BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang.
Menurut Koentjaraningrat
(2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta
”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.
Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa
cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa itu.
Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berrati daya dari budi. Namun, pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada perbedaan dari definsi.
Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Yogyakarta, kota istimewa dengan sejuta
pesona. Di kota ini, budaya lokal dan
budaya global berbaur menjadi satu dan menciptakan harmoni tersendiri. Di
Yogyakarta, semua mendapat tempat dan porsi yang sama untuk terus hidup dan
berkembang. Salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih berkembang di
Yogyakarta adalah Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini rutin
dilaksanakan setiap malam 1 sura (kalender Jawa), sebagai ajang untuk refleksi
diri di depan Sang Pencipta.
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang
diciptakan oleh keraton, melainkan memang sudah tradisi asli masyarakat Jawa
yang berkembang sejak abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu.
Tradisi ini dikenal dengan nama muser atau munjer yang berarti
mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksudkan adalah pusat wilayah desa, ketika perdesaan
berkembang menjadi kerajaan muser pun berubah menjadi tradisi
mengelilingi wilayah pusat kerajaan.
Tradisi mubeng benteng kemudian dilanjutkan pada masa
Kerajaan Mataram (Kotagede). Kala itu prajurit ditugaskan untuk berjaga dan
mengelilingi benteng guna menjaga keraton dari serangan musuh. Kemudian setelah
kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada
abdi dalem keraton. Dalam menjalankan tugasnya, para abdi dalem ini diam
membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan. Hal
inilah yang kemudian dilakukan hingga saat ini. Setiap malam 1 Sura, abdi dalem
keraton dan ribuan warga turut serta berjalan mengelilingi benteng keraton
Yogyakarta tanpa mengucapkan sepatah katapun sebagai bentuk laku tirakat.
1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1 Apa
yang menyebabkan masyarakat melakukan tradisi memperingati malam 1 syura?
1.3. Tujuan
Tujuan
dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Untuk
mengatahui mengapa di lakukan tradisi malam 1 syura.
1.3.2 Cara
mereka melakukan tradisi tersebut.
1.4. Manfaat
Manfaat
dari penelitian ini adalah:
1.4.1 Dapat
mengatahui mengapa tradisi memperingati malam 1 syura.
1.4.2 Dapat
mengatahui cara atau proses mereka melakukan tradisi tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
Tradisi yang
dilakasanakan oleh para abdi dalem untuk diam membisu dengan mengelilingi benteng sambil membaca
doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan pada malam 1 syura.
2.2. Alasan
Alasan
mengapa saya mengambil judul penelitian ini, karena saya ingin lebih mengetahui
lebih dalam lagi tentang tradisi-tradisi yang ada di yogyakarta, khususya di lingkungan
keraton, dan saya yakin masyarakat sekitar khususnya masyarakat kota-kota
besar, belum ada yang tahu sama sekali mengenai tradisi memperingati malam 1
syura ini, dengan cara mengelilingi benteng pada tengah malam dengan tanpa
bicara dan berdoa di dalam hati. Dan dengan adanya penelitian ini saya berharap
masyarakat lebih khususnya teman-teman mahasiswa sastra nusantara bisa sedikit
lebih tahu bahwa di daerah yogyakarta khususnya lingkungan keraton, bahwa ada
tradisi-tradisi seperti ini yang di lakukan tiap tahun sekali yang di lakukan
pada awal bulan syura yaitu pada malam 1 syura.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Variabel Penelitian
Variabel
adalah objek penelitian yang bervariasi atau apa yang menjadi titik perhatian.
Variabel yang digunakan:
·
Pengetahuan tentang tradisi memperingati
hari datangnya malam 1 syura.
3.2. Populasi
Populasi
adalah keseluruhan objek yang menjadi pusat perhatian penelitian. Saya menggunakan warga lingkungan
keraton, sebagai populasi dalam
penelitian ini .
3.3. Sampel
Sampel
adalah bagian dari populasi yang terpilih untuk penelitian yang
karakteristiknya dianggap mewakili semua populasi. Untuk itu saya mengambil
sample dari sebagian warga lingkungan keraton sebanyak 2 orang warga.
3.4. Teknik Penarikan Sampel
Dalam
penyusunan laporan penelitian ini, kami menggunakan penarikan sample dengan
jenis propabilitas, yaitu sample yang tidak ditentukan atau tidak direncanakan.
3.5. Instrumen Penelitian
Instrument
penelitian yang saya gunakan adalah metode wawancara atau angket dengan jenis terbuka.
BAB IV
PROSEDUR KERJA
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan keraton,
kecematan keraton, mulai pengamatan tanggal, 27
Desember – 18 januari 2012. Saya memulai pengamatan dengan warga lingkungan
keraton itu sendiri yaitu bapak Sugeng petugas jaga malam kantor kecamatan karaton
dan petugas budaya di keraton bapak Enggar, beliua-beliaulah yang banyak
mengetahui mengenai tradisi memperingati malam 1 syura, dan di tambah oleh teman-teman
saya sendiri sebagai pelengkap pengamatan ini yang kebetulan yang tinggal di
dalam benteng keraton, sehubung mereka sendiri juga banyak berperan peting
dalam melaksanakan tradisi tersebut. Saya melakukan pengamatan ini dengan wawancara
langsung pada narasumber. Sehingga data-data yang saya terima merupakan data
asli dan bisa dipertanggungjawabkan. Bagi saya sudah sangat cukup mengenai
informasi yang di berikan. Saya sangat puas dengan apa yang mereka informasikan
mengenai tradisi tersebut.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Masalah Yang Di Hadapi Pada Saat Penelitian Berjalan
Ada beberpa masalah yang di alami pada saat
melakukan penelitian antara lain, yaitu putusnya kontek dengan sumber informan,
yang penyebabnya, karena ketidaktahuan saya terhadap jadwal kedinasan
narasumber, sebab ketika saya hendak menemui narasumber adalah hari libur. Jadi
informasi yang di peroleh tidak begitu jelas. Pada kesempatan yang kedua pula
kami menemui kegagalan lagi dalam mewawancarai narasumber dari pihak keraton.
Beliau adalah Bapak Enggar yang merupakan staf keraton bagian pariwisata. Kami
sempat menemui dan berbincang-bincang dengan beliau tetapi hanya sebentar. Hal
itu dikarenakan beliau mendadak ada rapat di keraton. Sehingga kami hanya bisa
mendapatkan informasi sedikit. Untuk melengkapi informasi mengenai puasa bisu
ini, kami sengaja mencari orang yang mengerti akan tradisi ini. Beliau adalah
Feri yang tinggal di lingkungan museum kereta keraton. Dan alkhamdulillah
informasi yang kami dapatkan bisa cukup lengkap.
5.2. Hasil pengamatan

Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng merupakan acara yang
terbuka bagi siapa saja. Dan
untuk mengikutinya tak perlu mendaftar, tak perlu menggunakan pakaian pranakan
lengkap seperti abdi dalem, dan tak perlu melakukan pantangan ini dan itu. Jika
tertarik untuk bergabung, cukup datang ke Pelataran Keben Keraton pada malam 1
Sura yang merupakan tahun baru dalam kalender Jawa dan silahkan mengikuti
rombongan abdi dalem yang akan melakukan Lampah Bisu Mubeng Beteng.

Lampah Bisu akan dimulai pada pukul 00.01 WIB, selepas
bunyi lonceng Kyai Brajanala yang terletak di Regol Keben berdenting sebanyak
12 kali sebagai tanda pergantian hari. Meski prosesi jalan kaki mengelilingi
beteng baru dimulai dini hari, biasanya sejak pukul 20.00 WIB masyarakat sudah
berduyun-duyun memadari pelataran Keben. Kemudian pada pukul 22.00 WIB akan ada
semacam prosesi dan persiapan yang dilakukan oleh abdi dalem guna mempersiapkan
jalannya acara.

Setelah lonceng berbunyi, abdi dalem akan memulai jalan
kaki keluar dari Regol Keben, menuju rute yang telah ditentukan yakni mengitari
benteng. Biasanya abdi dalem akan membawa bendera dan panji-panji Keraton
Yogyakarta, teplok (lampu) dan kemenyan. Mereka akan berada di barisan
terdepan, kemudian baru diikuti oleh masyarakat. Selama berjalan kaki mengitari
benteng keraton sejauh kurang lebih 5 km, peserta tidak boleh berbicara, makan,
maupun merokok. Mereka harus berjalan sambil berdiam diri, merefleksikan apa
yang telah dilakukan pada satu tahun ke belakang dan berdoa untuk memohon
kebaikan di tahun-tahun mendatang.
Prosesi budaya ini akan berakhir di Alun-alun Utara,
kemudian kembali lagi ke Regol Keben. Setelah itu masyarakat dapat kembali
pulang ke rumahnya masing-masing secara tertib. Meski hanya berupa jalan kaki
di malam hari mengitari beteng, acara ini biasanya menyedot perhatian banyak
warga, baik warga yang tertarik ingin bergabung maupun warga yang penasaran
hanya ingin sekadar menyaksikan ritual ini. Meski acara ini sudah berlangsung
secara turun temurun sejak zaman dahulu, masyarakat masih tetap antusias untuk
mengikuti ritual ini setiap tahunnya.
Peserta Lampah Bisu akan memulai berjalan kaki dari Keben
Keraton Yogyakarta, kemudian akan mengitari beteng keraton. Adapun rute yang
ditempuh adalah sebagai berikut : Keben – Jalan Rotowijayan – Jalan Kauman – Jalan Agus
Salim – Jalan Wahid Hasyim – Suryowijayan – Pojok Beteng Kulon – Jalan Letjen
MT Haryono – Jalan Mayjen Sutoyo – Pojok Beteng Wetan – Jalan Brigjen Katamso –
Jalan Ibu Ruswo – Alun-alun Utara.
Jalan tempat dilangsungkannya Lampah Bisu Mubeng Beteng
terletak di pusat Kota Yogyakarta sehingga mudah dijangkau. Hanya saja,
berhubung ritual ini dilaksanakan dini hari maka sudah tidak ada angkutan umum
yang beroperasi, yang ada tinggal taksi maupun becak. Bagi wisatawan yang
menginap di seputaran Malioboro dapat berjalan kaki menuju Alun-alun Utara
untuk menyaksikan upacara ini.
5.3. Alasan memilih informan
Alasan
saya mengapa saya mengambil :
a. Pak
Sugeng petugas penjaga malam kantor kecamatan keratin yogyakarta sebagai
informan, karena biliaulah yang banyak tahu mengenai tradisi puasa bisu dimalam
tirakat tersebut, asli masyarakat keraton dan beliau juga yang banyak berperan
dalam melaksanakan tradisi tersebut.
b. Staf
Keraton Yogyakarta bagian pariwisata yaitu bapak Enggar yang sangat mengetahui
persis mengetahui semua kebudayaan yang ada di lingkungan Yogyakarta.
c. M.
Feri Setiawan salah satu penduduk yang tinggal di dalam museum kereta keraton
yang merupakan pelaku sekaligus pemuda yang sangat menaruh harapan kepada para
generasi muda untuk peduli dengan kebudayaan jawa.
d. Dan
informasi-informasi yang ada di dunia informasi.
BAB
VI
KESIMPULAN
DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
Puasa
bisu dimalam tirakat yaitu sebuah
ritual dan sebuah kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat jogja dan
sekitarnya. Dengan kegiatan mengitari atau mubeng benteng pada malam hari
dengan berjalan kaki tanpa berbicara dengan siapapun sampai selesai.
Manfaat
dari melakukan ritual ini menurut kebanyakan orang dengan melakukan ritual ini
bisa melatih keprihatinan dengan segala keadaan yang ditunjukkan dengan puasa
bisu atau tidak berbicara.
6.2. Saran
Adapun
saran yang bisa disampaikan di dalam pengamatan kali ini, yaitu hendaknya
masyarakat peduli dengan tradisi budayanya masing-masing, supaya budaya atau
tradisi tersebut tidak akan terlupakan atau punah di makan waktu. Meskipun
kesibukan telah memakan banyak waktu. Hingga sulit untuk melakukan ritual
budaya ini.
Sesi
Tanya jawab dengan informan
ü Penanya
: topo bisu mubeng benteng itu apa ya?
ü Narasumber
: yaitu sebuah ritual dan sebuah kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat
jogja dan sekitarnya. Dengan kegiatan mengitari atau mubeng benteng pada malam
hari dengan berjalan kaki tanpa berbicara dengan siapapun sampai selesai.
ü Penanya
: apa tujuan ritual itu?
ü Narasunber
: memperingati ultah islam
ü Penanya
: apakah puasa itu menurut anda akan tetap dilaksanakan tiap tahunnya?
ü Narasumber
: ya pasti dilakukan setiap tahunnya, karena sudah merupakan kebudayaan dan
kebiasaan orang jawa, masyarakat Yogyakarta khususnya.
ü Penanya
: ada manfaat tidak bagi masyarakat yang melakukan ritual itu? Seperti
ketenangan batin atau yang lain gitu?
ü Narasumber
: ya ada pastinya, menurut kebanyakan orang dengan melakukan ritual ini bisa
melatih keprihatinan dengan segala keadaan yang ditunjukkan dengan puasa bisu
atau tidak berbicara.
Daftar
pustaka
Narasumber
:
v Pak
Sugeng petugas penjaga malam kantor kecamatan keraton Yogyakarta.
v Pak
Enggar staf keraton bagian pariwisata
v M.
Feri Setiawan
Minion77 situs Bandar Slot Online Gacor, Anda bisa main slot gratis.
BalasHapusDeposit Pulsa tanpa potong. Bonus slot nya setiap hari. Buruan Daftar & Mainkan!!!
Menang kan Slot Online dengan Aplikasi Slot lisensi Onix Gaming Slot.
Dengan deposit minimal 10rb, Ente sudah bisa merasakan jackpot sensasional hingga maxwin.
Bagi New Member bisa claim di awal 100%. Tak luput Xtra Deposit 10% sebanyak 2x setiap hari.
Menang maupun Kalah tetap diberikan bonus sebesar 40%.
matur suwun pak dhe
BalasHapus