Jalan Pulang
Dulu aku sengaja meluncur di dalam gulungan ombak setinggi
tujuh atau delapan meter. Sekalian diam-diam berkata, telan aku, telan ambil
saja agar semua berakhir. Namun kehidupanku ternyata masih lama. Tuhan memberi
kesempatan untuk mencari sesuatu yang belum kupahami.
Hingga suatu hari, aku singgah di sebuah Masjid. Pemangkunya
dalam bahasa Jawanya sudah sepuh. Kulihat beliau menyapu daun-daun di halaman
susah payah. Hingga aku merasa tersentuh.
"Boleh saya membantu, Pak Kyai?" tanyaku.
"Siapa namamu, Nak? Dan kenapa kamu mau
melakukannya?"
Malu mengatakan diriku siapa. Aku seorang putra pelacur,
keponakan, sepupu dari gembong narkoba, perampok bahkan pembunuh. Kata-kata
menghibur manapun tidak pernah cocok untuk menggambarkan identitasku yang
sebenarnya.
"Saya bukan orang baik, Pak Kyai. Nama saya
Iqbal."
"Tapi saya merasa kamu sedang berjuang menjadi orang
baik."
Berjuang? Benarkah? Kapan? Manusia egois macam diriku tidak
pantas disebut baik. Saat kehilangan adik kembarku dalam sebuah kecelakaan
tragis bersama istrinya, dia meninggalkan seorang bayi laki-laki. Orang tuanya
sempat memberi nama, Fadil. Aku membawa bayiku bekerja di sebuah cafe yang
dimiliki oleh wanita baik hati bernama Tantri. Dia terlihat sangat kasihan
padaku sampai-sampai membantuku merawatnya. Demi masa depan Fadil, aku
melupakan mimpi-mimpiku untuk menikahi Almira. Yeah, Almira yang membeciku,
bahkan ingin menembak lututku jika dia sempat melakukannya.
Ada hal yang luput dari ingatanku. Seperti halnya kalau
sebenarnya aku masih dalam pelarian. Keluaraga gelapku tetap mengikat, mereka
seperti ancaman besar yang menyeret kami kepusaran kegelapan. Aku tidak ingin
Tantri maupun Fadil, tenggelam oleh arus. Mereka harus baik-baik saja. Fadil yang
kuanggap sebagai putraku sendiri harus jadi manusia baik kelak. Tapi dengan
begitu, aku ternyata sudah menyakiti Tantri. Lebih buruknya lagi, ketika aku
bercerai dengannya, ternyata dia sedang hamil.
"Sabar, sabar, sabar! Bahkan tumbuh-tumbuhanpun bertasbih
kepada Allah. Lakukanlah juga, supaya hatimu tenang," ucap Pak Kyai sambil
menepuk punggungku.
Sayang sekali. Dua hari kemudian saat aku kembali ke Masjid
Al-Iklas. Aku malah bertemu dengan pemakaman Pak Kyai. Semenjak saat itu, aku
menyempatkan diri untuk membantu membersihkan Masjid. Setiap lembar daun yang
kupungut sambil mengingat nama-Nya, seperti pesan Pak Kyai Abdullah, membuatku
damai.
***
Saat gigil pagi membekukan rinduku pada Almira, hingga
ruas-ruas tulangku turut membatu bersamanya. Ada pesan masuk dari nomer tak
dikenal.
Dia berkata.
"Sungguh, aku benci meminta ini. Tapi tolong kembalilah
ke Malang. Almira koma, dia tertembak orang tak dikenal. Berat mengatakan,
bidadari kami sempat menyebut namamu dalam tidurnya yang tiada berkesudahan.
Datanglah, supaya aku bisa memukulmu (sekeras-kerasnya, jika ini ada
hubungannya denganmu atau keluargamu), tertulis dengan penuh kekesalan, Fathir
Abdul Fattah."
Almira tertembak? Tidak. Dia tidak seceroboh itu. Fattah
tidak tahu, kalau bidadarinya tidak semanis itu. Almira penuh pesona dengan
iklan smart phonenya, yang menguras air mata pembaca dengan novel-novel
romannya, adalah seorang penembak jitu, penjinak bom, jago taekwondo. Dia
pernah meretas seluruh komputer yang ada di kediaman pamanku. Lebih mengejutkan
lagi, dia diduga jadi otak di balik berubahnya ladang ganja paman, menjadi
lebih mirip ladang ranjau. Ada pembakaran dan ledakan hingga salah satu pabrik
hancur lebur (tanpa korban jiwa, begitulah yang membedakan pahlawan dan
penjahat. Seorang pahlawan tak pernah membunuh tanpa alasan jelas).
Dari sanalah muncul kecurigaan dalam benakku, kalau Almira
jugalah tersangka di balik meledaknya hatiku. Tentu karena jatuh cinta padanya.
"Rumah sakit Saiful Anwar, Mas?" tanya sopir taxi
membuatku terhenyak. Ternyata sebegitu lamanya aku berjalan, sepanjang itulah
aku mengenang sosok Almira.
"Tidak jadi. Lanjut ke jalan Ijen saja, Pak." Dini
memberi kabar kalau Al dipindahkan ke rumah.
Jantungku berdebar hebat. Bertemu dengan keluarga Almira
(termasuk Tantri) tidaklah mudah. Mungkin inilah yang disebut hukuman.
Ting tong.
Aku memencet bel dengan tangan gemetar. Lantas orang yang
membukakan pintu, membuatku hampir pingsan.
"Assallamuallaikum."
"Waallaikum salam, Iqbal. Silakan masuk."
Tantri membuatku sekujur tubuhku mati rasa. Karena direndam
rasa berdosa. Aku mengikutinya menaiki anak tangga, jalan di lorong-lorong
sebelum ada tangga kembali.
"Kalau aku jadi kamu, Bal. Aku akan tarik nafas,
sebelum mati kehabisan oksigen. Lalu tak sempat bertemu dengan kekasihmu,"
sindir Tantri.
Tantri masih seperti dulu. Dia lebih mirip sahabat karib
dalam suka duka. Entahlah, aku tak tahu tentang alasan mengapa dulu dia
menerima pernikahan kami. Kami lebih sering menghabiskan waktu sepanjang malam
membicarakan bisnis sambil bermain catur.
"Tantri. Maafkan aku. Maaf maaf maaf."
"Santailah sedikit. Kupikir jika situasinya tidak
begitu, aku tidak akan bertemu dengan Mas Fattah. Dia hal terbaik yang pernah
ada di hidupku. Terima kasih."
"Jadi?"
"Aku sudah memaafkanmu. Ijinlah pada Mas Fattah jika
ingin bertemu putrimu. Kita sudah sampai. Almira ada di sini," ucap Tantri
sambil membuka pintu.
Tantri melepaskanku melangkah gontai bersama seluruh
keberanianku. Seperti seorang ibu yang mengantarkan anaknya mengikuti ujian
akhir. Dia membiarkanku memasuki ruangan yang secara pelan mendidikku tentang
konsep tidak diinginkan. Si bungsu Raihan dengan ekspresi dinginnya, lalu
Fattah yang terlihat sangat tegas dan keras.
Sejenak, aku mengabaikan itu kemudian menatap Almira.
Wanitaku yang manis sedang terjebak di antara serangkaian alat medis. Matanya
yang enggan terbuka, membuat hatiku serasa diaduk-aduk kecemasan.
"Aku ingin bicara denganmu, sebentar," ucap Fattah
tanpa menatapku sedikitpun, "Maksud ku di luar," tambahnya,
mengoreksi.
Fattah memang akan menghajarku. Meletakkanku di meja
operasi, merobek kulitku tanpa membiusnya kemudian mengeluarkan jantungku
pelan-pelan. Aku sama sekali tak bisa berkosentrasi antara kecemasanku pada
Almira sekaligus kemarahan keluarganya.
"Sepertinya. Kamu tahu lebih banyak tentang adikku
dibanding aku, kakaknya," ucap Fattah dingin. Menahan emosi.
"Adikmu sendiri yang memutuskan melibatkan diri dalam
bahaya, jauh hari sebelum bertemu denganku."
"Apa maksudmu?"
Mungkin aku tidak berhak menjelaskannya. Tapi jika itu untuk
kebaikan Almira, apa salahnya. Jadi kubeberkan seluruhnya pada Fattah. Dokter
spesialis kandungan itupun terlihat pucat pasi, begitu tahu segalanya.
Rahangnya mengeras dan nampak shock berat. Adik perempuannya yang lembut dan
kalem menyimpan banyak rahasia di balik permukaan.
"Apa pelakunya sudah ditemukan? Pamanku sepertinya
tidak terlibat. Kini dia jadi terpidana hukuman mati."
"Sudah. Hmmmmmmm ... Papanya Fadil, terima kasih karena
sudi menjelaskannya. Sekarang kamu boleh bicara dengannya."
"Terima kasih, Ayahnya Fadil. Terima kasih."
"Dia kuberi nama Lian, Brilliant. Putri kita,"
ucap Fattah sambil memukul perutku sangat pelan. Aku tahu Fattah sudah
memaafkanku.
***
"Almira, ini Iqbal. Lelaki yang berkata padamu, kalau
hidupnya penuh dengan dosa-dosa. Dan hal terdramatis yang pernah dia lakukan
hanyalah mencintaimu. Namun ada tiga hal baru yang akhir-akhir ini dia
renungkan, di antara jeda hening saat merindukanmu. Tentang kelahiran,
kehidupan dan kematian. Ternyata, dia kemudian yakin, hanya Tuhan pemilik
kehidupan, yang tahu. Jadi apa salahnya untuk bicara pada-Nya, Almira. Meski
dalam diammu, seperti saat di sepertiga malam yang khusyuk pada detik kamu
mengagungkan nama-Nya. Tanyakan ke mana kamu sebenarnya akan pergi, pastikan di
mana jalan yang benar untuk pulang. Almira, kamu tahu maksudku kan? Aku yakin
kamu mendengarkannya."
Aku terdiam begitu tangis Dini dan Tantri pecah. Suami-suami
mereka membawa mereka keluar. Hanya Tante Susanti yang tinggal, sambil
menatapku dengan pandangan kosong. Suasana jauh lebih dingin dan hening,
ketimbang pagi di bulan Desember yang basah.
***
Semerbak bunga menyeruak ke seluruh ruangan. Sendi-sendiku
serasa kembali berfungsi setelah melewati suasana mengharukan tadi pagi. Kukira
aku tak mampu melewatinya. Tapi binar mata bidadari kecilku yang mulai tumbuh
dewasa, mengobati ketegangannku. Dan pelukan hangat Fadil memberi semangat luar
biasa seperti biasa.
"Apa semua mempelai wanita, segugup diriku, saat harus
melewati pernikahan?" tanya seseorang tiba-tiba. Dia melingkarkan
tangannya di lenganku. Dan kami terlihat cocok saat berbagi cermin.
"Itu bukan soal dirimu saja, Al." Akupun sama,
batinku.
"Al? Almira? Tidak adakah kata panggilan mesra untukku.
My lovely wife? Honey bunny swetty unyu-unyu, My Queen. Atau ..... Sayang. Atau
yang lebih syar'i. Abi dan Umi? Iya kan? Kupikir orang rumah akan menjauh
bermil-mil dari kita setelah kita menikah. Maksudku tidak betah dengan
kemesraan kita."
Apapun itu, Almira. Dengan iklas kuserahkan diriku untuk
disiksa seumur hidup olehmu. Sebagai bentuk rasa syukurku, karena kamu sudah
menemukan jalan pulang, hingga bisa menghadiri pernikahan kita.
"Apa kamu bisa berhenti bicara, Sayang?"
"Ya?"
"Bagus. Karena sekarang aku ingin memelukmu."
-End-
Rini Dwi
Komunitas Bisa Menulis
Trenggalek, 5 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar