Selasa, 04 April 2017

CERPEN, MIMPI YANG MENGGILA


Oleh: Euis Nuryanti
Komunitas Bisa Menulis

# MIMPI_YANG_MENGGILA
Part 1
Dikaki Gunung Galunggung dengan panorama yang indah menyejukkan mata, dihiasi pepohonan menjulang tinggi khas dengan anak sungai yang mengalir bak ular melingkar tak bertepi, angin sepoi cenderung dingin menyusup menelisik sesosok tubuh lelaki paruh baya dengan gadis kecil berbaju merah membara.
Sungguh ceria gadis itu berlari-lari kecil di pematang sawah yang hijau terhampar luas mengikuti sang kakek yang sedang memperbaiki saluran air.
"Bapak Aki, tunggu sebentar ya, Nur mau ke pohon jambu itu," tanpa menunggu jawaban gadis kecil itu segera memanjat pohon bergerak gesit mengambil buahnya.
Sang kakek hanya geleng kepala melihat tingkah cucu perempuannya.
"Jangan lama-lama Nur, nanti Emak nyusul ke sini ayo pulang."
Dengan buah jambu yang ditaruh di baju lantas diikatnya dengan menggulung-gulungkan dia turun.
"Bapak Aki, jangan bilang-bilang Emak karena Nur yang manjat pohon ya, nanti marah," dengan menggamit lengan kakeknya dia berlalu menuju rumah di balik bukit itu.
Rumah nan asri hanya berupa rata janela (bangunan rumah setengah memakai bata setengahnya memakai anyaman bambu) dengan halaman yang luas berisi aneka tanaman bunga warna warni tertata apik dan tanaman buah yang beragam mulai pohon belimbing, cempedak, jambu air juga ada menambah kesejukannya.
"Cepat masuk Pak, ini hawu tidak menyala juga padahal barambang sudah habis dua ikat," dengan wajah kelelahan Emak menyembul dari pintu dapur.
Bapak terkekeh dan berucap,"Aduh, Mak jangan terlalu banyak suluhnya tidak ada ruang anginnya ini jadi api tidak akan menyala."
Tidak lama berselang datang bergandengan tangan seorang gadis seumuran Nur dan seorang anak laki-laki, ya mereka sama-sama cucu dari anak-anaknya kakek.
"Kesini Cep-Nung makan bareng, kakek memanggil."
Berlima kami makan dengan lahap bermenu nasi merah ditambah tim peda sambal lalap plus kerupuk, mantap pisan.
"Besok mulai belajar di SD Gunungsari ya, periksa semua kelengkapannya, bajunya di setrika dulu ya," Emak memberi arahan kepada kami bertiga.
Keributan terjadi di pagi hari.
"Hei, yang duluan nyetrika itu aku, kamu nanti karena belum mandi," Nur sewot merampas kembali setrikaan yang diambil Nung.
Bukan hanya pagi ini, setiap hari selalu ada keributan di rumah ini.
Wajar memang karena kami bertiga mempunyai watak yang berbeda yang berasal dari orang tua yang berbeda.
Nur merupakan cucu pertama dari anak kedua kakek, Cepi cucu dari anak pertamanya dan Enung cucu dari anak ketiganya.
Kami berkumpul dan disatukan karena berbagai sebab, Nur diurus kakek karena rasa sayang yang berlebihan sebagai cucu pertamanya, Cepi dibawa kakek karena perceraian dan Enung ditinggalkan sebab percekcokan dengan besan.
Latar belakang ini yang menyebabkan Nur mempunyai watak keras kepala pantang menyerah banyak berimajinasi disertai inovasi dan kreasinya yang tinggi sedikit tomboy berani berantem agak melankolis dengan tubuh yang ringkih karena sering sakit.
"Hey Goni, awas ya galak lagi sama saudaraku, kalau berani lawan aku," Nur petantang petenteng di pintu kelas tiga karena Cepi mulutnya disodok pensil dan Nung tangannya di tusuk pensil juga oleh teman sekelasnya yang bernama Goni itu.
Nur itu memang jagonya kalo masalah berantem, bukan hanya pada cewek anak cowok juga dia lawan asal menurutnya mereka itu bersalah.
Jarang ada anak kelas B yang domisili tempat tinggalnya sebelah barat SD yang melawan kelas A yang bertempat tinggal sebelah barat SD.
Kelas A dianggap angker apalagi kalau dari Kampung Pagaden yang terkenal bengis dan raja tega mau yang cewek atau cowok.
Tapi Nur sangat nekat, dia sering menantang mereka dan rata-rata mereka segan padanya karena sering satu kelompok dalam pertandingan olah raga ataupun karena kepintarannya dalam lomba cerdas cermat.
Aneh memang, tubuh ringkih yang selalu terkena demam dan pilek sepanjang waktu menyimpan kekuatan itu, memang logika mengalahkan tekad yang membaja.
Part 2
Tidak banyak kenangan manis terukir bagi kami bertiga yang walau dengan segenap hati Emak dan Bapak Aki mencoba menyayangi dan memberi kasih sayang yang penuh tetapi masih saja kami ingin belaian kasih sayang orang tua yang sangat dirindukan walau tak kunjung datang.
Mandiri itu kunci mati supaya dapat menjalani hidup ini, kala teman sebaya diantar jemput ke sekolah dan mengambil raport oleh orang tuanya, kami mengambil sendiri.
Setiap malam bila akan tidur tiba lampu teplok itu dimatikan merupakan kesempatan baik untuk menangis mengeluarkan air mata yang telah tertahan sejak siang menyebabkan tenggorokan tersekat takut mengeluarkan suara tangis itu.
Berbaris berlima kami tidur di ruang tengah beralaskan tikar mendong tanpa kasur atau sejenisnya.
.
Subuh pun datang dan aktivitas dimulai kembali dengan mengaji dan membantu Emak menyiapkan masakan.
Enung berbisik,"Nur, besok kata pak guru lomba kasti di Ciponyo melawan SDN 2, kata Zenab bantai aja ya."
Benar saja lawan kami habisi sampai berdarah-darah karena setiap melempar bola selalu diarahkan ke hidung.
Kami juara, semua senang dan Kepala Sekolah memperingatkan bahwa setiap siswa itu sepesial sehingga perlu bimbingan yang efektif dan efisien dari guru dan orang tua.
Lain waktu mengikuti lomba cerdas cermat.
"Maaf Pak, belnya tidak nyala padahal kami lebih dulu mencetnya."
Tidak ada respon sampai soal nomor 5 , menyebabkan Nur menggebrak meja," Hei Pak, ini tidak adil sabotase namanya, kami pulang."
Tanpa ba bi bu lagi kami segera meluncur pintu pulang dan kegaduhanpun terjadi.
Nur hanya bisa tertawa waktu guru pendamping yaitu Pak Omo mengatakan bahwa pertandingan ulang minggu depan.
Sekuat tenaga kami belajar dan membuahkan hasil.
Emak dan Bapak Aki sudah berusaha keras untuk membahagiakan kami, sehingga tertanam keinginan dan cita.
"Emak, Nur mau jadi insinyur ya biar kita banyak uang."

Part 3
Tidak terasa waktu enam tahun di habiskan untuk mengenyam pendidikan dasar telah usai.
Perpisahan merupakan acara yang sangat dinanti, maklum pada waktu itu belum banyak acara hiburan seperti sekarang, televisi hanya ada satu untuk orang sekampung itupun menggunakan aki untuk menghidupkannya maka sangat dinanti acara malam perpisahan itu.
Masih tertanam dalam ingatan semua muda mudi berbondong-bondong berkunjung, acara diisi dengan tarian, nyanyian dan kesenian lain khas sunda seperti calung, jaipong, dan diakhiri dengan pertunjukan wayang golek.
Semenjak Nur kelas lima, ada seorang cowok santri Pondok Pesantren Manarul Irsyad selalu mendekatinya mulai ingin ngobrol sampai sering titip surat kepada Bibi.
Malam itupun Mamat nama cowok itu berusaha mendekatinya, Nur karap kali menghindar dengan menempel terus di belakang Bibi, hatinya bergemuruh dengan detak jantung yang berdegup kencang tidak seperti biasanya pun wajah terasa panas.
Sebelum Mamat mendekatinya Nur sudah bisa mencium aroma parfumnya yang khas ditambah dengan postur tubuhnya yang maaf agak kecil namun tegap berisi memakai jaket hitam dari jauhpun terlihat, dia selalu membuka jaketnya bila sudah berada di dekat kami.
"Nur, itu Mamat kesini," Bibi menyikut pinggangnya.
"Jangan berisik Bi, malulah kita pura-pura tidak melihat."
Sambil basa basi dengan Bibi dia melontarkan pertanyaan kepada Nur,"Neng Nur, kenapa tidak pernah membalas surat Akang, tidak suka ya."
Dijawab apa ya bingung, bilang tidak suka tapi hati ini berbunga bila menerima suratnya apalagi melihat wajahnya yang amboi manisnya lebih tepat ganteng membahana berkulit putih dengan jambang dan berkumis tipis.
Akhirnya Nur bicara juga walau dengan suara agak gemetar,"Dengan siapa Akang kesini?"
"Duh Neng, mendengar suaramu bagai mendengar alunan lagu yang mendayu, tak sanggup kumelupakannya dan akan selalu terdengar indah ditelingaku."
"Ih si Akang mah kumahanya, ditanya apa jawab apa."
"Aduh tong ngambek atuh Neng, tapi kalau perempuan yang suka ngambek itu lebih terlihat cantik dan menantang, Akang suka."
Weleh ni orang paling suka deh melambungkan hati sampai keawan membuat rona pipi semakin memerah dan panas sampai ke kuping, haduh sangat menyiksa tetapi mengasikkan.
Tunggu perasaan sebelah kanan di pojok panggung ada yang memperhatikan deh, dan benar saja sesosok pria jangkung dikelilingi banyak pria lain berkulit putih mengenakan jaket dengan muka ditutup oleh kain sarung melihat kearah tempat Nur berdiri.
"Bi, itu H Udung bukan ya, anak Apa Gunung Bango."
"Iya Nur, haduh gimana ini nanti dia kesini bagaimana bentrok sama ini," sambil menunjuk kesamping tempat Mamat berdiri Bibi berbisik.
Sudah menjadi kebiasaan di daerah ini yang menikahkan anak selepas sekolah dasar karena mereka berfikir buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kodratnya itu ya mengurusi dapur.
Tidak heran bila mempunyai anak gadis atau saudara gadis yang telah duduk dibangku SD kelas enam sudah dicarikan jodohnya ya termasuk Nur ini yang dijodohkan dengan anaknya pemilik pesantren Manarul Irsyad tempat Mamat belajar mengaji atau lebih jelasnya Nur dijodohkan dengan H Udung.
Melihat gelagat tidak baik segera kami pamit pada Mamat untuk pulang lebih awal, dia terlihat kecewa dan menawarkan jasa untuk mengantar yang kami tolak.
Benar saja diperjalanan pulang waktu kami mau belok ke arah rumah H Udung menghadang dengan teman-temannya.
Nur memegang erat tangan Bibinya yang memang usianya tak terlalu jauh terpaut.
"Nur, tadi si Mamat ngapain deketin kamu," dengan dengusan kesal dia bertanya.
"Coba tanya saja sendiri padanya, Nurkan hanya ingin nonton."
"Jangan terlalu dekat, kamu itu milikku."
Dihantarnya kami pulang sampai depan pintu rumah.
"Assalamualaikum, Emak ini Nur pulang."
Pintu rumah terbuka dan Emak sangat senang demi melihat H Udung mengantar kami.
"Masuk dulu Jang Haji, minum dulu di sini."
"Makasih Mak, sudah malam saya pamit."
Segera kami masuk kamar masing-masing.
Dalam kamar sambil merebahkan diri pikiran melayang, Nur harus berbuat sesuatu demi meraih mimpinya yang tidak lumrah di desanya.
Ya dia bertekad untuk pergi dan ikut orang tuanya tinggal di Jakarta dengan alasan mau lebih dekat dengan mereka, ya inilah alasan yang paling cocok dan tepat.
Nur tidak harus melayani H Udung yang anak Kiai itu untuk segera menikah toh hatinya memang sudah ada yang mendiami yaitu Mamat.
H Udung memang ganteng luar biasa dengan postur tubuh tinggi dan wajah seperti orang arab ditambah status sosial yang memang orang kaya belum menikah juga sudah dua kali berangkat haji, benar-benar cowok idaman.
Tetapi Mamat juga tidak bisa lepas dari perhitungan karena dialah orang pertama yang telah menggetarkan hati menyelipkan rasa aneh menyebabkan rindu tak bertepi.
Oke diambilah keputusan Nur akan melanjutkan sekolah di Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar