Kamis, 09 Maret 2017

Cerpen, SUZAN


Ibnu Nafisah > Komunitas Bisa Menulis

SUZAN
Akhirnya kebenaran terungkap juga.
"Suzan"
Suzan dengan huruf "Z" bukan "S" dan itu tertera pada sebuket bunga mawar berwarna merah maron.
Itu seminggu yang lalu.
Kemarin sebuah paket berisi gaun malam. Berwarna hitam berkilap, bercorak kulit ular dan tentu saja akan menampakkan bahu yang putih jika ia memakainya. Dan hari ini satu set berlian akan menghiasi lehernya yang jenjang.
Semua hadiah itu beralamat pada sebuah gedung berlantai tiga puluh empat. Yang tak lain adalah sebuah gedung rumah sakit tertinggi di kota itu, Guy Hospital. Tempat saya bertemu pertama kali ia di sana. Namanya Suzan dan ia seorang perawat. Kali ini pertama kali kuajak berkencan di The Ivy restoran.
Hati jadi tidak menentu sejak suaranya kudengar dari ujung telepon sore tadi.
"Oh, tuan Charles," katanya santai, "apakah ini tidak berlebihan?"
"Tidak. Tentu saja itu berlebihan, jika itu bukan Anda, Nona," ucapku mencoba menenangkan.
"Jadi..., malam ini pukul tujuh. Dengan gaun serta berlian-berlian itu? Tapi, saya masih bertugas jam-jam seperti itu...."
"Supir pribadi saya akan menjemput. Entahlah, tapi ini akan menjelaskan sesuatu hal, jika gadis semanis Anda mau menerima undangan ini."
"Coba jelaskan, maksud Anda, Tuan?"
"Datanglah! Akan terlihat jelas jika Anda bersedia hadir di sini. Dan menemani saya menikmati champagne legendaris...."
"Baiklah, saya akan datang, biar Anda tidak penasaran lagi pada saya."
"Iya, biar kita tak saling penasaran lagi."
Kemudian telepon terputus. Dan di sinilah saya berada. Memakai tuxedo hitam berkancing satu lengkap dengan dasi kupu-kupu hitam. Kancing itu sudah terbuka kini, menampakkan dalaman rompi yang juga berwarna hitam pas badan.
Menunggu memang membuat banyak orang tidak tahan. Tapi menunggu kali ini sungguh berbeda. Ada rasa was-was sekaligus deg-degan juga penasaran yang membuat pekerjaan menunggu itu sungguh nikmat.
Bagaimana tampaknya jika semua hadiah itu melekat pada badannya. Tubuh yang tinggi menampakkan pinggul proporsional. Saya tidak pernah melihat gitar Spanyol secara langsung, namun akan seperti itukah jadinya? Mata tajam penuh misteri, bibir yang mengumbar senyum tertahan. Antara senyuman menggoda tapi juga tarikan mistis di sudut-sudut pipinya. Dan semuanya akan menyatu dengan dagu porselen. Tentu saja sinar berlian akan memberi cahayanya di pangkal dagu.
Semua begitu sempurna. Misterius sekaligus menggoda.
Tepat jam tujuh dari sebuah Limosin Si Nolan tua, supir pribadi saya, menginformasikan kedatangan mereka. Dan ia tahu level wanita yang sedang ia jemput. Itu tersirat dari katanya, "your Queen has arrived!"
Dan pintu putar itu kini mulai bergerak. Hati semakin jumpalitan. Ini rasanya seperti berada di atas komedi putar. Setelah mendaki lalu sebuah penurunan yang cukup mendebarkan akan segera berlangsung....
Ini di luar dugaan. Ia lebih cantik dari bayangan liarku sebelumnya. Lampu-lampu kristal di atas sana tak ada yang dapat memudarkannya.
Ini istimewa.
"Terima kasih, Tuan Charles!" seruannya ketika membantu melekatkan kursi pada pangkal pahanya. Gaun mengkilap itu sungguh membentuk seluruh ruang dalam tubuh indahnya.
"Saya yang harus berterima kasih, Nona," balasku setelah berhasil kembali di kursi tepat dihadapannya.
"Cukup Charles," buru-buru kutambahkan kalimat ini. "Atau Charlie!"
Malam hangat itu didahului dengan segelas champagne Bollinger. Makan pembuka dan tentu dansa di lantai bercorak Bohemian.
Suzan sungguh pandai dalam hal tarian. Dan itu membuat kami mencair bagai dua orang kekasih yang sedang kasmaran.
Hal yang satu-satunya tak bisa kulupa adalah ceritanya yang sungguh di luar dugaan. Sekaligus membuatku bertanya-tanya. Apakah memang ia semisterius penampilannya?
"Charlie, ini luar biasa," ujarnya ketika kami berada di meja semula.
Senyuman itu....
"Apa yang harus kukatakan padamu?"
"Ceritakan segalanya tentang dirimu!"
"Umm, yah baiklah. Saya seorang perawat, di rumah sakit di hari pertama kita bertemu."
"Itu sudah saya ketahui, Nona...."
"Dan ada sebuah cerita, mungkin cukup menarik, buatmu Charlie...."
"Yah, saya mendengarkan," sahutku sambil menikmati rambutnya yang pendek terkesan basah dengan untaian berlian panjang di ujung telinganya.
"Ada seorang pasien stroke mendiami ruang VIP." Katanya memulai sambil meraba bibir gelas yang kini terkena noda lipstik di sana.
"Hidupnya sangat memprihatinkan. Bayangkan dengan kekayaan yang berlimpah, apapun dapat ia beli. Tapi setelah penyakit itu berdiam di badannya, semua tampak beda."
"Wah, itu bisa jadi pasien andalan," gumamku, dan matanya sedetik menatap lurus, lalu beralih dengan senyum tertahan.
"Iya, ia pasien andalan kami. Namanya Jhon dan Patricia, istrinya selalu memanggil dengan Jhonny.
"Mentalnya begitu terpuruk ketika Patricia, meninggal. Terlebih lagi anak tunggalnya kini sudah pindah kota mengikuti suaminya. Hidupnya tiba-tiba hampa....
"Patty, begitu selalu ia memanggilnya. Adalah istri yang telaten dalam mengurus Jhonny. Mereka pasangan yang cukup serasi dan juga, sabar."
Kubiarkan bibir misterius itu terus bergerak. Sekehendaknya karena dengan demikian malam ini akan terus istimewa.
"Lalu, seperti yang saya bilang Patty akhirnya meninggal di saat penyakit itu masih berdiam di dalam tubuh Jhonny.
"Penyakit itu semakin hari makin parah dan yang ia inginkan hanyalah mati-," bibir itu berhenti sejenak dan menatap wajahku meminta tanggapan.
"Dan akhirnya ia mati?" rasa penasaran itu cukup buatnya menyakini bahwa saya masih inginkan cerita itu.
"Tentu saja. Jika sesuatu hal yang aneh tidak terjadi...."
"Apa yang terjadi?" kali ini ia buat aku terlena sejenak.
"Kisah ini sungguh tidak masuk akal bagi sebagian perawat bahkan dokter," ucapnya.
"Menurutmu, apa itu masuk akal?" kalimat itu tanpa sadar keluar begitu saja. Seakan bukan dari bibirku sendiri.
"Segalanya bisa saja terjadi, kan?" gumamnya.
"Jhonny malang, berhari-hari dikejar rasa putus asa akan penyakitnya di ruang itu. Hingga dokter yang merawatnya berinisiatif memindahkan ia ke ruang yang baru saja kosong.
"Kau tahu, rumah sakit itu memiliki banyak ruang VIP, dengan pelayanan sebaik hotel bintang lima, namun tetap saja susah memperoleh kamar-kamar itu, meski memiliki biaya.
"Lalu di sanalah Jhonny berada. Ia bercerita betapa senangnya telah dipindahkan ke kamar yang baru. Dan juga seorang teman bicara.
"'Suzan, sayang,'" katanya padaku saat pagi harinya ia mendapati aku di ruangan itu.
"'Kau tahu, kamar ini memiliki pemandangan yang indah. Beda dengan kamar yang kemarin.
"Saat itu ia berada di sisi kamar yang lebih dekat ke pintu dibanding ke jendela. Meski memiliki dua ranjang. Sebuah dekat pintu dan sebuah lagi di samping jendela. Dan penyakit stroke itu sudah membunuh sebagian tubuhnya yang rapuh. Bahkan untuk berpaling ke arah jendela itu tidak mungkin.
"Lalu aku semakin penasaran, 'bagaimana bisa ia mengetahui pemandangan di lantai ini?' batinku bertanya-tanya.
"'Engkau bahkan tidak menceritakan padaku tentang sepasang angsa putih di sana,' katanya seakan menyalahkan aku, lalu dia berkata lagi, 'segerombolan teratai merah mekar di tengah-tengahnya. Anak-anak berkejar-kejaran, beberapa orang dewasa memancing berekor-ekor ikan bersirip kuning. Juga beberapa berdayung di sana.'
"Sejenak aku senang ia bercerita, meski suaranya kadang tidak jelas. Namun sebagian hatiku mengatakan inilah puncak stres yang dialami Si Jhonny yang malang.
"Tidak mungkin seseorang masuk dan bercerita tentang hal yang tidak benar. Setahu saya dokter hanya memeriksa dan saya perawat yang bertanggung jawab di ruangan itu. Lagi pula ini ditingkat tiga puluh empat. Berlatar lampu-lampu gedung jika malam telah tiba. Kebohongan apa pula ini, pikirku saat itu."
"Lalu dari mana Jhonny dapat mengarang cerita yang begitu indah?" tanyaku agak penasaran dengan cerita gadis manis di depan mejaku itu.
"Oh, Charlie, kau tidak akan percaya apa yang telah kudengar dan apa yang akhirnya Jhonny katakan....
"'Suzan,' panggilnya, 'terima kasih telah menempatkan saya di ruangan ini. Di sini terasa nyaman, karena ada Joe, sahabat berbagi suka dan duka. Ia menceritakan semua itu. Ia baik, 'jangan putus semangat, cepatlah sembuh dan kau bisa melihat angsa-angsa,' begitu katanya.
"'Kau bisa bermain perahu sambil memancing. Dan juga melihat anak-anak kecil bermain air di tepinya'. Saya ingin itu Suzan. Saya ingin segera sembuh,' katanya padaku setengah bermohon."
"Apa akhirnya cita-cita itu terkabul? tanyaku sambil mencecap manisnya minuman yang kini mulai setengah kosong itu.
"Tentu. Ia berhasil. Hampir. Sekitar delapan puluh persen itu bisa dikatakan baik."
"Lalu di mana menarik kisah ini. Satu-satunya hal yang paling menarik adalah si penceritanya," tiba-tiba matanya kembali melirik tajam namun tetap manis ketika ia melakukannya.
"Charlie, ini belum selesai, hal yang aneh itu baru akan saya ceritakan sekarang."
"Silahkan nona manis, jangan buat pendengarmu ini lama menunggu kejutan itu."
"Setelah Jhonny semakin membaik, ia kami pindahkan ke ruangan semula. Dan ia protes tapi dokter punya alasan yang masuk akal untuk itu. Ia akhirnya bisa menerima.
"Hingga suatu ketika, 'Suzan saya sudah nampak sehat,' katanya, 'bisakah saya diantar menemui sahabat saya Joe?' Pertanyaan itu membuat saya merinding. Jhonny semakin memaksa, dan akhirnya kenyataan itu terkuak-," Suzan diam sejenak.
"Apa?"
"Joe adalah pasien kami yang telah meninggal beberapa pekan yang lalu. Sehari sebelum Jhonny ke kamar itu. Kondisinya hampir sama, depresi pada penyakit yang dialaminya. Lalu bunuh diri di jendela kamar itu.
"Menurutmu itu masuk akal?" tanya Suzan, dan pertanyaan itupun belum sempat terbanyangkan, hingga belum bisa memutuskan untuk menjawab.
"Dan kau tahu Charlie," katanya kemudian sambil melepaskan berlian-berlian manis itu dari tubuhnya yang gemerlap lalu menyimpannya di kotak perhiasan, kotak yang sama dibungkus oleh pelayan toko, pagi tadi. Lalu meletakkan dengan tenang ke atas meja.
"Aku akan menikah. Jhonny telah melamarku di hari ketika kita bertemu di rumah sakit itu," dengan senyum itu ia perlihatkan jari manisnya yang bersinar di sana. Kemilau permata putih itu menyilaukan mata.
Bibir ini terasa berat untuk berkata, meski sebentuk kata, "Owh", bahkan sampai kursi tempat Suzan duduk itu kosong tak ada kata di sana.
Hanya beberapa detik itu terjadi, tapi rasanya sepertinya waktu terhenti selamanya.
Aku terpaku sendiri di tengah-tengah lampu kristal. Botol minuman dan gelas bekas lipstik. Dan juga sekotak berlian yang menatapku dingin.
Tiba-tiba saja penyakit Jhonny itu begitu nyata. Sebagian tubuh tak mampu lagi tergerak liar seperti sebelumnya. Apakah ini stroke?
Tamat.
IBNU NAFISAH
Kendari, 09 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar