Oleh: Euis
Nuryanti
Komunitas
Bisa Menulis
# MIMPI_YANG_MENGGILA
Part
1
Dikaki
Gunung Galunggung dengan panorama yang indah menyejukkan mata, dihiasi
pepohonan menjulang tinggi khas dengan anak sungai yang mengalir bak ular
melingkar tak bertepi, angin sepoi cenderung dingin menyusup menelisik sesosok
tubuh lelaki paruh baya dengan gadis kecil berbaju merah membara.
Sungguh
ceria gadis itu berlari-lari kecil di pematang sawah yang hijau terhampar luas
mengikuti sang kakek yang sedang memperbaiki saluran air.
"Bapak
Aki, tunggu sebentar ya, Nur mau ke pohon jambu itu," tanpa menunggu
jawaban gadis kecil itu segera memanjat pohon bergerak gesit mengambil buahnya.
Sang
kakek hanya geleng kepala melihat tingkah cucu perempuannya.
"Jangan
lama-lama Nur, nanti Emak nyusul ke sini ayo pulang."
Dengan
buah jambu yang ditaruh di baju lantas diikatnya dengan menggulung-gulungkan
dia turun.
"Bapak
Aki, jangan bilang-bilang Emak karena Nur yang manjat pohon ya, nanti
marah," dengan menggamit lengan kakeknya dia berlalu menuju rumah di balik
bukit itu.
Rumah
nan asri hanya berupa rata janela (bangunan rumah setengah memakai bata
setengahnya memakai anyaman bambu) dengan halaman yang luas berisi aneka
tanaman bunga warna warni tertata apik dan tanaman buah yang beragam mulai pohon
belimbing, cempedak, jambu air juga ada menambah kesejukannya.
"Cepat
masuk Pak, ini hawu tidak menyala juga padahal barambang sudah habis dua
ikat," dengan wajah kelelahan Emak menyembul dari pintu dapur.
Bapak
terkekeh dan berucap,"Aduh, Mak jangan terlalu banyak suluhnya tidak ada
ruang anginnya ini jadi api tidak akan menyala."
Tidak
lama berselang datang bergandengan tangan seorang gadis seumuran Nur dan
seorang anak laki-laki, ya mereka sama-sama cucu dari anak-anaknya kakek.
"Kesini
Cep-Nung makan bareng, kakek memanggil."
Berlima
kami makan dengan lahap bermenu nasi merah ditambah tim peda sambal lalap plus
kerupuk, mantap pisan.
"Besok
mulai belajar di SD Gunungsari ya, periksa semua kelengkapannya, bajunya di
setrika dulu ya," Emak memberi arahan kepada kami bertiga.
Keributan
terjadi di pagi hari.
"Hei,
yang duluan nyetrika itu aku, kamu nanti karena belum mandi," Nur sewot
merampas kembali setrikaan yang diambil Nung.
Bukan
hanya pagi ini, setiap hari selalu ada keributan di rumah ini.
Wajar
memang karena kami bertiga mempunyai watak yang berbeda yang berasal dari orang
tua yang berbeda.
Nur
merupakan cucu pertama dari anak kedua kakek, Cepi cucu dari anak pertamanya
dan Enung cucu dari anak ketiganya.
Kami
berkumpul dan disatukan karena berbagai sebab, Nur diurus kakek karena rasa
sayang yang berlebihan sebagai cucu pertamanya, Cepi dibawa kakek karena
perceraian dan Enung ditinggalkan sebab percekcokan dengan besan.
Latar
belakang ini yang menyebabkan Nur mempunyai watak keras kepala pantang menyerah
banyak berimajinasi disertai inovasi dan kreasinya yang tinggi sedikit tomboy
berani berantem agak melankolis dengan tubuh yang ringkih karena sering sakit.
"Hey
Goni, awas ya galak lagi sama saudaraku, kalau berani lawan aku," Nur
petantang petenteng di pintu kelas tiga karena Cepi mulutnya disodok pensil dan
Nung tangannya di tusuk pensil juga oleh teman sekelasnya yang bernama Goni
itu.
Nur
itu memang jagonya kalo masalah berantem, bukan hanya pada cewek anak cowok
juga dia lawan asal menurutnya mereka itu bersalah.
Jarang
ada anak kelas B yang domisili tempat tinggalnya sebelah barat SD yang melawan
kelas A yang bertempat tinggal sebelah barat SD.
Kelas
A dianggap angker apalagi kalau dari Kampung Pagaden yang terkenal bengis dan
raja tega mau yang cewek atau cowok.
Tapi
Nur sangat nekat, dia sering menantang mereka dan rata-rata mereka segan
padanya karena sering satu kelompok dalam pertandingan olah raga ataupun karena
kepintarannya dalam lomba cerdas cermat.
Aneh
memang, tubuh ringkih yang selalu terkena demam dan pilek sepanjang waktu
menyimpan kekuatan itu, memang logika mengalahkan tekad yang membaja.
Part
2
Tidak
banyak kenangan manis terukir bagi kami bertiga yang walau dengan segenap hati
Emak dan Bapak Aki mencoba menyayangi dan memberi kasih sayang yang penuh
tetapi masih saja kami ingin belaian kasih sayang orang tua yang sangat
dirindukan walau tak kunjung datang.
Mandiri
itu kunci mati supaya dapat menjalani hidup ini, kala teman sebaya diantar
jemput ke sekolah dan mengambil raport oleh orang tuanya, kami mengambil
sendiri.
Setiap
malam bila akan tidur tiba lampu teplok itu dimatikan merupakan kesempatan baik
untuk menangis mengeluarkan air mata yang telah tertahan sejak siang
menyebabkan tenggorokan tersekat takut mengeluarkan suara tangis itu.
Berbaris
berlima kami tidur di ruang tengah beralaskan tikar mendong tanpa kasur atau
sejenisnya.
.
Subuh
pun datang dan aktivitas dimulai kembali dengan mengaji dan membantu Emak
menyiapkan masakan.
Enung
berbisik,"Nur, besok kata pak guru lomba kasti di Ciponyo melawan SDN 2,
kata Zenab bantai aja ya."
Benar
saja lawan kami habisi sampai berdarah-darah karena setiap melempar bola selalu
diarahkan ke hidung.
Kami
juara, semua senang dan Kepala Sekolah memperingatkan bahwa setiap siswa itu
sepesial sehingga perlu bimbingan yang efektif dan efisien dari guru dan orang
tua.
Lain
waktu mengikuti lomba cerdas cermat.
"Maaf
Pak, belnya tidak nyala padahal kami lebih dulu mencetnya."
Tidak
ada respon sampai soal nomor 5 , menyebabkan Nur menggebrak meja," Hei
Pak, ini tidak adil sabotase namanya, kami pulang."
Tanpa
ba bi bu lagi kami segera meluncur pintu pulang dan kegaduhanpun terjadi.
Nur
hanya bisa tertawa waktu guru pendamping yaitu Pak Omo mengatakan bahwa
pertandingan ulang minggu depan.
Sekuat
tenaga kami belajar dan membuahkan hasil.
Emak
dan Bapak Aki sudah berusaha keras untuk membahagiakan kami, sehingga tertanam
keinginan dan cita.
"Emak,
Nur mau jadi insinyur ya biar kita banyak uang."
Part
3
Tidak
terasa waktu enam tahun di habiskan untuk mengenyam pendidikan dasar telah
usai.
Perpisahan
merupakan acara yang sangat dinanti, maklum pada waktu itu belum banyak acara
hiburan seperti sekarang, televisi hanya ada satu untuk orang sekampung itupun
menggunakan aki untuk menghidupkannya maka sangat dinanti acara malam
perpisahan itu.
Masih
tertanam dalam ingatan semua muda mudi berbondong-bondong berkunjung, acara
diisi dengan tarian, nyanyian dan kesenian lain khas sunda seperti calung,
jaipong, dan diakhiri dengan pertunjukan wayang golek.
Semenjak
Nur kelas lima, ada seorang cowok santri Pondok Pesantren Manarul Irsyad selalu
mendekatinya mulai ingin ngobrol sampai sering titip surat kepada Bibi.
Malam
itupun Mamat nama cowok itu berusaha mendekatinya, Nur karap kali menghindar
dengan menempel terus di belakang Bibi, hatinya bergemuruh dengan detak jantung
yang berdegup kencang tidak seperti biasanya pun wajah terasa panas.
Sebelum
Mamat mendekatinya Nur sudah bisa mencium aroma parfumnya yang khas ditambah
dengan postur tubuhnya yang maaf agak kecil namun tegap berisi memakai jaket
hitam dari jauhpun terlihat, dia selalu membuka jaketnya bila sudah berada di
dekat kami.
"Nur,
itu Mamat kesini," Bibi menyikut pinggangnya.
"Jangan
berisik Bi, malulah kita pura-pura tidak melihat."
Sambil
basa basi dengan Bibi dia melontarkan pertanyaan kepada Nur,"Neng Nur,
kenapa tidak pernah membalas surat Akang, tidak suka ya."
Dijawab
apa ya bingung, bilang tidak suka tapi hati ini berbunga bila menerima suratnya
apalagi melihat wajahnya yang amboi manisnya lebih tepat ganteng membahana
berkulit putih dengan jambang dan berkumis tipis.
Akhirnya
Nur bicara juga walau dengan suara agak gemetar,"Dengan siapa Akang
kesini?"
"Duh
Neng, mendengar suaramu bagai mendengar alunan lagu yang mendayu, tak sanggup
kumelupakannya dan akan selalu terdengar indah ditelingaku."
"Ih
si Akang mah kumahanya, ditanya apa jawab apa."
"Aduh
tong ngambek atuh Neng, tapi kalau perempuan yang suka ngambek itu lebih
terlihat cantik dan menantang, Akang suka."
Weleh
ni orang paling suka deh melambungkan hati sampai keawan membuat rona pipi
semakin memerah dan panas sampai ke kuping, haduh sangat menyiksa tetapi
mengasikkan.
Tunggu
perasaan sebelah kanan di pojok panggung ada yang memperhatikan deh, dan benar
saja sesosok pria jangkung dikelilingi banyak pria lain berkulit putih
mengenakan jaket dengan muka ditutup oleh kain sarung melihat kearah tempat Nur
berdiri.
"Bi,
itu H Udung bukan ya, anak Apa Gunung Bango."
"Iya
Nur, haduh gimana ini nanti dia kesini bagaimana bentrok sama ini," sambil
menunjuk kesamping tempat Mamat berdiri Bibi berbisik.
Sudah
menjadi kebiasaan di daerah ini yang menikahkan anak selepas sekolah dasar
karena mereka berfikir buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi karena
pada akhirnya kodratnya itu ya mengurusi dapur.
Tidak
heran bila mempunyai anak gadis atau saudara gadis yang telah duduk dibangku SD
kelas enam sudah dicarikan jodohnya ya termasuk Nur ini yang dijodohkan dengan
anaknya pemilik pesantren Manarul Irsyad tempat Mamat belajar mengaji atau
lebih jelasnya Nur dijodohkan dengan H Udung.
Melihat
gelagat tidak baik segera kami pamit pada Mamat untuk pulang lebih awal, dia
terlihat kecewa dan menawarkan jasa untuk mengantar yang kami tolak.
Benar
saja diperjalanan pulang waktu kami mau belok ke arah rumah H Udung menghadang
dengan teman-temannya.
Nur
memegang erat tangan Bibinya yang memang usianya tak terlalu jauh terpaut.
"Nur,
tadi si Mamat ngapain deketin kamu," dengan dengusan kesal dia bertanya.
"Coba
tanya saja sendiri padanya, Nurkan hanya ingin nonton."
"Jangan
terlalu dekat, kamu itu milikku."
Dihantarnya
kami pulang sampai depan pintu rumah.
"Assalamualaikum,
Emak ini Nur pulang."
Pintu
rumah terbuka dan Emak sangat senang demi melihat H Udung mengantar kami.
"Masuk
dulu Jang Haji, minum dulu di sini."
"Makasih
Mak, sudah malam saya pamit."
Segera
kami masuk kamar masing-masing.
Dalam
kamar sambil merebahkan diri pikiran melayang, Nur harus berbuat sesuatu demi
meraih mimpinya yang tidak lumrah di desanya.
Ya
dia bertekad untuk pergi dan ikut orang tuanya tinggal di Jakarta dengan alasan
mau lebih dekat dengan mereka, ya inilah alasan yang paling cocok dan tepat.
Nur
tidak harus melayani H Udung yang anak Kiai itu untuk segera menikah toh
hatinya memang sudah ada yang mendiami yaitu Mamat.
H
Udung memang ganteng luar biasa dengan postur tubuh tinggi dan wajah seperti
orang arab ditambah status sosial yang memang orang kaya belum menikah juga
sudah dua kali berangkat haji, benar-benar cowok idaman.
Tetapi
Mamat juga tidak bisa lepas dari perhitungan karena dialah orang pertama yang
telah menggetarkan hati menyelipkan rasa aneh menyebabkan rindu tak bertepi.
Oke
diambilah keputusan Nur akan melanjutkan sekolah di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar