Berwajah Topeng
Oleh: Hanifah Miftahul Fathi
Komunitas Bisa Menulis
Di pesisir pantai yang sepi, mereka bertemu.
“Aku hamil!” cetus Emily tajam, menuntut pertanggung
jawaban. Tapi Reza malah tertawa sambil bertolak pinggang.
“Apa aku harus tahu? Itu urusanmu kan?”
“Ini anakmu, Za,” sela Emily cepat.
Reza makin terkekeh. “Semenjak kamu menghabiskan uang dua
ratus jutaku untuk pengobatan Ayahmu? Kamu lupa atau pura-pura bego sih, siapa
yang datang untuk menjual tubuhnya waktu itu?”
“Zaaa!” Emily berteriak histeris.
Reza malah mengangkat tangan. “Cukup, Mil! Aku sudah bayar,
soal resiko kamu tanggung sendiri!” katanya tak acuh.
Emily Cuma bisa geleng-geleng kepala dengan bersimbah air
mata. Tak sanggup lagi berkata-kata. Untuk pertama kalinya ia menatap Reza
dengan pandangan yang berbeda, nyalang dan terluka.
***
Hujan gerimis mengiringi pemakamannya siang itu. Letaknya
persis di kaki pohon kamboja. Berduyun-duyun orang datang menyumbang bela
sungkawa, terkadang kembang mayat tujuh rupa sebagai tanda duka. Emily salah
satu dari mereka, yang menabur bunga di atas pusara.
“Aku percaya kamu kuat, Phia. Reza sudah mati, relakan dia,”
kata Emily dingin, tatapannya kosong, jiwanya entah ke mana.
“Malam itu dia pamit kepadaku, katanya ingin menemui
seseorang.”
Ekspresi Emily tiba-tiba berubah. Ia meneguk ludah. Dadanya
mendadak bergemuruh. “Siapa?” tanyanya berpura-pura tenang.
Sophia Cuma menggeleng. “Menurutmu siapa?” ia malah balik
bertanya.
Kontan saja Emily semakin gugup dan buru-buru menggeleng
juga.
“Biar kita cari tahu nanti.” Sophia menghela napas, lantas
kembali menyelinapkan wajah laranya di balik pashmina hitam. Ia jadi tak banyak
bicara, bahkan terkesan menghindari kedip kamera wartawan, mungkin terlalu
berduka. Maka Emily segera meraih kepalanya, membagi bahu padanya, untuk
mengurangi sedikit bebannya. Emily menamakannya sebagai pembayaran dosa.
Seperti yang tertulis pada papan nisan itu, namanya Reza.
Seminggu sebelum hari pernikahannya bersama Sophia tiba, ia mati. Mengenaskan
dengan penuh luka sayat nyaris di seluruh wajah, matanya tercongkel keluar,
mulutnya robek lebar dan yang paling membuat ngeri adalah lubang di bagian
dadanya, seperti bekas korekan oleh sejenis benda tajam.
“Organ hatinya telah hilang.” Begitu petugas kepolisian
bilang. Bukan, ini bukan semacam pencurian organ tubuh manusia untuk kemudian
dijual, jantung, paru-paru atau ginjalnya sekalipun masih utuh. “Kami mengira
pelaku dendam kepada korban. Ini pembunuhan direncanakan.”
Sophia masih kukuh mematung badan kala menyaksikan bagaimana
mayat Reza dievakuasi pagi itu, mirip mayat hidup, depresi akut. Sementara
Emily lebih memilih buru-buru menyingkir
.
***
Ia menggali tanah di halaman belakang rumahnya dengan sekop
kecil. Setelah terbentuk sedikit lubang, kantong kresek hitam yang beraroma
busuk bangkai itu baru kemudian dikuburkan, lantas ditanami setangkai mawar di
atasnya. Gadis itu membuka maskernya, menyeka sedikit keringat, dan
menyeringai.
Rahangnya mengatup keras jika ingat peristiwa malam itu
kembali. Saat diam-diam ia ikuti Reza, saat diam-diam ia pergoki perbincangan
mereka. Sophia mungkin terlalu bodoh hingga terlambat mengetahui pengkhianatan
Emily dan Reza, tapi ia cukup bengis dalam memutuskan cara apa yang kiranya
pantas untuk menebus dosa-dosa mereka, yakni dengan merenggut nyawa. Tunggu
saja, Emily juga akan kebagian jatahnya!
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar