Senin, 17 April 2017

CERPEN, Barang Berharga

Barang Berharga

Pintu kayu yang sudah keropos di sana-sini itu perlahan terbuka, dengan suara derit yang panjang.
Bau pengap tanah bercampur barang-barang tua langsung menyerang hidung.
Wajah wanita setengah baya menatapku dan Galang bergantian, bingung. Sementara dua anak kecil ikut mengintip dari balik rok wanita itu.
"Maaf, Mas Mas ini siapa ya?" tanyanya dengan logat kampung yang kental.
"Maaf, Bu. Boleh kami numpang berteduh di sini sampe ujan berhenti? Motor kami rusak." Galang yang menjawab.
"Oh ya boleh, Mas. Silahkan masuk!"
Wanita itu memberi jalan pada kami berdua untuk masuk.
Dengan ragu aku melangkah masuk mengikuti Galang. Rupanya Galang sudah terbiasa dengan suasana rumah kampung yang ... sedikit jorok.
Kursi-kursi kayu tua bukan barang dibeli dari toko furnitur menyambut kami di ruang tamu sempit dan berantakan itu.
Lantainya masih berupa tanah, ada yang becek di beberapa bagian karena derasnya air hujan menetes masuk dari genting yang bocor.
Di luar hujan semakin deras. Air membias menerobos ke dalam rumah lewat jendela kayu yang sama buruk keadaannya dengan isi rumah. Membuatku harus bergeser agar tak terkena cipratan air. Kulihat Galang lebih tenang dariku. Mungkin karena dia memang sudah tahu betul bagaimana keadaan orang-orang di kampung asalnya ini. Sementara aku ... ini adalah untuk pertama kalinya melihat langsung suasana desa.
Aneh. Dan jorok.
Lihatlah dua anak kecil berpakaian kumal itu. Mungkin satunya berumur sekitar 7 tahun sementara yang satu berumur 4 tahunan. Wajah dan tubuh mereka terlihat dekil. Yang kecil terus menerus mengelap ingus di hidungnya.
Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, sambil menghela nafas.
Untuk mengisi waktu, aku mengeluarkan hape dari saku celana. Seperti dugaanku, tanpa sinyal. Sementara Galang berbasa-basi dengan wanita yang terlihat ramah itu.
Aku menghela nafas karena baterai hape langsung merah setelah dimainkan.
Wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke ruangan dalam. Beberapa saat kemudian dia kembali keluar, dengan piring di tangannya.
Dia meletakkan piring itu di atas meja kayu di hadapan kami. Isinya hanya 2 buah makanan berbentuk bulat dengan warna coklat kehitaman. Mungkin itu kue. Entah karena sedang lapar atau apa, aku merasa ingin mencicipinya.
Sementara Galang sibuk mengucapkan penolakan agar wanita itu tidak repot-repot menjamu kami.
"Sudah, tidak apa-apa Nak Galang, setelah perjalanan jauh kalian pasti lapar. Makan saja!" ucapnya ramah sambil menyodorkan lebih dekat.
Setelang saling pandang, akhirnya aku dan galang mengambil kue itu. Sambil Galang mengucapkan trimakasih atas kebaikan wanita itu.
Kugigit. Dan ... ohh ... what the ...
Manis. Terlalu manis hingga terasa seperti gula merah yang sedang kukunyah. Gula merah dengan tekstur keras karena terlalu banyak tepung atau apa, aku tak mengerti tentang bahan kue. Yang kutahu kue ini adalah kue dengan rasa paling buruk yang pernah kucoba.
Aku memilih menggenggamnya saja ditanganku. Bukan hal yang sopan jika makanan ini aku kembalikan ke dalam piring atau kubuang di depan mata wanita itu.
Detik kemudian anak kecil berusia 4 tahunan itu mulai merengek dan akhirnya menangis di pelukan ibunya. Ibunya segera sibuk menenangkan. Waktu yang tepat untuk membuang makanan aneh itu, pikirku.
Dengan gerakan cepat, aku melempar keluar kue di tanganku. Sial, kue itu mengenai tiang penyangga di teras rumah. Lalu tergeletak begitu saja tak jauh dari pintu. Anak yang berumur 7 tahun hanya menatapku. Seperti berpikir sesuatu. Mungkin karena aku telah membuang kue buatan ibunya.
Sekitar 1 jam kami terjebak di rumah itu, akhirnya hujan reda juga. Aku dan Galang segera pamit pulang pada wanita itu.
Dengan ramah, dia menyalami kami.
Aku dan Galang segera melesat pergi dengan motor. Tapi sekitar 100 meter aku menepuk bahu Galang.
"Brenti, Lang! Hape gua ketinggalan di rumah itu!" ucapku panik.
Galang langsung menghentikan motor.
"Tunggu di sini aja. Gua lari sebentar, daripada motor lo harus ngelewatin lobang-lobang itu lagi!" aku menunjuk genangan air hujan berlumpur yang kami lalui tadi.
"Yo'i cepetan! Keburu mahgrib!" sahut Galang tanpa mematikan mesin motor.
Aku setengah berlari kembali ke arah rumah tadi.
Dan ... langkahku terhenti.
Dari halaman rumahnya, kulihat anak kecil yang menangis tadi memungut sisa kue yang kulempar.
Kakaknya membantu membersihkan makanan itu. Lalu ....
Mereka memakannya!
Dengan lahap dan terkesan lapar, kue itu segera tertelan habis.
Ada rasa panas membias di mataku melihat adegan menyedihkan itu. Kue yang tadi kuanggap sampah tak layak makan, ternyata sangat berharga bagi mereka.
Rupanya itu sebab kenapa anak kecil itu menangis saat kami makannya. Karena mereka lapar. Itu kue mereka, tapi sang ibu memberikannya pada kami karena menghormati tamu yang datang.
Perlahan, aku berjalan mendekat. Dan mengulurkan selembar uang pada mereka berdua.
"Beli makanan ya," ucapku, sambil mengusap mata yang telah berair.
Di sini kemudian aku menyadari, betapa yang sama sekali tidak ada harganya bagi kita, kadang adalah sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain.


Shin Er
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 6 april 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar