Sabtu, 25 Maret 2017

CERPEN, LUMPUHKANLAH INGATANKU


LUMPUHKANLAH INGATANKU
Oleh: Ibnu Nafisah
Komunitas Bisa Menulis

Dua puluh empat bulan, sembilan puluh enam minggu, tujuh ratus tiga puluh hari dan tujuh belas ribu lima ratus dua puluh jam lelaki itu kini berada kota ini.
Wajahnya nampak sangar dengan bulu-bulu panjang yang tumbuh di sekitar pipi, di atas bibir dan dagunya. Apalagi rambut yang tumbuh lebat di atas kepalanya. Kini memanjang dan tak terurus. Pakaian kumal, robek di sana-sini. Tanpa alas kaki, dan bahkan tak jarang mempertontonkan bagian tubuh yang tak seharusnya. Namun ia tidak peduli.
Ia lebih tidak peduli lagi dengan teriakan anak-anak atau orang-orang yang berpapasan dengannya.
"Orang gila ... orang gila ...!" kalimat itu selalu saja ia dapati dengan lemparan batu atau bentakan kasar.
Beberapa yang lainnya kadang mengusir seenaknya,"Hei, pergi kau, pura-pura gila ya? Mau mencuri?" tuduh mereka.
Tapi lagi-lagi ia diam, hanya berpindah tempat tanpa pernah merasa sakit hati. Hanya matanya memandang waspada sebagaimana hewan mengatur jarak sebagai insting hewaninya. Ia sungguh-sungguh tidak peduli dengan itu semua.
Baginya berkeliling di Kota Kendari yang memiliki julukan Negeri Delapan Bundaran dengan hanya bertelanjang kaki adalah sebuah kebahagiaan sekaligus sebuah pengharapan. Ia akan merasa mati jika harus diam menetap dan dibebani dengan rasa yang tak sanggup ia tanggung sendiri.
Selama dua tahun ini pencahariannya tak pernah pudar. Otaknya masih terang, fisiknya masih kuat, walau kelihatan kotor.
Meski tak berasal dari kota ini tetapi banyak tempat di kota ini jadi kenangan. Salah satunya Bundaran Pesawat itu. Di sanalah ia menghabiskan hari-hari bersejarah cintanya. Di sana pula kini ia meluruskan otot-ototnya sambil menikmati makan siang entah darimana. Apakah dari hasil pemberian orang atau memungut di tempat sampah.
Namun hari ini di bundaran yang sama, ia tiba-tiba terlonjak dari duduknya. Berdiri dengan merapatkan kedua tangan di depan mulut hingga bulu-bulu di sekitar sana menempel erat di bilah-bilah telapaknya, dan dengan sekuat tenaga ia teriakan sebuah nama.
"Anawai ... Anawai ...!"
"Aaa ... Naa ... Waiii ...!"
Tak jelas ke mana arah panggilan. Sementara kendaraan berlalu lalang di seputaran bundaran itu. Beberapa orang berbalik dan melihatnya dan merasa heran karena wajah orang yang berteriak tersebut mengarah ke papan billboard.
Di sana, di papan setinggi sepuluh meter itu terpampang jelas wajah cantik aktris Dian Sastrowardoyo. Sebuah senyuman yang menampakkan gigi gerigi putih bersih serta rambut bergelombang yang jatuh bercahaya di depan bahunya. Dan sebuah produk shampo yang sedang diiklankan tergambar jelas di samping wajah manis itu.
Wajahnya sungguh bersinar di atas bidang berukuran tiga kali lima meter. Gambar itu sungguh nyata, balik memandang siapa saja yang melihatnya. Tidak terkecuali lelaki yang kini berteriak histeris memanggil-manggil, 'Anawai'.
Entah Tuhan, entah setan yang sedang berbisik di telinganya. Tidak puas berteriak lelaki tanpa identitas itu langsung menyeberangi lalu lintas jalan dan memanjati papan iklan.
Sebelumnya tidak ada yang peduli padanya. Namun ketika berada di atas puncak tiang penyakitnya kembali kumat.
"Anawai ... Anawai ... Anawai ...."
Setengah menangis ia terus memanggil. Seakan-akan wajah itu adalah Anawai yang ia cari.
"Oii... gila kamu! Turun! Kamu mau mati?!"
Seseorang yang dari tadi melihat aksi si lelaki ini juga ikut teriak. Beberapa orang yang lewat jalan itupun akhirnya berhenti dan mencari tahu apa yang terjadi. Tidak lama kemudian semua orang menjadi heboh. Jalan raya seketika macet total.
"Woi ... turun woi!"
"Woi ... gila turun!"
Mereka terus memanggil tanpa ada yang berani memanjat papan billboard tersebut. Sementara suara sirene mobil patroli sudah semakin dekat ke tempat kejadian.
"Oheooo ... Oheooo ... Aku di sini!"
Tiba-tiba suara wanita terdengar di antara manusia-manusia yang masih berusaha memanggil. Anehnya ia menyebutkan nama orang di atas sana sebagai 'Oheo'.
Serentak mereka berhenti untuk memanggil agar suara si wanita itu bisa lebih jelas terdengar.
Melihat semua orang mendukungnya sang wanita melanjutkan teriakannya.
"Oheo ... lupakah Kau padaku? Aku Anawai. Lihat, Aku Anawai-mu," dilambai-lambaikan tangannya yang mungil dan tak lupa memberi senyuman yang termanis.
Orang-orang tidak menyangka ternyata Anawai memang mirip Dian Sastro atau Dian Sastro yang mirip dengannya. Ini sungguh di luar dugaan.
"Pantas dia jadi gila, wong, Anawai manis pisan!" terdengar suara terkagum-kagum.
Sementara lelaki yang disebut gila itu akhirnya berhasil menangkap suara Anawai. Tanpa rasa takut iapun turun dari pipa-pipa besi tersebut.
Sementara menanti Oheo turun, seorang bapak yang penasaran langsung bertanya ke wanita misterius itu.
"Maaf, Mbak ini memang betul Anawai?"
"Bukan."
"Trus, Mbak siapa?"
"Saya dokter yang menanganinya."
Kata si wanita itu. Dengan sigap ia memberi aba-aba kepada beberapa orang lelaki agar mendekat. Dan dengan cekatan mengeluarkan alat suntik yang telah berisi cairan merah jambu.
"Suntikkan itu buat apa?"
Dengan senyuman mengembang, si wanita menatap si bapak dan berkata, "Serum terbaru, pelumpuh ingatan, ia akan sehat setelah ini. Karena memori tentang Anawai akan terhapus selamanya. Masa lalu akan sejarah cintanya pun menghilang. Dan ia akan hidup di masa kini."
Sekali lagi wanita itu tersenyum menatap Oheo yang telah diamankan ke mobil ambulans.
Senyumannya kali ini penuh misteri.
TAMAT.
IBNU NAFISAH
Kendari, 16 Maret 2017
Wingi, jam 7:38 · Kemaraya, Southeast Sulawesi ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar