SATU JAM BERSAMANYA
.
"Jadi, model yang kau maksud, yang katamu sedang naik
daun itu, Viona?" Mataku melotot besar menatapnya. Samasekali tak kuduga
sebelumnya, bahwa cewek yang akan jadi obyek pemotretanku ternyata cewek itu.
"Benar sekali Za. Kenapa, kok terkejut gitu?"
jawab Anto sambil tersenyum.
"Kalo begitu, kontrak kita batal!" Aku meremas
foto yang tadi disodorkan Anto.
Anto terbelakak mendengar keputusanku.
"Kamu jangan becanda! Ini proyek besar! Satu jam lagi
kau sudah menjalankan tugasmu."
"Harusnya sejak awal kau bilang padaku. Biar aku tak
buang-buang waktu menunggumu di sini." Habis berkata aku bangkit berdiri,
segera meninggalkan ruangan itu. Namun langkahku terhenti, saat Anto
menghalangi jalanku.
"Sebenarnya ada apa ini? Soal aku gak ngasih tau aku
minta maaf, tapi ... bagaimanapun kau tak bisa memutuskan perjanjian kontrak
dengan sepihak. Perusahaanku akan rugi besar. Udah banyak dana yang
dikeluarkan. Juga gadis itu gak bakalan terima. Dia akan merasa dilecehkan
dengan sikapmu ini."
"Siapapun modelnya aku siap memotret, bahkan dengan
bayaran minim sekalipun, yang penting bukan dia."
Anto teridam dan menatap wajahku. Matanya yang bulat besar
itu menyipit, dan kepalanya digeleng pelan, menyiratkan rasa tak percaya dengan
sikapku.
"Za, apakah kau lupa dengan janji kita di masa kuliah?
Bukankah dirimu yang sering bilang, bahwa kau berharap besar kita meraih
kesuksesan bersama. Dan lebih dari itu kita bisa bekerjasama. Tuhan telah
mengabulkan do'amu, do'a kita. Tapi mengapa kau malah bersikap seperti
ini?" Dengan tangan kanannya Anto memegang bahuku. Aku teringat dengan
janji itu. Janji yang kuucapkan bersamanya. Paska kuliah memang Anto teman
terbaikku. Dia selalu memotivasi agar aku terus maju. Terus semangat mewujudkan
cita-cita, menjadi Fotografer terbaik di Indonesia. Bersama dia kami saling
melengkapi, memotivasi dan segala apapun untuk meraih mimpi.
"Aku mohon, demi persahabatan kita." Anto memeluk
tubuhku. Mengingat dia teman terbaik, aku pun balas memeluknya. Kupejamkan
mata, membayangkan kepahitan masa lalu. "Kau mau 'kan?" tanyanya
sambil melepaskan pelukan. Karena tak ingin lagi mengecewakannya, aku pun
mengangguk perlahan.
"Satu jam lagi, kau harus sudah di tempat."
ujarnya sambil tersenyum, lalu ia pergi meninggalkanku di ruangan tempat aku
menunggu.
Aku kembali duduk di kursi tadi. Pandangan mata kembali
tertuju kepada remasan foto Viona. Remasan kertas itu menggambarkan betapa
hancurnya hatiku saat itu. Kepedihan yang sangat sulit dihilangkan dengan cepat
kembali terulang. Delapan tahun yang lalu gadis itu hendak merusak masa
depanku.
***
"Kau yang bernama Reza?"
Gerakan pemotretanku di taman kampus terhenti, saat
telingaku mendengar seorang gadis menegurku. Suara Lina. batinku. Dan setelah
kulihat memang benar. Aku mengangguk, membenarkan pertanyaannya.
"Ikut." katanya sambil berlalu. Sikapnya sangat
dingin, bahkan terkesan jutek. Ada apa sebenarnya cewek ini? Sikap yang sangat
tak biasa dilakukan, bagi Lina dan kawan-kawan.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Langkahku jadi terpaku,
saat sampai di depan kantin tujuan Lina mengajakku. Pandangan mataku membentur
sosok Viona dan puluhan mahasiswa lainnya. Ribuan pertanyaan keheranan melintas
di benakku, namun aku hanya bisa diam, membisu. Melihat aku berdiri mematung
begitu, Lina menarik kasar diriku.
"Kamu tau, apa tujuan kau kupanggil ke sini?"
Dengan suara garang Viona ajukan pertanyaan saat aku sampai di hadapannya.
Wajahnya yang cantik memperlihatkan kebengisan, dan memandang penuh kebencian
terhadapku. Jelas saja aku tidak tau. Soal aku diajak kesinipun tak tau kalo
dia yang memanggilnya.
Melihat aku hanya diam menatap wajahnya, kedua mata Viona
membulat. Aku menggeleng kepala sebagai jawabannya.
Blukkk! Viona melempar amplot coklat yang sejak tadi
digenggam. Lemparannya yang keras itu telak mengenai wajah. Aku mengerinyit
lantaran sakit. Pandanganku dengan cepat tertuju ke amplop yang terjatuh di
lantai. Mataku membeliak besar saat melihat beberapa foto berceceran dari dalam
amplop itu. Foto Viona, dan itu koleksiku.
"Apa maksud dari semua itu?!" bentak Viona.
Suaranya yang keras bagaikan besi panas menusuk gendang telinga. Aku terdiam
membisu. Lidahku terasa kelu. Aku tak bisa berkata-kata, bahkan suaraku terasa
sirna.
"Jawab!" kembali Viona membentak.
"Aku... a-aku minta maaf."
Crassss!! kopi hitam menghajar mukaku. Wajah dan tubuhku
menjadi kotor dengan seketika. Sambil mengusap wajah aku melenguh dalam hati.
Segitu bencinyakah dia sampai begitu tega memerlakukanku seperti ini?
"Kamu suka sama aku? Kamu cinta sama aku? Ngaca donk!
Kamu itu jelek! Miskin! Tak tau diri banget!"
Semua orang menertawakanku. Hatiku hancur bagai disayat
dengan pisau tajam berkarat. Aku tak menyangka, kalo dia sekejam ini. Sifatnya
sungguh jauh dari dugaanku selama ini. Memang kuakui, aku salah besar telah
menjadikan dia obyek pemotretanku dan tanpa sepengetahuannya. Itu aku lakukan
karena aku mengaguminya. Mengagumi akan kecantikan wajahnya, kepribadiannya dan
bahkan kehalusan tutur sapanya selama ini. Sehingga tidak heran, jika ratusan
lelaki berlomba-lomba mengejar cintanya. Sementara aku sadar diri. Dalam
keterbatasanku aku hanya mengangumi, mencintai dalam diam dan kerahasiaan.
Segala aktivitasnya di kampus secara diam-diam kutangkap dengan kilatan cahaya
kamera. Semua foto-fotonya aku simpan dengan aman di kamarku. Namun, sungguh
aneh jika tau-tau ada di sini.
"Manusia buruk rupa berharap putri raja. Sungguh gila!
Hahaha...." salah seorang siswa mengejek diriku. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Aku hanya diam mendengarkan ejekan, makian dan tawaan mereka.
"Bawa dia ke ruang para dosen!"
Aku terbelalak mendengar perintah Viona. Dipermalukan begini
aku masih bisa terima, tapi jika sampai dihukum, aku taakan memaafkannya. Dua
lelaki menyeret diriku. Aku memohon menghiba, namun mereka tak memperdulikan.
Tanpa perasaan mereka terus memaki dan menertawakanku.
***
Di kamar aku kumpulkan semua foto yang bergambar Viona.
Cewek yang sudah membuat aku malu, perasaan tersiksa dan hati terluka itu kini
menjadi manusia paling kubenci seumur hidup. Di halaman rumah aku bakar semua
foto-fotonya. Api yang bergejolak dengan besarnya itu melahap ratusan foto
Viona.
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Reza? Bukankah dia
gadis cantik pujaan hatimu? Gadis cantik yang kau anggap bidadari, kenapa kau
bakar?"
Aku tersenyum mendengar komentar ibu.
"Tidak papa Bu," jawabku singkat. Dalam hati aku
menyambung kalimatku. "Bidadari itu sudah jadi iblis yang sangat kejam.
Semua rasa suka, cinta, kekaguman berbalik arah menjadi kebencian."
Setelah sekial lama menyaksikan kobaran api yang makin membesar aku masuk ke
dalam. Semua tentangnya akan kukubur dalam-dalam. Bahkan sampai pada tempat
kejadian. Hingga aku putuskan untuk pindah Universitas. Di kampus baru itulah
aku bertemu Anto, orang yang menjadi sahabat terbaikku.
***
Selama satu Jam itu dia merusak perasaanku. Menghancurkan
hatiku. Namun dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Satu jam yang dia
lakukan bertahun-tahun aku menanggung kesakitan. Mengemban kebencian. Sakit
hati yang sudah berkarat itu tak bisa disembuhkan. Dan kali ini dia hadir
kembali dalam hidupku. Dan selama satu jam kedepan dia akan jadi partner
kerjaku. Kalo tidak melihat sahabat baikku, Anto, sampai mati aku tidak sudi
melakukan ini.
Viona membeliak besar saat tau fotografer yang akan
memotretnya adalah diriku. Wajahnya yang cantik terlihat memerah, dan sedetik
kemudian dia menundukan kepala. Mungkin malu kerena teringat dengan masalalu.
Aku yang dulu dihinakan kini jadi orang yang penting untuk kelangsungan
karirnya. Dia menyadari, jika aku tak menjalankan tugasku hari ini, karirnya
akan ambruk. Bahkan kupastikan namanya akan hancur bersama hancurnya
pekerjaanku. Majalah Asia Karya yang sudah mendunia akan membeberkan akar
penyebab keputusanku membatalkan kontrak. Dan menjadikan aku dan dia pribadi
yang buruk di mata dunia. Beruntunglah aku tersadar sebelum itu terjadi.
Keperihan hati aku tahan demi persahabatan dan kerjaan. Dengan berjiwa
profesional akupun bekerja sama dengannya selama SATU JAM kedepan.
End
Oleh: Rianto Adrelas
Komunitas Bisa Menulis
Selasa, 4 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar