Kau Lelaki Sahabatku
Mendung masih menyelimuti langit pagi ini. Pun senada dengan
hatiku yang kelam tanpa dhian. Mencoba melupakan kejadian kemarin malam,
sungguh membuatku hatiku begitu sesak.
-
Jika esok datang lagi ...
Inginku tak pernah ada lagi rasa sesak ini
Bukan karna ingin membunuhnya
Atau tak inginkan kehadirannya
Tapi sungguh!
Seperti sembilu tertanam dalam
Pada hati yang tengah penuh duri
Kau pun tau rasanya ...
-
"Ra, ayo makan di kantin yuk, aku yang traktir dah
...." Ajak Almira ketika jam istirahat.
"Ada acara apa, Al? bukannya ultahmu bulan
kemarin?" tanyaku heran.
"Hari ini, genap enam bulan aku jadian sama Ranu. Ya
... belum setahun sih, tapi aku pengen ngerayain aja. Biar jadi alasan untuk
ngasih kado ini buatnya." Jelasnya dengan senyum mengembang di bibir,
sambil menunjukan bingkisan kotak, berukuran sedang.
Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Bersamaan menahan
rasa sesak di dada. Begitu besar cintanya kepadamu. Bahkan aku tak sanggup
membayangkan, jikalau ia tau apa yang terjadi di antara kita.
Benar adanya ... aku pun mencintaimu. Bahkan sejak lama,
sebelum kau mengenal Almira. Tapi ... betapapun aku mencintaimu, tetap tak
dapat kuubah, bahwa kau ... lelaki sahabatku.
-
Almira menggandeng tanganku menuju kantin. Kulihat kau
tengah menunggu dengan segelas jus alpukat di meja. Kaumainkan sendok jus itu,
putaran demi putaran. Sama seperti kaumengaduk-aduk hati dan logikaku, hingga
tak dapat aku memilah antara keduanya, kini.
Almira menghampirimu, lalu lekat bak perangko dengan
amplopnya. Senyum kecil serta candaan kalian begitu membuatku enggan duduk di
bangku ini, tepat di hadapanmu. Sesekali kaubelai rambut lurus Almira, lalu
melirik ke arahku.
Aku tau, kau sengaja melakukannya. Ya, aku memang terbakar
api cemburu. Tapi aku bisa apa?!
Lalu Almira memberikan bingkisan yang telah ia siapkan.
Sebuah jam tangan stainless ia lingkarkan di pergelangan tanganmu. Sedikit
melirik, namun aku pura-pura tak memperhatikan apapun yang kalian lakukan.
Seperti layaknya obat nyamuk bakar, yang ujungnya kian mengabu. Menunggu apa
yang tak penting bagiku, terasa begitu bodoh! tapi aku tetap melakukannya.
Gila!
"Yank, kemarin malem chattku kok nggak dibales?"
tanya Almira di tengah candaan kalian.
Mata ini mengerjap, mendengar pertanyaan Almira. Kupasang
telinga lebar-lebar bermaksud mendengarkankan percakapan kalian. Menguping? Ah
... entahlah!
"Kemarin ponselku mati, mungkin karna kehujanan di
jalan." Jawabmu dengan raut wajah sepucat kapas.
"Kok kehujanan? Bukankah Ayank langsung pulang, setelah
mengantarku ke rumah?" tanya Almira dengan nada curiga.
"Eemm ... aku mampir ke bengkel, akhir-akhir ini
motorku sedikit rewel." Jawabmu seraya memijat-mijat hidung pinokiomu,
untuk mengurangi kegugupan, ketika kauberkata bohong.
"Owh, kirain Ayank kenapa-napa, entah mengapa kemarin
hatiku nggak tenang. Selalu kepikiran Ayank." Kata Almira sambil
tersenyum, mempercayai kata-kata dusta yang kauucapkan.
Seharusnya kau pun tau, sesuatu yang diawali dengan
kebohongan ... maka akan menciptakan kebohongan lainnya. Hingga akhirnya
kauterperangkap dalam jaring dusta yang kauciptakan sendiri.
********
Seperti biasa, sepulang kerja aku selalu menunggu bus di
halte usang itu. Kali ini aku tak sendirian ada Yogi dan Ina yang kebetulan tak
membawa motor ke tempat kerja. Pasangan muda itu begitu mesra dengan lengan
Ina, erat melingkar pada lengan Yogi, pemuda tampan berkulit sawo matang itu.
Melihat mereka, terbayang dalam benakku ... sosok yang teramat kucinta, kau!
Beribu angan bergelayut dalam pikiranku. Lamunan yang entah
kapan berhenti di ujung kenyataan. Ataukah hanya akan menjadi mimpi siang
bolong, kosong ....
"Ra ... hey Ayra ... bengong ihh?! Kesambet setan halte
ini, baru tau rasa!" katamu sambil menggoyangkan telapak tanganmu di depan
mataku. Membuyarkan lamunanku.
"Kenapa di sini? Nggak anter Almira pulang?"
balasku heran.
"Kita harus bicara!" pintamu. Sedang tak kusadari
dua pasang mata menatap curiga, mendengar percakapan kita. Yogi dan Ina, entah
apa yang mereka pikir tentang kita.
Bus mendekat ke arah di mana kita berdiri. Tanpa membalas
perkataanmu, aku bergegas menaikinya, di ikuti langkah Yogi dan Ina. Sekali
lagi, mencoba tak peduli padamu. Tapi tetap saja tak mampu kulakukan.
Kuperhatikan dari dalam bus. Kau mengejarku dengan motor. Sampai di suatu
tikungan, kauhilang di antara puluhan pengendara lain.
Sampai di tempat yang sama. Di gubuk kecil itu, kudapati kau
menungguku. Sungguh keras kepala!
Aku turun dari bus, berpura tak melihatmu. Kupercepat
langkahku, melaluimu.
"Ayra ... please, beri kesempatan aku untuk
bicara!" pintamu seraya mengejarku, meninggalkan motor yang terparkir di
gubuk.
"Aku nggak bisa, jangan mengejarku! atau aku akan
teriak! Biar orang-orang kira kau jambret! Mau?"
"Baiklah ...." Katamu, menghentikan langkah, dan
kembali ke arah gubuk.
Maaf! ini harus kulakukan padamu. Memang menyakitkan, ketika
aku harus memilih antara kau atau Almira. Antara cinta atau persahabatan.
Seperti manakala kaubimbang, akankah kau lebih memihak hati,
dibandingkan logikamu?
Milisty Ara
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 20 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar