Jumat, 03 Maret 2017

CONTOH LAPORAN PENELITIAN SEDERHANA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.
Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.

Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berrati daya dari budi. Namun, pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada perbedaan dari definsi.

Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat  merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”

Yogyakarta, kota istimewa dengan sejuta pesona. Di kota ini, budaya lokal dan budaya global berbaur menjadi satu dan menciptakan harmoni tersendiri. Di Yogyakarta, semua mendapat tempat dan porsi yang sama untuk terus hidup dan berkembang. Salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih berkembang di Yogyakarta adalah Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini rutin dilaksanakan setiap malam 1 sura (kalender Jawa), sebagai ajang untuk refleksi diri di depan Sang Pencipta.
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang diciptakan oleh keraton, melainkan memang sudah tradisi asli masyarakat Jawa yang berkembang sejak abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu. Tradisi ini dikenal dengan nama muser atau munjer yang berarti mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksudkan adalah pusat wilayah desa, ketika perdesaan berkembang menjadi kerajaan muser pun berubah menjadi tradisi mengelilingi wilayah pusat kerajaan.
Tradisi mubeng benteng kemudian dilanjutkan pada masa Kerajaan Mataram (Kotagede). Kala itu prajurit ditugaskan untuk berjaga dan mengelilingi benteng guna menjaga keraton dari serangan musuh. Kemudian setelah kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem keraton. Dalam menjalankan tugasnya, para abdi dalem ini diam membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan. Hal inilah yang kemudian dilakukan hingga saat ini. Setiap malam 1 Sura, abdi dalem keraton dan ribuan warga turut serta berjalan mengelilingi benteng keraton Yogyakarta tanpa mengucapkan sepatah katapun sebagai bentuk laku tirakat.

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1    Apa yang menyebabkan masyarakat melakukan tradisi memperingati malam 1 syura?
1.3. Tujuan
            Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1    Untuk mengatahui mengapa di lakukan tradisi malam 1 syura.
1.3.2    Cara mereka melakukan tradisi tersebut.
1.4. Manfaat
            Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.4.1    Dapat mengatahui mengapa tradisi memperingati malam 1 syura.
1.4.2    Dapat mengatahui cara atau proses mereka melakukan tradisi tersebut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian
      Tradisi yang dilakasanakan oleh para abdi dalem untuk diam membisu dengan mengelilingi benteng sambil membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan pada malam 1 syura.

2.2. Alasan
Alasan mengapa saya mengambil judul penelitian ini, karena saya ingin lebih mengetahui lebih dalam lagi tentang tradisi-tradisi yang ada di yogyakarta, khususya di lingkungan keraton, dan saya yakin masyarakat sekitar khususnya masyarakat kota-kota besar, belum ada yang tahu sama sekali mengenai tradisi memperingati malam 1 syura ini, dengan cara mengelilingi benteng pada tengah malam dengan tanpa bicara dan berdoa di dalam hati. Dan dengan adanya penelitian ini saya berharap masyarakat lebih khususnya teman-teman mahasiswa sastra nusantara bisa sedikit lebih tahu bahwa di daerah yogyakarta khususnya lingkungan keraton, bahwa ada tradisi-tradisi seperti ini yang di lakukan tiap tahun sekali yang di lakukan pada awal bulan syura yaitu pada malam 1 syura.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian yang bervariasi atau apa yang menjadi titik perhatian. Variabel yang digunakan:
·           Pengetahuan tentang tradisi memperingati hari datangnya malam 1 syura.

3.2. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek yang menjadi pusat perhatian penelitian. Saya menggunakan warga lingkungan keraton, sebagai populasi dalam  penelitian ini .

3.3. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang terpilih untuk penelitian yang karakteristiknya dianggap mewakili semua populasi. Untuk itu saya mengambil sample dari sebagian warga lingkungan keraton sebanyak  2 orang warga.

3.4. Teknik Penarikan Sampel
Dalam penyusunan laporan penelitian ini, kami menggunakan penarikan sample dengan jenis propabilitas, yaitu sample yang tidak ditentukan atau tidak direncanakan.

3.5. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian yang saya gunakan adalah metode wawancara atau angket dengan jenis terbuka.



BAB IV
PROSEDUR KERJA

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian
            Penelitian ini dilakukan di lingkungan keraton, kecematan keraton, mulai pengamatan tanggal, 27  Desember – 18 januari 2012. Saya memulai pengamatan dengan warga lingkungan keraton itu sendiri yaitu bapak Sugeng petugas jaga malam kantor kecamatan karaton dan petugas budaya di keraton bapak Enggar, beliua-beliaulah yang banyak mengetahui mengenai tradisi memperingati malam 1 syura, dan di tambah oleh teman-teman saya sendiri sebagai pelengkap pengamatan ini yang kebetulan yang tinggal di dalam benteng keraton, sehubung mereka sendiri juga banyak berperan peting dalam melaksanakan tradisi tersebut. Saya melakukan pengamatan ini dengan wawancara langsung pada narasumber. Sehingga data-data yang saya terima merupakan data asli dan bisa dipertanggungjawabkan. Bagi saya sudah sangat cukup mengenai informasi yang di berikan. Saya sangat puas dengan apa yang mereka informasikan mengenai tradisi tersebut.




BAB V
PEMBAHASAN

5.1. Masalah Yang Di Hadapi Pada Saat Penelitian Berjalan
            Ada beberpa masalah yang di alami pada saat melakukan penelitian antara lain, yaitu putusnya kontek dengan sumber informan, yang penyebabnya, karena ketidaktahuan saya terhadap jadwal kedinasan narasumber, sebab ketika saya hendak menemui narasumber adalah hari libur. Jadi informasi yang di peroleh tidak begitu jelas. Pada kesempatan yang kedua pula kami menemui kegagalan lagi dalam mewawancarai narasumber dari pihak keraton. Beliau adalah Bapak Enggar yang merupakan staf keraton bagian pariwisata. Kami sempat menemui dan berbincang-bincang dengan beliau tetapi hanya sebentar. Hal itu dikarenakan beliau mendadak ada rapat di keraton. Sehingga kami hanya bisa mendapatkan informasi sedikit. Untuk melengkapi informasi mengenai puasa bisu ini, kami sengaja mencari orang yang mengerti akan tradisi ini. Beliau adalah Feri yang tinggal di lingkungan museum kereta keraton. Dan alkhamdulillah informasi yang kami dapatkan bisa cukup lengkap.

5.2. Hasil pengamatan
            tapa-bisu.jpg
Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng merupakan acara yang terbuka bagi siapa saja. Dan untuk mengikutinya tak perlu mendaftar, tak perlu menggunakan pakaian pranakan lengkap seperti abdi dalem, dan tak perlu melakukan pantangan ini dan itu. Jika tertarik untuk bergabung, cukup datang ke Pelataran Keben Keraton pada malam 1 Sura yang merupakan tahun baru dalam kalender Jawa dan silahkan mengikuti rombongan abdi dalem yang akan melakukan Lampah Bisu Mubeng Beteng.
kraton01.jpg
Lampah Bisu akan dimulai pada pukul 00.01 WIB, selepas bunyi lonceng Kyai Brajanala yang terletak di Regol Keben berdenting sebanyak 12 kali sebagai tanda pergantian hari. Meski prosesi jalan kaki mengelilingi beteng baru dimulai dini hari, biasanya sejak pukul 20.00 WIB masyarakat sudah berduyun-duyun memadari pelataran Keben. Kemudian pada pukul 22.00 WIB akan ada semacam prosesi dan persiapan yang dilakukan oleh abdi dalem guna mempersiapkan jalannya acara.
81976_ritual_keraton_yogyakarta_kdw-e1323178650451.jpg
Setelah lonceng berbunyi, abdi dalem akan memulai jalan kaki keluar dari Regol Keben, menuju rute yang telah ditentukan yakni mengitari benteng. Biasanya abdi dalem akan membawa bendera dan panji-panji Keraton Yogyakarta, teplok (lampu) dan kemenyan. Mereka akan berada di barisan terdepan, kemudian baru diikuti oleh masyarakat. Selama berjalan kaki mengitari benteng keraton sejauh kurang lebih 5 km, peserta tidak boleh berbicara, makan, maupun merokok. Mereka harus berjalan sambil berdiam diri, merefleksikan apa yang telah dilakukan pada satu tahun ke belakang dan berdoa untuk memohon kebaikan di tahun-tahun mendatang.
Prosesi budaya ini akan berakhir di Alun-alun Utara, kemudian kembali lagi ke Regol Keben. Setelah itu masyarakat dapat kembali pulang ke rumahnya masing-masing secara tertib. Meski hanya berupa jalan kaki di malam hari mengitari beteng, acara ini biasanya menyedot perhatian banyak warga, baik warga yang tertarik ingin bergabung maupun warga yang penasaran hanya ingin sekadar menyaksikan ritual ini. Meski acara ini sudah berlangsung secara turun temurun sejak zaman dahulu, masyarakat masih tetap antusias untuk mengikuti ritual ini setiap tahunnya.
Peserta Lampah Bisu akan memulai berjalan kaki dari Keben Keraton Yogyakarta, kemudian akan mengitari beteng keraton. Adapun rute yang ditempuh adalah sebagai berikut : Keben – Jalan Rotowijayan – Jalan Kauman – Jalan Agus Salim – Jalan Wahid Hasyim – Suryowijayan – Pojok Beteng Kulon – Jalan Letjen MT Haryono – Jalan Mayjen Sutoyo – Pojok Beteng Wetan – Jalan Brigjen Katamso – Jalan Ibu Ruswo – Alun-alun Utara.
Jalan tempat dilangsungkannya Lampah Bisu Mubeng Beteng terletak di pusat Kota Yogyakarta sehingga mudah dijangkau. Hanya saja, berhubung ritual ini dilaksanakan dini hari maka sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi, yang ada tinggal taksi maupun becak. Bagi wisatawan yang menginap di seputaran Malioboro dapat berjalan kaki menuju Alun-alun Utara untuk menyaksikan upacara ini.
 
5.3. Alasan memilih informan
Alasan saya mengapa saya mengambil :
a.       Pak Sugeng petugas penjaga malam kantor kecamatan keratin yogyakarta sebagai informan, karena biliaulah yang banyak tahu mengenai tradisi puasa bisu dimalam tirakat tersebut, asli masyarakat keraton dan beliau juga yang banyak berperan dalam melaksanakan tradisi tersebut.
b.      Staf Keraton Yogyakarta bagian pariwisata yaitu bapak Enggar yang sangat mengetahui persis mengetahui semua kebudayaan yang ada di lingkungan Yogyakarta.
c.       M. Feri Setiawan salah satu penduduk yang tinggal di dalam museum kereta keraton yang merupakan pelaku sekaligus pemuda yang sangat menaruh harapan kepada para generasi muda untuk peduli dengan kebudayaan jawa.
d.      Dan informasi-informasi yang ada di dunia informasi.

 

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
            Puasa bisu dimalam tirakat yaitu sebuah ritual dan sebuah kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat jogja dan sekitarnya. Dengan kegiatan mengitari atau mubeng benteng pada malam hari dengan berjalan kaki tanpa berbicara dengan siapapun sampai selesai.
Manfaat dari melakukan ritual ini menurut kebanyakan orang dengan melakukan ritual ini bisa melatih keprihatinan dengan segala keadaan yang ditunjukkan dengan puasa bisu atau tidak berbicara.

6.2. Saran
            Adapun saran yang bisa disampaikan di dalam pengamatan kali ini, yaitu hendaknya masyarakat peduli dengan tradisi budayanya masing-masing, supaya budaya atau tradisi tersebut tidak akan terlupakan atau punah di makan waktu. Meskipun kesibukan telah memakan banyak waktu. Hingga sulit untuk melakukan ritual budaya ini.



           

           
Sesi Tanya jawab dengan informan
ü  Penanya : topo bisu mubeng benteng itu apa ya?
ü  Narasumber : yaitu sebuah ritual dan sebuah kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat jogja dan sekitarnya. Dengan kegiatan mengitari atau mubeng benteng pada malam hari dengan berjalan kaki tanpa berbicara dengan siapapun sampai selesai.
ü  Penanya : apa tujuan ritual itu?
ü  Narasunber : memperingati ultah islam
ü  Penanya : apakah puasa itu menurut anda akan tetap dilaksanakan tiap tahunnya?
ü  Narasumber : ya pasti dilakukan setiap tahunnya, karena sudah merupakan kebudayaan dan kebiasaan orang jawa, masyarakat Yogyakarta khususnya.
ü  Penanya : ada manfaat tidak bagi masyarakat yang melakukan ritual itu? Seperti ketenangan  batin atau yang lain gitu?
ü  Narasumber : ya ada pastinya, menurut kebanyakan orang dengan melakukan ritual ini bisa melatih keprihatinan dengan segala keadaan yang ditunjukkan dengan puasa bisu atau tidak berbicara.




Daftar pustaka
·      sumber : http://www.mahameru.com/




Narasumber :

v Pak Sugeng petugas penjaga malam kantor kecamatan keraton Yogyakarta.
v Pak Enggar staf keraton bagian pariwisata
v M. Feri Setiawan

2 komentar:

  1. Minion77 situs Bandar Slot Online Gacor, Anda bisa main slot gratis.
    Deposit Pulsa tanpa potong. Bonus slot nya setiap hari. Buruan Daftar & Mainkan!!!
    Menang kan Slot Online dengan Aplikasi Slot lisensi Onix Gaming Slot.
    Dengan deposit minimal 10rb, Ente sudah bisa merasakan jackpot sensasional hingga maxwin.
    Bagi New Member bisa claim di awal 100%. Tak luput Xtra Deposit 10% sebanyak 2x setiap hari.
    Menang maupun Kalah tetap diberikan bonus sebesar 40%.

    BalasHapus