Senin, 10 April 2017

CERPEN, AIR MATA

Air Mata
.
Kupeluk tubuhnya.
"Maa ...." panggilku pelan.
Kulepaskan pelukan. Duduk menunduk, dengan tangan berkali mengusap air mata yang tak henti menetes.
Kupeluk lagi tubuhnya.
"Maa ...." kuciumi wajahnya.
Teringat pesannya padaku beberapa waktu lalu. Tentang kehidupan, tentang cinta, tentang persahabatan, tentang keluarga.
Banyak.
"Maa ...." aku mengusap jemarinya. Mengusap rambutnya. Mengusap wajahnya.
Lalu kupeluk lagi.
Belum kuat aku ... belum kuat jika harus berpisah dengannya secepat ini.
"Maa ... Mama ...." kuusap air mata yang semakin membanjir.
Beberapa tangan menyentuh bahu. Menguatkan. Tak kupedulikan.
Kupeluk tubuhnya erat. Dingin. Kaku. Tangannya tidak mengusap kepalaku lagi.
Semakin ketakutan jika ini akan menjadi yang terakhir. Sebelum orang-orang itu membawanya ke pemakaman.
Terlalu banyak yang ia ajarkan padaku.Tentang kehidupan, tentang cinta, tentang persahabatan, tentang keluarga.
Tapi tak pernah dia mengajarkanku, bagaimana cara hidup tanpanya.
*****
.
"Mau sekolah ya?" sapaku pada gadis kecil itu. Lala.
Dia mengangguk dengan wajah ceria. Sementara ibunya menatapku dengan tatapan ....
"Teh," senyumnya menyapa.
Tak lagi kudengar mereka memanggilku "Mamanya Disha."
Aku hanya mengangguk sambil mengamati punggung mereka yang menjauh. Kemudian melangkah masuk ke rumah.
Di ruang tamu, mata Disha menatapku dengan senyum cerianya.
Memanggilku lewat binar matanya agar aku melangkah mendekat. Kuusap wajahnya.
Dingin.
Lalu kupeluk dalam dekapku.
"Bunda kangen, Nak ...." bisikku, "udah lama kamu nggak sekolah ...."
Lalu kuciumi. Seiring dengan airmata menitik pasrah membasahi bingkai kaca foto Disha.
Disha, gadis kecilku, seharusnya pergi ke sekolah bersama Lala. Kalau saja demam berdarah tidak merenggut nyawanya ....
Suatu hal yang menyakitkan jika kau harus melihat anakmu dimakamkan lebih dulu.
***
.
[Kak, udah makan belum?]
Kukirim pesan padanya.
Semenit, dua menit, bahkan satu jam kemudian tak ada jawaban.
Sesibuk itukah?
Beberapa minggu yang lalu, saat dia masih mengejarku, hampir tiap saat ada pesan masuk. Menanyakan hal-hal yang tidak penting, atau hanya sekedar memberi tahu keberadaannya.
Sibuk menghiburku jika hatiku sedang sedih. Menanyakan apa yang sudah atau akan aku lakukan. Memuji untuk hal-hal yang kuanggap tidak penting tapi bisa menyenangkan hatiku, "Kamu keliatan cantik hari ini!"
Tapi akhir-akhir ini sikapnya berubah. Pesanku seringkali tak terbalas.
Kucoba berpikir positif. Mungkin dia hanya sibuk. Tapi, tetap saja rasa sakit itu datang.
[Ya]
Setelah menunggu selama hampir 2 jam, balasannya datang. Dan di sana aku melihat, betapa tak berartinya aku sekarang.
Airmataku menetes.
Hal yang paling menyakitkan adalah saat seseorang yang membuatmu merasa spesial kemarin, membuatmu merasa menjadi orang yang paling tak diinginkan hari ini.
***
.
"Kek, Kakek ikut ya!" Hany, cucuku, menarik-narik lenganku dengan bersemangat.
Sementara Dirham sibuk menaikkan koper ke bagasi mobil.
Istri Dirham sudah bersiap duduk di dalam mobil sambil manggil-manggil putri kecilnya yang masih merayuku agar ikut.
"Ayo, Kek! Ikut Hany! Entar kita main sepeda di rumah!"
Aku tertawa sambil melihat ke arah Dirham Putraku, menunggu reaksinya.
"Entar Hany beliin Kakek banyak makanan enak! Di sini kan Kakek nggak punya uang buat beli makanan enak! Lagian Kakek tinggal sendirian nggak sama Nenek lagi! Ayo Kek ... ayo ikut!" gadis kecil itu sedikit memaksa dengan alasan yang memang benar adanya.
Lagi-lagi kulirik Dirham.
Dirham sudah selesai memasukkan koper-koper itu ke bagasi. Lalu menutup bagasi mobil dan berjalan ke depan. Ke arahku.
"Dirham pamit pulang, Pak. Nanti lebaran tahun depan tak bisa datang ke sini karena berlebaran di kampung istriku." Ucapnya sambil menatapku sekilas.
Lalu setengah ditariknya gadis kecil yang masih berkeras ingin mengajakku.
Mobil melaju mundur dari halaman rumah tua ku. Lalu meluncur setelah menghadap lurus ke jalan.
Aku termangu. Merasakan kesepian yang seketika menyergap.
Hanya sehari putraku pulang bersama keluarganya. Sehari yang bahkan ia habiskan untuk bicara di telepon dengan teman kerjanya.
Aku masih merindukan mereka. Dengan tangan gemetar, kuusap mata tua yang telah basah ini.
Kadang kurindukan itu. Saat dia masih membutuhkanku untuk membantunya. Karena hanya di saat-saat itulah dia mau berbicara padaku.
Setidaknya hanya itu fungsi orangtua di mata sebagian putra. Dan kemudian dianggap sebagai benalu, saat mereka telah merasa dewasa.
***

Shiney
Komunitas Bisa Menulis
Sabtu, 9 April 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar