Jumat, 07 April 2017

CERPEN, BERWAJAH TOPENG

Berwajah Topeng
Oleh: Hanifah Miftahul Fathi
Komunitas Bisa Menulis

Di pesisir pantai yang sepi, mereka bertemu.
“Aku hamil!” cetus Emily tajam, menuntut pertanggung jawaban. Tapi Reza malah tertawa sambil bertolak pinggang.
“Apa aku harus tahu? Itu urusanmu kan?”
“Ini anakmu, Za,” sela Emily cepat.
Reza makin terkekeh. “Semenjak kamu menghabiskan uang dua ratus jutaku untuk pengobatan Ayahmu? Kamu lupa atau pura-pura bego sih, siapa yang datang untuk menjual tubuhnya waktu itu?”
“Zaaa!” Emily berteriak histeris.
Reza malah mengangkat tangan. “Cukup, Mil! Aku sudah bayar, soal resiko kamu tanggung sendiri!” katanya tak acuh.
Emily Cuma bisa geleng-geleng kepala dengan bersimbah air mata. Tak sanggup lagi berkata-kata. Untuk pertama kalinya ia menatap Reza dengan pandangan yang berbeda, nyalang dan terluka.
***
Hujan gerimis mengiringi pemakamannya siang itu. Letaknya persis di kaki pohon kamboja. Berduyun-duyun orang datang menyumbang bela sungkawa, terkadang kembang mayat tujuh rupa sebagai tanda duka. Emily salah satu dari mereka, yang menabur bunga di atas pusara.
“Aku percaya kamu kuat, Phia. Reza sudah mati, relakan dia,” kata Emily dingin, tatapannya kosong, jiwanya entah ke mana.
“Malam itu dia pamit kepadaku, katanya ingin menemui seseorang.”
Ekspresi Emily tiba-tiba berubah. Ia meneguk ludah. Dadanya mendadak bergemuruh. “Siapa?” tanyanya berpura-pura tenang.
Sophia Cuma menggeleng. “Menurutmu siapa?” ia malah balik bertanya.
Kontan saja Emily semakin gugup dan buru-buru menggeleng juga.
“Biar kita cari tahu nanti.” Sophia menghela napas, lantas kembali menyelinapkan wajah laranya di balik pashmina hitam. Ia jadi tak banyak bicara, bahkan terkesan menghindari kedip kamera wartawan, mungkin terlalu berduka. Maka Emily segera meraih kepalanya, membagi bahu padanya, untuk mengurangi sedikit bebannya. Emily menamakannya sebagai pembayaran dosa.
Seperti yang tertulis pada papan nisan itu, namanya Reza. Seminggu sebelum hari pernikahannya bersama Sophia tiba, ia mati. Mengenaskan dengan penuh luka sayat nyaris di seluruh wajah, matanya tercongkel keluar, mulutnya robek lebar dan yang paling membuat ngeri adalah lubang di bagian dadanya, seperti bekas korekan oleh sejenis benda tajam.
“Organ hatinya telah hilang.” Begitu petugas kepolisian bilang. Bukan, ini bukan semacam pencurian organ tubuh manusia untuk kemudian dijual, jantung, paru-paru atau ginjalnya sekalipun masih utuh. “Kami mengira pelaku dendam kepada korban. Ini pembunuhan direncanakan.”
Sophia masih kukuh mematung badan kala menyaksikan bagaimana mayat Reza dievakuasi pagi itu, mirip mayat hidup, depresi akut. Sementara Emily lebih memilih buru-buru menyingkir
.
***
Ia menggali tanah di halaman belakang rumahnya dengan sekop kecil. Setelah terbentuk sedikit lubang, kantong kresek hitam yang beraroma busuk bangkai itu baru kemudian dikuburkan, lantas ditanami setangkai mawar di atasnya. Gadis itu membuka maskernya, menyeka sedikit keringat, dan menyeringai.
Rahangnya mengatup keras jika ingat peristiwa malam itu kembali. Saat diam-diam ia ikuti Reza, saat diam-diam ia pergoki perbincangan mereka. Sophia mungkin terlalu bodoh hingga terlambat mengetahui pengkhianatan Emily dan Reza, tapi ia cukup bengis dalam memutuskan cara apa yang kiranya pantas untuk menebus dosa-dosa mereka, yakni dengan merenggut nyawa. Tunggu saja, Emily juga akan kebagian jatahnya!
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar