KEKASIH GELAP
"Ada apa?" dengan hati-hati dan raut kekhawatiran,
wanita itu duduk tepat di hadapanku.
Aku menghisap rokok di sela jariku, lalu menoleh saat
menghembuskan agar asap tak mengenai wajahnya.
"Memang ada apa?" aku balik bertanya dengan kedua
alis terangkat.
"Kamu sama Sheryn, kenapa?" dia memperjelas
pertanyaannya.
Aku mengangkat bahu.
"Dari kemaren aku liat Sheryn bete melulu. Marah- marah
nggak jelas, trus malemnya nangis pas aku telepon." Ucapnya, kemudian meneguk
air mineral yang kuminum tadi tanpa perasaan canggung. Kupikir itu karena dia
sudah menganggapku sebagai sahabatnya sendiri. Bukankah biasanya begitu?
Sahabat pacar, adalah sahabatmu juga.
"Nggak ada apa-apa." Jawabku cuek sambil mengamati
mereka yang berlalu lalang di kafe. "Jadi ngajak ke sini cuma mau nanyain
masalah ini?" aku tertawa.
Ada senyum terkembang di bibirnya. "Yaa ... itu salah
satunya sih."
"Salah dua nya apa?"
"Pengen ngobrol." Jawabnya sambil tersenyum.
Sejenak kami terdiam. Aku cuma mengulas senyum di bibir,
karena ... mulai terpikir ada sesuatu yang ingin diungkapkannya lewat pandangan
mata.
Dan aku bisa menebak apa maksudnya.
***
Tidak ada hubungan yang selamanya selalu diisi dengan
hal-hal romantis dan canda. Seperti halnya hubunganku dan Sheryn.
Kami saling mencintai, tapi seringkali ego masih merajai.
Kadang hanya karena hal sepele, kadang karena salahku, dan kadang aku sama
sekali tidak tahu apa masalahnya.
Dan masalah yang terakhir ini, sepertinya benar-benar
membuat Sheryn marah. Begitupun denganku. Aku tidak marah atas masalahnya, aku
marah karena Sheryn tidak memberitahuku apa masalahnya.
Dia hanya diam, membentakku, lalu menangis. Membiarkanku
bertanya 'ada apa?' hingga ribuan kali. Tapi tak juga dijawab.
Dan aku berlalu meninggalkannya begitu saja.
Setelah itu, kami tak saling bicara hingga hari ini.
Ting-tung!
Suara bel pintu membangunkanku dari lelap malam. Mataku
mengernyit karena cahaya matahari yang menerobos masuk dari celah jendela.
Ternyata sudah pagi.
Ting-tung! Lagi, bel berbunyi.
Dengan malas aku bangun dari ranjang, lalu berjalan ke pintu
dan membukanya.
Terlihat seraut wajah yang kukenal dari balik pintu. Dengan
senyum yang tadinya mengembang untuk menyambutku, tapi kemudian senyum itu
memudar. Berganti dengan tatapan matanya pada dada dan perutku.
Lalu segera kusadari, aku tidak memakai baju, hanya celana
pendek. Seperti kebiasaanku tiap kali tidur.
"Hey, ayo masuk!" aku menggaruk kepala, sedikit
canggung.
Dia tersenyum, lalu masuk dengan langkah gemulai melewatiku
menuju ke dalam. Lalu duduk di sofa.
Dia memang sudah beberapa kali datang ke sini, meskipun ini
untuk pertama kalinya dia datang sendiri, tanpa Sheryn.
"Kalo mau minum ambil sendiri di kulkas, aku mandi dulu
ya!" aku berucap sambil berlalu masuk ke kamar mandi di dalam kamar.
Tak berapa lama aku keluar kamar dengan kaos ketat putih dan
celana jeans. Sambil mengacak rambut yang masih basah.
Kulihat dia tengah menonton tv, dengan kaki menyilang di
paha. Membuat sebagian tersingkap karena belahan rok. Sementara di meja tampak
minuman bersoda yang tinggal separuh. Sikapnya terlihat santai. Bahkan lebih
santai dari sikap Sheryn saat dia hanya berdua denganku.
"Pasti belum sarapan, kan?" dia menoleh padaku.
"Kan liat sendiri barusan bangun." Jawabku sambil
mengempaskan diri di sofa yang lain. "Mau makan apa? Biar sekalian aku
pesenin." Aku nenawarkan sambil meraih hape yang tergeletak di atas meja.
"Hmmm ... nggak usah pesenlah. Kita masak aja."
Tolaknya.
"Eh, masak?" aku tertawa.
"Iya, ayo!" dia berjalan mendahului menuju dapur.
Bahkan aku tidak menyangka dia sehafal ini pada rumahku.
Kuikuti dari belakang.
Dia mulai memeriksa isi dapurku. Mencari bahan-bahan apa
saja yang bisa digunakan untuk membuat sarapan. Beberapa saat kemudian dia
menatapku sambil mengangkat kedua tangan, bertanya dengan sikapnya. 'Jadi apa
yang bisa dimasak?'
"Aku kan nggak pernah masak ... eh, tapi ada telor di
kulkas!" ucapku. Lalu kukeluarkan beberapa butir telur dari dalam kulkas.
"Okelah, kita bikin omlet aja!" ucapnya memutuskan
sambil meraih telut-telur dari tanganku.
.
Dengan lincah dia mulai membuat omlet sementara aku hanya
menemaninya sambil duduk di salah satu kursi di meja makan. Sesekali kami
bercanda seperti yang biasanya kami lakukan saat bersama Sheryn. Dia memang
tipe wanita pengertian dan suka tertawa, tapi kali ini ... jelas kulihat
wajahnya terlihat jauh lebih ceria dari biasanya. Dan sepertinya aku tahu apa
alasannya, hanya saja aku tak berniat menyinggung perasaannya.
"Dia itu cuma sedang cemburu." Ucapnya saat menangkap
basahku sedang mengmati layar hape.
"Cemburu? Sheryn? Ke siapa?" tanyaku tak mengerti.
Karena setahuku, aku memang tidak pernah dekat dengan wanita
lain. Yaah, mungkin bercanda dan bertegur sapa memasng sering.tapi itu kan aku
lakukan tepat di depan mata Sheryn. Artinya aku sama sekali tidak
menyembunyikan apapun darinya. Lagipula semua tau kami pacaran.
"Entah. Tapi ... kalau aku jadi dia, mungkin aku juga
bersikap sama." Dia menaruh omlet yang sudah jadi ke piring. Lalu berjalan
mendekat padaku. "Kamu ... kaya bulan purnama yang dikelilingi banyak
bintang." Sambungnya sambil menatapku lekat.
"Kalau memang cemburu, kenapa nggak bilang langsung?
Sama siapa? aku harus apa? kalo dia nggak suka aku deket-deket sama cewek lain.
Ok fine, aku jaga jarak." Ucapku sedikit emosi. "Harusnya dia tau aku
sesayang itu ke dia ...."
Dia menghela nafas. "Ya sih, kadang dia bertingkah
kekanakan menurutku."
Sejenak kami terdiam.
"Ya udahlah, jangan terlalu dipikirin. Entar galau kaya
anak abg!" dia tertawa.
"Yah, emang masih 15 tahun!" aku nyengir.
"Masa masih 15 tahun udah brewokan gitu?" ejeknya,
dan ... tangannya menyentuh pipiku.
Menyentuh pipiku, kemudian merabanya. Dengan mata menatapku
dalam dan sedikit meredup.
Hal yang sama sekali tidak pernah dilakukan Sheryn karena
dia tipe gadis polos yang bahkan akan menamparku saat aku menyentuhnya.
"Harusnya ... Sheryn bangga punya cowok kaya
kamu." Suaranya setengah berbisik.
Aku tahu ini sudah kelewatan, tapi ... dadaku berdebar.
Apalagi, saat dia menyelipkan pinggulnya di antara pahaku.
Wajah kami begitu dekat, hingga panas nafasnya membelai
wajahku. Lalu kulingkarkan kedua lenganku dipinggangnya, dan membuatnya
tersentak mendekat.
Entah siapa yang mulai, tapi kemudian kami sudah saling
berciuman. Mulanya hanya saling mengecup, lalu berubah menjadi penuh nafsu.
Tiba-tiba hape ku berdering.
Menyadarkan kami dari tindakan liar yang tidak seharusnya
terjadi. Dia menarik dirinya, menjauh. Bagitupun denganku yang langsung
memeriksa layar hape. Sempat berharap itu telepon dari Sheryn tapi ternyata
bukan.
Beberapa saat kami bersikap canggung, hanya menikmati
sarapan tanpa banyak kata.
Lalu, perasaan bersalah itu membuatku berkata. "Maaf ya
...." sambil menatapnya penuh penyesalan.
Dia mengangkat wajahnya. Lalu, tersenyum.
***
[Aku nggak tau ini salah atau benar. Salah, karena aku
bertopeng malaikat di depan Sheryn tapi menikam jantungnya. Benar katena ...
aku memang mencintaimu. Entah sejak kapan, tapi aku menikmatinya. Aku tau kamu
lebih mencintai Sheryn. Aku nggak akan memaksamu menerimaku, tapi izinkan aku
memilikimu juga. Walau cuma sebagai bayangan Sheryn, aku menerimanya ....]
Aku membacanya berulang-ulang. Pernyataan ini, entah kenapa
tidak mengejutkanku. Aku tau dari caranya menatapku diam-diam. Dia menyukaiku,
hanya saja ikut bertepuk tangan saat melihat aku dan Sheryn jadian.
[Met tidur. Mimpi indah]
Hanya itu yang kutulis sebagai balasan.
***
Aku mencintai Sheryn. Sangat mencintainya. Tapi kadang
sikapnya membuatku merasa bingung.
Apa itu artinya kami tidak cocok? Sementara aku merasa lebih
nyaman bicara pada dia, sahabat Sheryn karena dia lebih mengerti aku.
Lalu jika kini dia menawarkan untuk menjadi wanita kedua,
apa aku harus menerimanya?
Aku menyambar jaket dan memakainya sambil berjalan keluar
dari rumah.
Hari ini, aku akan menemuinya. Untuk memastikan hubungan
kami.
Kulihat dia, duduk di salah satu kursi kafe. Terlihat santai
mendengarkan musik yang mengalun lembut.
Dia melambaikan tangan ke arahku dengan wajah cerah
menandakan hatinya tengah bahagia.
Aku duduk tepat di depannya.
.
Kulihat setetes airmata bergulir di pipinya. Dengan bibir
bergetar menahan sakit yang kini tengah dirasakannya.
Aku mengusap airmatanya dengan ibu jari.
"Sakit?" tanyaku.
"Kenapa masih bertanya ...?" dia menahan suaranya
agar tak terisak.
"Karena itu juga yang akan dirasakan Sheryn jika tau
kita bersama." Jawabku. "Sementara aku? Sekarang aku tertawa bersama
Sheryn, besoknya aku tertawa bersamamu. Sekarang aku berciuman dengan Sheryn,
besoknya aku berciuman denganmu. Apa aku merasa sakit? Enggak. Kamu yang akan
lebih sering merasakan sakitnya, sementara ketika Sheryn tau, hatinya hancur
saat itu juga. Mau yang kaya gitu?" aku menatapnya dalam-dalam.
Dia terdiam.
"Aku memilih untuk nggak menyakiti hati kalian
berdua." ucapku memutuskan. "Mungkin selama ini aku memang bukan
orang baik, tapi aku nggak sebrengsek itu."
Pelan, kutepuk kepalanya. Membiarkan airmata bergulir
semakin deras dari mata penuh luka. Lalu bangkit berdiri, dan melangkah pergi
meninggalkannya di kafe itu.
Dengan perasaan masih diliputi rasa bersalah, aku melesat
menuju rumah seseorang.
Rumah mungil bercat hijau itu terlihat sepi, tapi aku tau
Sheryn ada di dalam.
Aku turun dari motor, lalu mengetik sebuah pesan.
[Kangen]
Dilihat.
Aku mengetik sms lagi. [Coba buka pintunya]
Semenit, dua menit, hingga sepuluh menit kemudian pintunya
baru terbuka.
Kulihat wajah cantik Sheryn dengan mata sembab di pintu.
Tapi kemudian dia menahan tawa saat menyadari aku berdiri di depan pintu sambil
memegang kedua telinga.
"Ih, apa-apaan?" tawanya.
"Maaf ya." Ucapku sambil tersenyum. "Kangen
nggak?"
Matanya berkaca-kaca. Lalu menghambur ke pelukanku.
Mendekapku erat sambil berbisik. "Iya ...."
"Cium sayang."
Plak!
Kami tertawa.
.
Mungkin hubungan kami memang tidak selalu menyenangkan. Tapi
setidaknya tak pernah terpikir olehku untuk mengkhianatinya.
Karena yang kutahu, jika dalam hubungan kita tidak merasa
bahagia, pergi saja, jangan mendua.
.
Shiney
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 20 april 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar