Rabu, 22 Maret 2017

SEBUTIR MASA LALU (Cerpen)


SEBUTIR MASA LALU
Oleh: Selvia Stiphanie
Komunitas Bisa Menulis
 
Sepatu kulempar tepat mengenai Lay. Wajahnya masih basah habis datang dari kamar mandi. Jenggot tembalnya membuatku makin geram. Betapa bejatnya ia menggagahiku tadi malam.
"Stupid, Meyla!" Sumpah serapah busuk keluar dari mulutnya yang bau rokok itu. Aku naik pitam. Kusodorkan tespack garis dua padanya.
"Maksudmu? Kau memintaku bertanggung jawab?" Ia malah bertanya. Mata Arabnya yang sayu kutatap tajam. Televisi masih terbuka. AC juga masih menghembus udara dingin menyengat. Tepat di atas meja kerjaku, ada sebilah gunting.
"Bunuh aku, Lay!" jawabku datar. Aku menantikan gerakan bibirnya. Jika ia muak, ia pasti akan meludah seenaknya atau mengamuk. Aku tahu Lay. Tak semudah membeli tiket hotel untuk menginapkan pria semalam bersamaku, untuk menyuruhnya segera menikahiku.
"No.." jawabnya sangat datar. Seolah tak terjadi apa-apa.
Lay, pacarku berdarah Arab. Nama aslinya Sulaymi. Setiap denyut urat nadinya dipenuhi nama seorang mantannya, Haura. Aku tak peduli, bahkan setiap kali Lay membicarakan Haura di hadapanku. Memuji kecantikan wajahnya, kemolekan tubuhnya, bahkan acapkali ia bandingkan pergelangan kakiku dan kaki Haura. Aku kadang muak, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak mau Lay meninggalkanku. Titik.
Lay mengambil bajunya. Sambil menyisir rambut ikalnya itu. Ia mencoba bernegosiasi.
"Kau punya suami, Meyla. Bilang saja ini anak suamimu!" Matanya menyipit membentuk sabit. Kukira ia memuji ketampanan wajah Arabiannya itu. Sama sekali tidak dewasa. Lelaki tak punya hati. Gila!
Aku sudah lama mengenal Lay. Jauh sebelum aku mengenal suamiku. Aku dan Lay sama-sama mengurus organisasi Islam yang sama. Kami dulu aktif mensyiarkan dakwah Islam. Lay, dia lelaki yang membuatku terpesona. Setiap kata-katanya meluluhkan hati dan imanku.
"Alham tak akan percaya. Ini mustahil baginya." jawabku tegas. Kumatikan TV. Aku mulai ingin berbicara serius. Aku tak bisa melakukan pembohongan besar itu untuk menutupi kebodohan ini. Ini terlalu beresiko.
"Tenang saja Meyla. Dia tak akan meminta tes DNA. Bukankah selama ini kau bilang suamimu sangat menginginkan anak?"
Aku keluar. Membanting pintu. Lay kukunci dari luar. Jendela sebelumnya sudah kukunci rapat. Semua ini sudah kurencakan sebelumnya. Lihat saja, akhirnya Lay.
Bersambung . . . .

SEBUTIR MASA LALU (2
Mantanku, hanya Haura.
"Sudah Lay, cukup! Ini tak akan masalah." Lay nampak bermasalah. Ia gelisah akhir-akhir ini. Aku sangat tahu, Lay anti merokok. Ia juga haram bersentuhan dengan minuman keras atau sedikit alkohol. Tapi, malam ini dirinya berubah. Inilah kesempatanku memenangkan hatinya.
"Haura, besok menikah Meyla. Tak sadarkah dirinya bahwa cintaku sangat besar? Tak ingatkah dirinya betapa banyak kenangan manisnya bersamaku?" Bicara Lay tergagap-gagap. Sebetulnya aku jijik mendengarkan isi hatinya itu. Haura, Haura, Haura. Tidak ada kah kata yang lebih baik?
Aku memesan secangkir susu cokelat panas. Di kafe ini, dulunya aku sering memesan minuman ringan ini bersama Lay dan Haura. Kami bertiga bersahabat. Oh ya, satu lagi. Goku, sebutan aneh yang kami sematkan pada sahabat kami lainnya. Kami jijik menyebut nama aslinya, Maya. Padahal, Maya identik dengan nama perempuan, tapi disematkan pada Goku. Entahlah, ngidam apa dulu ibunya. Sehingga bersikeras memberi nama "Maya" pada anak semata wayangnya ini.
"Tolong aku Meyla. Aku tak bisa hidup tanpa Haura! Aku tahu dia sangat mencintaiku." Lay mengaduh. Ia menangis seperti anak kecil. Aku seolah seperti ibunya. Ah, apa ini?
Aku memang tahu tentang Haura. Meski selama aku menikah. Aku tak pernah ingin tahu lagi tentangnya. Apapun itu.
Tetiba, seseorang menghubungiku via media sosial. Memintaku untuk segera menolong Lay. Mungkin karena dia tahu, dulu kami bertiga bersahabat, tapi tidak tahu tentang permasalahan pelik kami.
Surat emailnya bercerita tentang Haura. Katanya, Haura akan menikah beberapa bulan lagi. Padahal, Lay sedang berjuang memperbaiki diri, mencari uang jujuran pernikahan, menempa karier dan sebagai di perantauan. Haura yang dulunya sangat mencintai Lay, yang dulunya sering bekerjasama mengadakan acara besar dakwah, sering pergi bersama berwisata, bahkan bersama-sama mencari keberadaanku, kini sudah berpisah. Berpisah dengan sangat kejam. Haura memberikan undangan pernikahan di kala semuanya sudah siap. Lay siap melamar Haura.
"Siapa calon suaminya?" tanyaku pada Lay. Minuman pesananku kuseruput sedikit. Kulirik kiri kanan. Aman.
Lay diam. Sepertinya mabuknya sudah sangat berat.
"Bukan Goku, kan?" Aku tertawa kecil. Berharap dia mendengarkan pertanyaanku.
"Hafez.. Temanku semasa kuliah. Dia adik angkatanku. Kami satu organisasi di BEM. Pernah berjuang bersama. Hah, kenapa dunia begini ya?" Bicara Lay sudah mulai melemah. Pelayan kafe yang sejak tadi memandangi kami. Tetiba menundukkan kepalanya. Ia tahu, aku sedang memperhatikannya.
Kutarik Lay. Badannya besar. Mabuk beratnya membuatnya susah berjalan. Lunglai. Pelayan kafe yang sejak tadi memperhatikan kami, kuberikan kedipan mata tanda terimakasih.
Seketika. Aku sudah berada dalam mobil bersama Lay. Kali ini, ia berada dalam genggamanku. Untunglah, suamiku ada perjalanan bisnis ke luar kota. Aku bebas besama Lay.
@stiphanievie @selvia.stiphanie
# sebutirmasalalu # lay # meyla # haura # alham
# cerpenselvia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar