Jumat, 07 April 2017

CERPEN, SATU JAM BERSAMANYA

SATU JAM BERSAMANYA
.
"Jadi, model yang kau maksud, yang katamu sedang naik daun itu, Viona?" Mataku melotot besar menatapnya. Samasekali tak kuduga sebelumnya, bahwa cewek yang akan jadi obyek pemotretanku ternyata cewek itu.
"Benar sekali Za. Kenapa, kok terkejut gitu?" jawab Anto sambil tersenyum.
"Kalo begitu, kontrak kita batal!" Aku meremas foto yang tadi disodorkan Anto.
Anto terbelakak mendengar keputusanku.
"Kamu jangan becanda! Ini proyek besar! Satu jam lagi kau sudah menjalankan tugasmu."
"Harusnya sejak awal kau bilang padaku. Biar aku tak buang-buang waktu menunggumu di sini." Habis berkata aku bangkit berdiri, segera meninggalkan ruangan itu. Namun langkahku terhenti, saat Anto menghalangi jalanku.
"Sebenarnya ada apa ini? Soal aku gak ngasih tau aku minta maaf, tapi ... bagaimanapun kau tak bisa memutuskan perjanjian kontrak dengan sepihak. Perusahaanku akan rugi besar. Udah banyak dana yang dikeluarkan. Juga gadis itu gak bakalan terima. Dia akan merasa dilecehkan dengan sikapmu ini."
"Siapapun modelnya aku siap memotret, bahkan dengan bayaran minim sekalipun, yang penting bukan dia."
Anto teridam dan menatap wajahku. Matanya yang bulat besar itu menyipit, dan kepalanya digeleng pelan, menyiratkan rasa tak percaya dengan sikapku.
"Za, apakah kau lupa dengan janji kita di masa kuliah? Bukankah dirimu yang sering bilang, bahwa kau berharap besar kita meraih kesuksesan bersama. Dan lebih dari itu kita bisa bekerjasama. Tuhan telah mengabulkan do'amu, do'a kita. Tapi mengapa kau malah bersikap seperti ini?" Dengan tangan kanannya Anto memegang bahuku. Aku teringat dengan janji itu. Janji yang kuucapkan bersamanya. Paska kuliah memang Anto teman terbaikku. Dia selalu memotivasi agar aku terus maju. Terus semangat mewujudkan cita-cita, menjadi Fotografer terbaik di Indonesia. Bersama dia kami saling melengkapi, memotivasi dan segala apapun untuk meraih mimpi.
"Aku mohon, demi persahabatan kita." Anto memeluk tubuhku. Mengingat dia teman terbaik, aku pun balas memeluknya. Kupejamkan mata, membayangkan kepahitan masa lalu. "Kau mau 'kan?" tanyanya sambil melepaskan pelukan. Karena tak ingin lagi mengecewakannya, aku pun mengangguk perlahan.
"Satu jam lagi, kau harus sudah di tempat." ujarnya sambil tersenyum, lalu ia pergi meninggalkanku di ruangan tempat aku menunggu.
Aku kembali duduk di kursi tadi. Pandangan mata kembali tertuju kepada remasan foto Viona. Remasan kertas itu menggambarkan betapa hancurnya hatiku saat itu. Kepedihan yang sangat sulit dihilangkan dengan cepat kembali terulang. Delapan tahun yang lalu gadis itu hendak merusak masa depanku.
***
"Kau yang bernama Reza?"
Gerakan pemotretanku di taman kampus terhenti, saat telingaku mendengar seorang gadis menegurku. Suara Lina. batinku. Dan setelah kulihat memang benar. Aku mengangguk, membenarkan pertanyaannya.
"Ikut." katanya sambil berlalu. Sikapnya sangat dingin, bahkan terkesan jutek. Ada apa sebenarnya cewek ini? Sikap yang sangat tak biasa dilakukan, bagi Lina dan kawan-kawan.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Langkahku jadi terpaku, saat sampai di depan kantin tujuan Lina mengajakku. Pandangan mataku membentur sosok Viona dan puluhan mahasiswa lainnya. Ribuan pertanyaan keheranan melintas di benakku, namun aku hanya bisa diam, membisu. Melihat aku berdiri mematung begitu, Lina menarik kasar diriku.
"Kamu tau, apa tujuan kau kupanggil ke sini?" Dengan suara garang Viona ajukan pertanyaan saat aku sampai di hadapannya. Wajahnya yang cantik memperlihatkan kebengisan, dan memandang penuh kebencian terhadapku. Jelas saja aku tidak tau. Soal aku diajak kesinipun tak tau kalo dia yang memanggilnya.
Melihat aku hanya diam menatap wajahnya, kedua mata Viona membulat. Aku menggeleng kepala sebagai jawabannya.
Blukkk! Viona melempar amplot coklat yang sejak tadi digenggam. Lemparannya yang keras itu telak mengenai wajah. Aku mengerinyit lantaran sakit. Pandanganku dengan cepat tertuju ke amplop yang terjatuh di lantai. Mataku membeliak besar saat melihat beberapa foto berceceran dari dalam amplop itu. Foto Viona, dan itu koleksiku.
"Apa maksud dari semua itu?!" bentak Viona. Suaranya yang keras bagaikan besi panas menusuk gendang telinga. Aku terdiam membisu. Lidahku terasa kelu. Aku tak bisa berkata-kata, bahkan suaraku terasa sirna.
"Jawab!" kembali Viona membentak.
"Aku... a-aku minta maaf."
Crassss!! kopi hitam menghajar mukaku. Wajah dan tubuhku menjadi kotor dengan seketika. Sambil mengusap wajah aku melenguh dalam hati. Segitu bencinyakah dia sampai begitu tega memerlakukanku seperti ini?
"Kamu suka sama aku? Kamu cinta sama aku? Ngaca donk! Kamu itu jelek! Miskin! Tak tau diri banget!"
Semua orang menertawakanku. Hatiku hancur bagai disayat dengan pisau tajam berkarat. Aku tak menyangka, kalo dia sekejam ini. Sifatnya sungguh jauh dari dugaanku selama ini. Memang kuakui, aku salah besar telah menjadikan dia obyek pemotretanku dan tanpa sepengetahuannya. Itu aku lakukan karena aku mengaguminya. Mengagumi akan kecantikan wajahnya, kepribadiannya dan bahkan kehalusan tutur sapanya selama ini. Sehingga tidak heran, jika ratusan lelaki berlomba-lomba mengejar cintanya. Sementara aku sadar diri. Dalam keterbatasanku aku hanya mengangumi, mencintai dalam diam dan kerahasiaan. Segala aktivitasnya di kampus secara diam-diam kutangkap dengan kilatan cahaya kamera. Semua foto-fotonya aku simpan dengan aman di kamarku. Namun, sungguh aneh jika tau-tau ada di sini.
"Manusia buruk rupa berharap putri raja. Sungguh gila! Hahaha...." salah seorang siswa mengejek diriku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya diam mendengarkan ejekan, makian dan tawaan mereka.
"Bawa dia ke ruang para dosen!"
Aku terbelalak mendengar perintah Viona. Dipermalukan begini aku masih bisa terima, tapi jika sampai dihukum, aku taakan memaafkannya. Dua lelaki menyeret diriku. Aku memohon menghiba, namun mereka tak memperdulikan. Tanpa perasaan mereka terus memaki dan menertawakanku.
***
Di kamar aku kumpulkan semua foto yang bergambar Viona. Cewek yang sudah membuat aku malu, perasaan tersiksa dan hati terluka itu kini menjadi manusia paling kubenci seumur hidup. Di halaman rumah aku bakar semua foto-fotonya. Api yang bergejolak dengan besarnya itu melahap ratusan foto Viona.
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Reza? Bukankah dia gadis cantik pujaan hatimu? Gadis cantik yang kau anggap bidadari, kenapa kau bakar?"
Aku tersenyum mendengar komentar ibu.
"Tidak papa Bu," jawabku singkat. Dalam hati aku menyambung kalimatku. "Bidadari itu sudah jadi iblis yang sangat kejam. Semua rasa suka, cinta, kekaguman berbalik arah menjadi kebencian." Setelah sekial lama menyaksikan kobaran api yang makin membesar aku masuk ke dalam. Semua tentangnya akan kukubur dalam-dalam. Bahkan sampai pada tempat kejadian. Hingga aku putuskan untuk pindah Universitas. Di kampus baru itulah aku bertemu Anto, orang yang menjadi sahabat terbaikku.
***
Selama satu Jam itu dia merusak perasaanku. Menghancurkan hatiku. Namun dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Satu jam yang dia lakukan bertahun-tahun aku menanggung kesakitan. Mengemban kebencian. Sakit hati yang sudah berkarat itu tak bisa disembuhkan. Dan kali ini dia hadir kembali dalam hidupku. Dan selama satu jam kedepan dia akan jadi partner kerjaku. Kalo tidak melihat sahabat baikku, Anto, sampai mati aku tidak sudi melakukan ini.
Viona membeliak besar saat tau fotografer yang akan memotretnya adalah diriku. Wajahnya yang cantik terlihat memerah, dan sedetik kemudian dia menundukan kepala. Mungkin malu kerena teringat dengan masalalu. Aku yang dulu dihinakan kini jadi orang yang penting untuk kelangsungan karirnya. Dia menyadari, jika aku tak menjalankan tugasku hari ini, karirnya akan ambruk. Bahkan kupastikan namanya akan hancur bersama hancurnya pekerjaanku. Majalah Asia Karya yang sudah mendunia akan membeberkan akar penyebab keputusanku membatalkan kontrak. Dan menjadikan aku dan dia pribadi yang buruk di mata dunia. Beruntunglah aku tersadar sebelum itu terjadi. Keperihan hati aku tahan demi persahabatan dan kerjaan. Dengan berjiwa profesional akupun bekerja sama dengannya selama SATU JAM kedepan.
End

Oleh: Rianto Adrelas
Komunitas Bisa Menulis
Selasa, 4 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar