Barang Berharga
Pintu kayu yang sudah keropos di sana-sini itu perlahan
terbuka, dengan suara derit yang panjang.
Bau pengap tanah bercampur barang-barang tua langsung
menyerang hidung.
Wajah wanita setengah baya menatapku dan Galang bergantian,
bingung. Sementara dua anak kecil ikut mengintip dari balik rok wanita itu.
"Maaf, Mas Mas ini siapa ya?" tanyanya dengan
logat kampung yang kental.
"Maaf, Bu. Boleh kami numpang berteduh di sini sampe
ujan berhenti? Motor kami rusak." Galang yang menjawab.
"Oh ya boleh, Mas. Silahkan masuk!"
Wanita itu memberi jalan pada kami berdua untuk masuk.
Dengan ragu aku melangkah masuk mengikuti Galang. Rupanya
Galang sudah terbiasa dengan suasana rumah kampung yang ... sedikit jorok.
Kursi-kursi kayu tua bukan barang dibeli dari toko furnitur
menyambut kami di ruang tamu sempit dan berantakan itu.
Lantainya masih berupa tanah, ada yang becek di beberapa
bagian karena derasnya air hujan menetes masuk dari genting yang bocor.
Di luar hujan semakin deras. Air membias menerobos ke dalam
rumah lewat jendela kayu yang sama buruk keadaannya dengan isi rumah. Membuatku
harus bergeser agar tak terkena cipratan air. Kulihat Galang lebih tenang
dariku. Mungkin karena dia memang sudah tahu betul bagaimana keadaan
orang-orang di kampung asalnya ini. Sementara aku ... ini adalah untuk pertama
kalinya melihat langsung suasana desa.
Aneh. Dan jorok.
Lihatlah dua anak kecil berpakaian kumal itu. Mungkin
satunya berumur sekitar 7 tahun sementara yang satu berumur 4 tahunan. Wajah
dan tubuh mereka terlihat dekil. Yang kecil terus menerus mengelap ingus di
hidungnya.
Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, sambil menghela
nafas.
Untuk mengisi waktu, aku mengeluarkan hape dari saku celana.
Seperti dugaanku, tanpa sinyal. Sementara Galang berbasa-basi dengan wanita
yang terlihat ramah itu.
Aku menghela nafas karena baterai hape langsung merah
setelah dimainkan.
Wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke ruangan
dalam. Beberapa saat kemudian dia kembali keluar, dengan piring di tangannya.
Dia meletakkan piring itu di atas meja kayu di hadapan kami.
Isinya hanya 2 buah makanan berbentuk bulat dengan warna coklat kehitaman.
Mungkin itu kue. Entah karena sedang lapar atau apa, aku merasa ingin
mencicipinya.
Sementara Galang sibuk mengucapkan penolakan agar wanita itu
tidak repot-repot menjamu kami.
"Sudah, tidak apa-apa Nak Galang, setelah perjalanan
jauh kalian pasti lapar. Makan saja!" ucapnya ramah sambil menyodorkan
lebih dekat.
Setelang saling pandang, akhirnya aku dan galang mengambil
kue itu. Sambil Galang mengucapkan trimakasih atas kebaikan wanita itu.
Kugigit. Dan ... ohh ... what the ...
Manis. Terlalu manis hingga terasa seperti gula merah yang
sedang kukunyah. Gula merah dengan tekstur keras karena terlalu banyak tepung
atau apa, aku tak mengerti tentang bahan kue. Yang kutahu kue ini adalah kue
dengan rasa paling buruk yang pernah kucoba.
Aku memilih menggenggamnya saja ditanganku. Bukan hal yang
sopan jika makanan ini aku kembalikan ke dalam piring atau kubuang di depan
mata wanita itu.
Detik kemudian anak kecil berusia 4 tahunan itu mulai
merengek dan akhirnya menangis di pelukan ibunya. Ibunya segera sibuk
menenangkan. Waktu yang tepat untuk membuang makanan aneh itu, pikirku.
Dengan gerakan cepat, aku melempar keluar kue di tanganku.
Sial, kue itu mengenai tiang penyangga di teras rumah. Lalu tergeletak begitu
saja tak jauh dari pintu. Anak yang berumur 7 tahun hanya menatapku. Seperti
berpikir sesuatu. Mungkin karena aku telah membuang kue buatan ibunya.
Sekitar 1 jam kami terjebak di rumah itu, akhirnya hujan
reda juga. Aku dan Galang segera pamit pulang pada wanita itu.
Dengan ramah, dia menyalami kami.
Aku dan Galang segera melesat pergi dengan motor. Tapi
sekitar 100 meter aku menepuk bahu Galang.
"Brenti, Lang! Hape gua ketinggalan di rumah itu!"
ucapku panik.
Galang langsung menghentikan motor.
"Tunggu di sini aja. Gua lari sebentar, daripada motor
lo harus ngelewatin lobang-lobang itu lagi!" aku menunjuk genangan air
hujan berlumpur yang kami lalui tadi.
"Yo'i cepetan! Keburu mahgrib!" sahut Galang tanpa
mematikan mesin motor.
Aku setengah berlari kembali ke arah rumah tadi.
Dan ... langkahku terhenti.
Dari halaman rumahnya, kulihat anak kecil yang menangis tadi
memungut sisa kue yang kulempar.
Kakaknya membantu membersihkan makanan itu. Lalu ....
Mereka memakannya!
Dengan lahap dan terkesan lapar, kue itu segera tertelan
habis.
Ada rasa panas membias di mataku melihat adegan menyedihkan
itu. Kue yang tadi kuanggap sampah tak layak makan, ternyata sangat berharga
bagi mereka.
Rupanya itu sebab kenapa anak kecil itu menangis saat kami
makannya. Karena mereka lapar. Itu kue mereka, tapi sang ibu memberikannya pada
kami karena menghormati tamu yang datang.
Perlahan, aku berjalan mendekat. Dan mengulurkan selembar
uang pada mereka berdua.
"Beli makanan ya," ucapku, sambil mengusap mata
yang telah berair.
Di sini kemudian aku menyadari, betapa yang sama sekali
tidak ada harganya bagi kita, kadang adalah sesuatu yang sangat berharga bagi
orang lain.
Shin Er
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 6 april 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar