitam pas badan.
Menunggu memang membuat banyak orang tidak tahan. Tapi
menunggu kali ini sungguh berbeda. Ada rasa was-was sekaligus deg-degan juga
penasaran yang membuat pekerjaan menunggu itu sungguh nikmat.
Bagaimana tampaknya jika semua hadiah itu melekat pada
badannya. Tubuh yang tinggi menampakkan pinggul proporsional. Saya tidak pernah
melihat gitar Spanyol secara langsung, namun akan seperti itukah jadinya? Mata
tajam penuh misteri, bibir yang mengumbar senyum tertahan. Antara senyuman
menggoda tapi juga tarikan mistis di sudut-sudut pipinya. Dan semuanya akan
menyatu dengan dagu porselen. Tentu saja sinar berlian akan memberi cahayanya
di pangkal dagu.
Semua begitu sempurna. Misterius sekaligus menggoda.
Tepat jam tujuh dari sebuah Limosin Si Nolan tua, supir
pribadi saya, menginformasikan kedatangan mereka. Dan ia tahu level wanita yang
sedang ia jemput. Itu tersirat dari katanya, "your Queen has
arrived!"
Dan pintu putar itu kini mulai bergerak. Hati semakin jumpalitan.
Ini rasanya seperti berada di atas komedi putar. Setelah mendaki lalu sebuah
penurunan yang cukup mendebarkan akan segera berlangsung....
Ini di luar dugaan. Ia lebih cantik dari bayangan liarku
sebelumnya. Lampu-lampu kristal di atas sana tak ada yang dapat memudarkannya.
Ini istimewa.
"Terima kasih, Tuan Charles!" seruannya ketika
membantu melekatkan kursi pada pangkal pahanya. Gaun mengkilap itu sungguh
membentuk seluruh ruang dalam tubuh indahnya.
"Saya yang harus berterima kasih, Nona," balasku setelah
berhasil kembali di kursi tepat dihadapannya.
"Cukup Charles," buru-buru kutambahkan kalimat
ini. "Atau Charlie!"
Malam hangat itu didahului dengan segelas champagne
Bollinger. Makan pembuka dan tentu dansa di lantai bercorak Bohemian.
Suzan sungguh pandai dalam hal tarian. Dan itu membuat kami
mencair bagai dua orang kekasih yang sedang kasmaran.
Hal yang satu-satunya tak bisa kulupa adalah ceritanya yang
sungguh di luar dugaan. Sekaligus membuatku bertanya-tanya. Apakah memang ia
semisterius penampilannya?
"Charlie, ini luar biasa," ujarnya ketika kami
berada di meja semula.
Senyuman itu....
"Apa yang harus kukatakan padamu?"
"Ceritakan segalanya tentang dirimu!"
"Umm, yah baiklah. Saya seorang perawat, di rumah sakit
di hari pertama kita bertemu."
"Itu sudah saya ketahui, Nona...."
"Dan ada sebuah cerita, mungkin cukup menarik, buatmu
Charlie...."
"Yah, saya mendengarkan," sahutku sambil menikmati
rambutnya yang pendek terkesan basah dengan untaian berlian panjang di ujung
telinganya.
"Ada seorang pasien stroke mendiami ruang VIP."
Katanya memulai sambil meraba bibir gelas yang kini terkena noda lipstik di
sana.
"Hidupnya sangat memprihatinkan. Bayangkan dengan
kekayaan yang berlimpah, apapun dapat ia beli. Tapi setelah penyakit itu
berdiam di badannya, semua tampak beda."
"Wah, itu bisa jadi pasien andalan," gumamku, dan
matanya sedetik menatap lurus, lalu beralih dengan senyum tertahan.
"Iya, ia pasien andalan kami. Namanya Jhon dan
Patricia, istrinya selalu memanggil dengan Jhonny.
"Mentalnya begitu terpuruk ketika Patricia, meninggal.
Terlebih lagi anak tunggalnya kini sudah pindah kota mengikuti suaminya.
Hidupnya tiba-tiba hampa....
"Patty, begitu selalu ia memanggilnya. Adalah istri
yang telaten dalam mengurus Jhonny. Mereka pasangan yang cukup serasi dan juga,
sabar."
Kubiarkan bibir misterius itu terus bergerak. Sekehendaknya
karena dengan demikian malam ini akan terus istimewa.
"Lalu, seperti yang saya bilang Patty akhirnya
meninggal di saat penyakit itu masih berdiam di dalam tubuh Jhonny.
"Penyakit itu semakin hari makin parah dan yang ia
inginkan hanyalah mati-," bibir itu berhenti sejenak dan menatap wajahku
meminta tanggapan.
"Dan akhirnya ia mati?" rasa penasaran itu cukup
buatnya menyakini bahwa saya masih inginkan cerita itu.
"Tentu saja. Jika sesuatu hal yang aneh tidak
terjadi...."
"Apa yang terjadi?" kali ini ia buat aku terlena
sejenak.
"Kisah ini sungguh tidak masuk akal bagi sebagian
perawat bahkan dokter," ucapnya.
"Menurutmu, apa itu masuk akal?" kalimat itu tanpa
sadar keluar begitu saja. Seakan bukan dari bibirku sendiri.
"Segalanya bisa saja terjadi, kan?" gumamnya.
"Jhonny malang, berhari-hari dikejar rasa putus asa
akan penyakitnya di ruang itu. Hingga dokter yang merawatnya berinisiatif
memindahkan ia ke ruang yang baru saja kosong.
"Kau tahu, rumah sakit itu memiliki banyak ruang VIP,
dengan pelayanan sebaik hotel bintang lima, namun tetap saja susah memperoleh
kamar-kamar itu, meski memiliki biaya.
"Lalu di sanalah Jhonny berada. Ia bercerita betapa
senangnya telah dipindahkan ke kamar yang baru. Dan juga seorang teman bicara.
"'Suzan, sayang,'" katanya padaku saat pagi
harinya ia mendapati aku di ruangan itu.
"'Kau tahu, kamar ini memiliki pemandangan yang indah.
Beda dengan kamar yang kemarin.
"Saat itu ia berada di sisi kamar yang lebih dekat ke
pintu dibanding ke jendela. Meski memiliki dua ranjang. Sebuah dekat pintu dan
sebuah lagi di samping jendela. Dan penyakit stroke itu sudah membunuh sebagian
tubuhnya yang rapuh. Bahkan untuk berpaling ke arah jendela itu tidak mungkin.
"Lalu aku semakin penasaran, 'bagaimana bisa ia
mengetahui pemandangan di lantai ini?' batinku bertanya-tanya.
"'Engkau bahkan tidak menceritakan padaku tentang
sepasang angsa putih di sana,' katanya seakan menyalahkan aku, lalu dia berkata
lagi, 'segerombolan teratai merah mekar di tengah-tengahnya. Anak-anak
berkejar-kejaran, beberapa orang dewasa memancing berekor-ekor ikan bersirip
kuning. Juga beberapa berdayung di sana.'
"Sejenak aku senang ia bercerita, meski suaranya kadang
tidak jelas. Namun sebagian hatiku mengatakan inilah puncak stres yang dialami
Si Jhonny yang malang.
"Tidak mungkin seseorang masuk dan bercerita tentang
hal yang tidak benar. Setahu saya dokter hanya memeriksa dan saya perawat yang
bertanggung jawab di ruangan itu. Lagi pula ini ditingkat tiga puluh empat.
Berlatar lampu-lampu gedung jika malam telah tiba. Kebohongan apa pula ini,
pikirku saat itu."
"Lalu dari mana Jhonny dapat mengarang cerita yang
begitu indah?" tanyaku agak penasaran dengan cerita gadis manis di depan mejaku
itu.
"Oh, Charlie, kau tidak akan percaya apa yang telah
kudengar dan apa yang akhirnya Jhonny katakan....
"'Suzan,' panggilnya, 'terima kasih telah menempatkan
saya di ruangan ini. Di sini terasa nyaman, karena ada Joe, sahabat berbagi
suka dan duka. Ia menceritakan semua itu. Ia baik, 'jangan putus semangat,
cepatlah sembuh dan kau bisa melihat angsa-angsa,' begitu katanya.
"'Kau bisa bermain perahu sambil memancing. Dan juga
melihat anak-anak kecil bermain air di tepinya'. Saya ingin itu Suzan. Saya
ingin segera sembuh,' katanya padaku setengah bermohon."
"Apa akhirnya cita-cita itu terkabul? tanyaku sambil
mencecap manisnya minuman yang kini mulai setengah kosong itu.
"Tentu. Ia berhasil. Hampir. Sekitar delapan puluh
persen itu bisa dikatakan baik."
"Lalu di mana menarik kisah ini. Satu-satunya hal yang
paling menarik adalah si penceritanya," tiba-tiba matanya kembali melirik
tajam namun tetap manis ketika ia melakukannya.
"Charlie, ini belum selesai, hal yang aneh itu baru
akan saya ceritakan sekarang."
"Silahkan nona manis, jangan buat pendengarmu ini lama
menunggu kejutan itu."
"Setelah Jhonny semakin membaik, ia kami pindahkan ke
ruangan semula. Dan ia protes tapi dokter punya alasan yang masuk akal untuk
itu. Ia akhirnya bisa menerima.
"Hingga suatu ketika, 'Suzan saya sudah nampak sehat,'
katanya, 'bisakah saya diantar menemui sahabat saya Joe?' Pertanyaan itu
membuat saya merinding. Jhonny semakin memaksa, dan akhirnya kenyataan itu
terkuak-," Suzan diam sejenak.
"Apa?"
"Joe adalah pasien kami yang telah meninggal beberapa
pekan yang lalu. Sehari sebelum Jhonny ke kamar itu. Kondisinya hampir sama,
depresi pada penyakit yang dialaminya. Lalu bunuh diri di jendela kamar itu.
"Menurutmu itu masuk akal?" tanya Suzan, dan
pertanyaan itupun belum sempat terbanyangkan, hingga belum bisa memutuskan
untuk menjawab.
"Dan kau tahu Charlie," katanya kemudian sambil
melepaskan berlian-berlian manis itu dari tubuhnya yang gemerlap lalu
menyimpannya di kotak perhiasan, kotak yang sama dibungkus oleh pelayan toko,
pagi tadi. Lalu meletakkan dengan tenang ke atas meja.
"Aku akan menikah. Jhonny telah melamarku di hari
ketika kita bertemu di rumah sakit itu," dengan senyum itu ia perlihatkan
jari manisnya yang bersinar di sana. Kemilau permata putih itu menyilaukan
mata.
Bibir ini terasa berat untuk berkata, meski sebentuk kata,
"Owh", bahkan sampai kursi tempat Suzan duduk itu kosong tak ada kata
di sana.
Hanya beberapa detik itu terjadi, tapi rasanya sepertinya
waktu terhenti selamanya.
Aku terpaku sendiri di tengah-tengah lampu kristal. Botol
minuman dan gelas bekas lipstik. Dan juga sekotak berlian yang menatapku
dingin.
Tiba-tiba saja penyakit Jhonny itu begitu nyata. Sebagian
tubuh tak mampu lagi tergerak liar seperti sebelumnya. Apakah ini stroke?
Tamat.
IBNU NAFISAH
Kendari, 09 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar