LUMPUHKANLAH INGATANKU
Oleh: Ibnu Nafisah
Komunitas Bisa Menulis
Dua puluh empat bulan, sembilan puluh enam minggu, tujuh ratus tiga puluh hari dan tujuh belas ribu lima ratus dua puluh jam lelaki itu kini berada kota ini.
Wajahnya nampak sangar dengan bulu-bulu panjang yang tumbuh
di sekitar pipi, di atas bibir dan dagunya. Apalagi rambut yang tumbuh lebat di
atas kepalanya. Kini memanjang dan tak terurus. Pakaian kumal, robek di
sana-sini. Tanpa alas kaki, dan bahkan tak jarang mempertontonkan bagian tubuh
yang tak seharusnya. Namun ia tidak peduli.
Ia lebih tidak peduli lagi dengan teriakan anak-anak atau
orang-orang yang berpapasan dengannya.
"Orang gila ... orang gila ...!" kalimat itu
selalu saja ia dapati dengan lemparan batu atau bentakan kasar.
Beberapa yang lainnya kadang mengusir seenaknya,"Hei,
pergi kau, pura-pura gila ya? Mau mencuri?" tuduh mereka.
Tapi lagi-lagi ia diam, hanya berpindah tempat tanpa pernah
merasa sakit hati. Hanya matanya memandang waspada sebagaimana hewan mengatur
jarak sebagai insting hewaninya. Ia sungguh-sungguh tidak peduli dengan itu
semua.
Baginya berkeliling di Kota Kendari yang memiliki julukan
Negeri Delapan Bundaran dengan hanya bertelanjang kaki adalah sebuah
kebahagiaan sekaligus sebuah pengharapan. Ia akan merasa mati jika harus diam
menetap dan dibebani dengan rasa yang tak sanggup ia tanggung sendiri.
Selama dua tahun ini pencahariannya tak pernah pudar.
Otaknya masih terang, fisiknya masih kuat, walau kelihatan kotor.
Meski tak berasal dari kota ini tetapi banyak tempat di kota
ini jadi kenangan. Salah satunya Bundaran Pesawat itu. Di sanalah ia
menghabiskan hari-hari bersejarah cintanya. Di sana pula kini ia meluruskan
otot-ototnya sambil menikmati makan siang entah darimana. Apakah dari hasil
pemberian orang atau memungut di tempat sampah.
Namun hari ini di bundaran yang sama, ia tiba-tiba terlonjak
dari duduknya. Berdiri dengan merapatkan kedua tangan di depan mulut hingga
bulu-bulu di sekitar sana menempel erat di bilah-bilah telapaknya, dan dengan
sekuat tenaga ia teriakan sebuah nama.
"Anawai ... Anawai ...!"
"Aaa ... Naa ... Waiii ...!"
Tak jelas ke mana arah panggilan. Sementara kendaraan
berlalu lalang di seputaran bundaran itu. Beberapa orang berbalik dan
melihatnya dan merasa heran karena wajah orang yang berteriak tersebut mengarah
ke papan billboard.
Di sana, di papan setinggi sepuluh meter itu terpampang
jelas wajah cantik aktris Dian Sastrowardoyo. Sebuah senyuman yang menampakkan
gigi gerigi putih bersih serta rambut bergelombang yang jatuh bercahaya di
depan bahunya. Dan sebuah produk shampo yang sedang diiklankan tergambar jelas
di samping wajah manis itu.
Wajahnya sungguh bersinar di atas bidang berukuran tiga kali
lima meter. Gambar itu sungguh nyata, balik memandang siapa saja yang
melihatnya. Tidak terkecuali lelaki yang kini berteriak histeris
memanggil-manggil, 'Anawai'.
Entah Tuhan, entah setan yang sedang berbisik di telinganya.
Tidak puas berteriak lelaki tanpa identitas itu langsung menyeberangi lalu
lintas jalan dan memanjati papan iklan.
Sebelumnya tidak ada yang peduli padanya. Namun ketika
berada di atas puncak tiang penyakitnya kembali kumat.
"Anawai ... Anawai ... Anawai ...."
Setengah menangis ia terus memanggil. Seakan-akan wajah itu
adalah Anawai yang ia cari.
"Oii... gila kamu! Turun! Kamu mau mati?!"
Seseorang yang dari tadi melihat aksi si lelaki ini juga
ikut teriak. Beberapa orang yang lewat jalan itupun akhirnya berhenti dan
mencari tahu apa yang terjadi. Tidak lama kemudian semua orang menjadi heboh.
Jalan raya seketika macet total.
"Woi ... turun woi!"
"Woi ... gila turun!"
Mereka terus memanggil tanpa ada yang berani memanjat papan
billboard tersebut. Sementara suara sirene mobil patroli sudah semakin dekat ke
tempat kejadian.
"Oheooo ... Oheooo ... Aku di sini!"
Tiba-tiba suara wanita terdengar di antara manusia-manusia
yang masih berusaha memanggil. Anehnya ia menyebutkan nama orang di atas sana
sebagai 'Oheo'.
Serentak mereka berhenti untuk memanggil agar suara si
wanita itu bisa lebih jelas terdengar.
Melihat semua orang mendukungnya sang wanita melanjutkan
teriakannya.
"Oheo ... lupakah Kau padaku? Aku Anawai. Lihat, Aku
Anawai-mu," dilambai-lambaikan tangannya yang mungil dan tak lupa memberi
senyuman yang termanis.
Orang-orang tidak menyangka ternyata Anawai memang mirip
Dian Sastro atau Dian Sastro yang mirip dengannya. Ini sungguh di luar dugaan.
"Pantas dia jadi gila, wong, Anawai manis pisan!"
terdengar suara terkagum-kagum.
Sementara lelaki yang disebut gila itu akhirnya berhasil
menangkap suara Anawai. Tanpa rasa takut iapun turun dari pipa-pipa besi
tersebut.
Sementara menanti Oheo turun, seorang bapak yang penasaran
langsung bertanya ke wanita misterius itu.
"Maaf, Mbak ini memang betul Anawai?"
"Bukan."
"Trus, Mbak siapa?"
"Saya dokter yang menanganinya."
Kata si wanita itu. Dengan sigap ia memberi aba-aba kepada
beberapa orang lelaki agar mendekat. Dan dengan cekatan mengeluarkan alat
suntik yang telah berisi cairan merah jambu.
"Suntikkan itu buat apa?"
Dengan senyuman mengembang, si wanita menatap si bapak dan
berkata, "Serum terbaru, pelumpuh ingatan, ia akan sehat setelah ini.
Karena memori tentang Anawai akan terhapus selamanya. Masa lalu akan sejarah
cintanya pun menghilang. Dan ia akan hidup di masa kini."
Sekali lagi wanita itu tersenyum menatap Oheo yang telah
diamankan ke mobil ambulans.
Senyumannya kali ini penuh misteri.
TAMAT.
IBNU NAFISAH
Kendari, 16 Maret 2017
Wingi, jam 7:38 · Kemaraya, Southeast Sulawesi ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar