Senin, 17 April 2017

CERPEN, Jalan Pulang

Jalan Pulang

Dulu aku sengaja meluncur di dalam gulungan ombak setinggi tujuh atau delapan meter. Sekalian diam-diam berkata, telan aku, telan ambil saja agar semua berakhir. Namun kehidupanku ternyata masih lama. Tuhan memberi kesempatan untuk mencari sesuatu yang belum kupahami.
Hingga suatu hari, aku singgah di sebuah Masjid. Pemangkunya dalam bahasa Jawanya sudah sepuh. Kulihat beliau menyapu daun-daun di halaman susah payah. Hingga aku merasa tersentuh.
"Boleh saya membantu, Pak Kyai?" tanyaku.
"Siapa namamu, Nak? Dan kenapa kamu mau melakukannya?"
Malu mengatakan diriku siapa. Aku seorang putra pelacur, keponakan, sepupu dari gembong narkoba, perampok bahkan pembunuh. Kata-kata menghibur manapun tidak pernah cocok untuk menggambarkan identitasku yang sebenarnya.
"Saya bukan orang baik, Pak Kyai. Nama saya Iqbal."
"Tapi saya merasa kamu sedang berjuang menjadi orang baik."
Berjuang? Benarkah? Kapan? Manusia egois macam diriku tidak pantas disebut baik. Saat kehilangan adik kembarku dalam sebuah kecelakaan tragis bersama istrinya, dia meninggalkan seorang bayi laki-laki. Orang tuanya sempat memberi nama, Fadil. Aku membawa bayiku bekerja di sebuah cafe yang dimiliki oleh wanita baik hati bernama Tantri. Dia terlihat sangat kasihan padaku sampai-sampai membantuku merawatnya. Demi masa depan Fadil, aku melupakan mimpi-mimpiku untuk menikahi Almira. Yeah, Almira yang membeciku, bahkan ingin menembak lututku jika dia sempat melakukannya.
Ada hal yang luput dari ingatanku. Seperti halnya kalau sebenarnya aku masih dalam pelarian. Keluaraga gelapku tetap mengikat, mereka seperti ancaman besar yang menyeret kami kepusaran kegelapan. Aku tidak ingin Tantri maupun Fadil, tenggelam oleh arus. Mereka harus baik-baik saja. Fadil yang kuanggap sebagai putraku sendiri harus jadi manusia baik kelak. Tapi dengan begitu, aku ternyata sudah menyakiti Tantri. Lebih buruknya lagi, ketika aku bercerai dengannya, ternyata dia sedang hamil.
"Sabar, sabar, sabar! Bahkan tumbuh-tumbuhanpun bertasbih kepada Allah. Lakukanlah juga, supaya hatimu tenang," ucap Pak Kyai sambil menepuk punggungku.
Sayang sekali. Dua hari kemudian saat aku kembali ke Masjid Al-Iklas. Aku malah bertemu dengan pemakaman Pak Kyai. Semenjak saat itu, aku menyempatkan diri untuk membantu membersihkan Masjid. Setiap lembar daun yang kupungut sambil mengingat nama-Nya, seperti pesan Pak Kyai Abdullah, membuatku damai.
***
Saat gigil pagi membekukan rinduku pada Almira, hingga ruas-ruas tulangku turut membatu bersamanya. Ada pesan masuk dari nomer tak dikenal.
Dia berkata.
"Sungguh, aku benci meminta ini. Tapi tolong kembalilah ke Malang. Almira koma, dia tertembak orang tak dikenal. Berat mengatakan, bidadari kami sempat menyebut namamu dalam tidurnya yang tiada berkesudahan. Datanglah, supaya aku bisa memukulmu (sekeras-kerasnya, jika ini ada hubungannya denganmu atau keluargamu), tertulis dengan penuh kekesalan, Fathir Abdul Fattah."
Almira tertembak? Tidak. Dia tidak seceroboh itu. Fattah tidak tahu, kalau bidadarinya tidak semanis itu. Almira penuh pesona dengan iklan smart phonenya, yang menguras air mata pembaca dengan novel-novel romannya, adalah seorang penembak jitu, penjinak bom, jago taekwondo. Dia pernah meretas seluruh komputer yang ada di kediaman pamanku. Lebih mengejutkan lagi, dia diduga jadi otak di balik berubahnya ladang ganja paman, menjadi lebih mirip ladang ranjau. Ada pembakaran dan ledakan hingga salah satu pabrik hancur lebur (tanpa korban jiwa, begitulah yang membedakan pahlawan dan penjahat. Seorang pahlawan tak pernah membunuh tanpa alasan jelas).
Dari sanalah muncul kecurigaan dalam benakku, kalau Almira jugalah tersangka di balik meledaknya hatiku. Tentu karena jatuh cinta padanya.
"Rumah sakit Saiful Anwar, Mas?" tanya sopir taxi membuatku terhenyak. Ternyata sebegitu lamanya aku berjalan, sepanjang itulah aku mengenang sosok Almira.
"Tidak jadi. Lanjut ke jalan Ijen saja, Pak." Dini memberi kabar kalau Al dipindahkan ke rumah.
Jantungku berdebar hebat. Bertemu dengan keluarga Almira (termasuk Tantri) tidaklah mudah. Mungkin inilah yang disebut hukuman.
Ting tong.
Aku memencet bel dengan tangan gemetar. Lantas orang yang membukakan pintu, membuatku hampir pingsan.
"Assallamuallaikum."
"Waallaikum salam, Iqbal. Silakan masuk."
Tantri membuatku sekujur tubuhku mati rasa. Karena direndam rasa berdosa. Aku mengikutinya menaiki anak tangga, jalan di lorong-lorong sebelum ada tangga kembali.
"Kalau aku jadi kamu, Bal. Aku akan tarik nafas, sebelum mati kehabisan oksigen. Lalu tak sempat bertemu dengan kekasihmu," sindir Tantri.
Tantri masih seperti dulu. Dia lebih mirip sahabat karib dalam suka duka. Entahlah, aku tak tahu tentang alasan mengapa dulu dia menerima pernikahan kami. Kami lebih sering menghabiskan waktu sepanjang malam membicarakan bisnis sambil bermain catur.
"Tantri. Maafkan aku. Maaf maaf maaf."
"Santailah sedikit. Kupikir jika situasinya tidak begitu, aku tidak akan bertemu dengan Mas Fattah. Dia hal terbaik yang pernah ada di hidupku. Terima kasih."
"Jadi?"
"Aku sudah memaafkanmu. Ijinlah pada Mas Fattah jika ingin bertemu putrimu. Kita sudah sampai. Almira ada di sini," ucap Tantri sambil membuka pintu.
Tantri melepaskanku melangkah gontai bersama seluruh keberanianku. Seperti seorang ibu yang mengantarkan anaknya mengikuti ujian akhir. Dia membiarkanku memasuki ruangan yang secara pelan mendidikku tentang konsep tidak diinginkan. Si bungsu Raihan dengan ekspresi dinginnya, lalu Fattah yang terlihat sangat tegas dan keras.
Sejenak, aku mengabaikan itu kemudian menatap Almira. Wanitaku yang manis sedang terjebak di antara serangkaian alat medis. Matanya yang enggan terbuka, membuat hatiku serasa diaduk-aduk kecemasan.
"Aku ingin bicara denganmu, sebentar," ucap Fattah tanpa menatapku sedikitpun, "Maksud ku di luar," tambahnya, mengoreksi.
Fattah memang akan menghajarku. Meletakkanku di meja operasi, merobek kulitku tanpa membiusnya kemudian mengeluarkan jantungku pelan-pelan. Aku sama sekali tak bisa berkosentrasi antara kecemasanku pada Almira sekaligus kemarahan keluarganya.
"Sepertinya. Kamu tahu lebih banyak tentang adikku dibanding aku, kakaknya," ucap Fattah dingin. Menahan emosi.
"Adikmu sendiri yang memutuskan melibatkan diri dalam bahaya, jauh hari sebelum bertemu denganku."
"Apa maksudmu?"
Mungkin aku tidak berhak menjelaskannya. Tapi jika itu untuk kebaikan Almira, apa salahnya. Jadi kubeberkan seluruhnya pada Fattah. Dokter spesialis kandungan itupun terlihat pucat pasi, begitu tahu segalanya. Rahangnya mengeras dan nampak shock berat. Adik perempuannya yang lembut dan kalem menyimpan banyak rahasia di balik permukaan.
"Apa pelakunya sudah ditemukan? Pamanku sepertinya tidak terlibat. Kini dia jadi terpidana hukuman mati."
"Sudah. Hmmmmmmm ... Papanya Fadil, terima kasih karena sudi menjelaskannya. Sekarang kamu boleh bicara dengannya."
"Terima kasih, Ayahnya Fadil. Terima kasih."
"Dia kuberi nama Lian, Brilliant. Putri kita," ucap Fattah sambil memukul perutku sangat pelan. Aku tahu Fattah sudah memaafkanku.
***
"Almira, ini Iqbal. Lelaki yang berkata padamu, kalau hidupnya penuh dengan dosa-dosa. Dan hal terdramatis yang pernah dia lakukan hanyalah mencintaimu. Namun ada tiga hal baru yang akhir-akhir ini dia renungkan, di antara jeda hening saat merindukanmu. Tentang kelahiran, kehidupan dan kematian. Ternyata, dia kemudian yakin, hanya Tuhan pemilik kehidupan, yang tahu. Jadi apa salahnya untuk bicara pada-Nya, Almira. Meski dalam diammu, seperti saat di sepertiga malam yang khusyuk pada detik kamu mengagungkan nama-Nya. Tanyakan ke mana kamu sebenarnya akan pergi, pastikan di mana jalan yang benar untuk pulang. Almira, kamu tahu maksudku kan? Aku yakin kamu mendengarkannya."
Aku terdiam begitu tangis Dini dan Tantri pecah. Suami-suami mereka membawa mereka keluar. Hanya Tante Susanti yang tinggal, sambil menatapku dengan pandangan kosong. Suasana jauh lebih dingin dan hening, ketimbang pagi di bulan Desember yang basah.
***
Semerbak bunga menyeruak ke seluruh ruangan. Sendi-sendiku serasa kembali berfungsi setelah melewati suasana mengharukan tadi pagi. Kukira aku tak mampu melewatinya. Tapi binar mata bidadari kecilku yang mulai tumbuh dewasa, mengobati ketegangannku. Dan pelukan hangat Fadil memberi semangat luar biasa seperti biasa.
"Apa semua mempelai wanita, segugup diriku, saat harus melewati pernikahan?" tanya seseorang tiba-tiba. Dia melingkarkan tangannya di lenganku. Dan kami terlihat cocok saat berbagi cermin.
"Itu bukan soal dirimu saja, Al." Akupun sama, batinku.
"Al? Almira? Tidak adakah kata panggilan mesra untukku. My lovely wife? Honey bunny swetty unyu-unyu, My Queen. Atau ..... Sayang. Atau yang lebih syar'i. Abi dan Umi? Iya kan? Kupikir orang rumah akan menjauh bermil-mil dari kita setelah kita menikah. Maksudku tidak betah dengan kemesraan kita."
Apapun itu, Almira. Dengan iklas kuserahkan diriku untuk disiksa seumur hidup olehmu. Sebagai bentuk rasa syukurku, karena kamu sudah menemukan jalan pulang, hingga bisa menghadiri pernikahan kita.
"Apa kamu bisa berhenti bicara, Sayang?"
"Ya?"
"Bagus. Karena sekarang aku ingin memelukmu."
-End-


Rini Dwi
Komunitas Bisa Menulis
Trenggalek, 5 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar