MARSINAH
Kudengar sebentar dia terbatuk-batuk di dapur. Dari dinding
rumahnya yang reot, bisa kulihat asap pekat menerobos keluar. Dia sedang
menyalakan api. Meniup-niup kayu agar terbakar dan air yang dijerangnya di atas
atang segera mendidih.
"Jangan repot-repot, Mar. Tak perlu membuatkan air. Aku
hanya mampir sebentar."
Tubuh kurusnya keluar dari dapur, menemuiku di ruang tengah.
"Kenapa? Tak suka kau minum teh dari rumah orang
miskin? Kau takut gelas tak kucuci bersih? Atau abu yang beterbangan di dapur
membuatmu sesak napas?"
Sejak kecil hingga setua ini dia tak banyak berubah, masih
ketus. Dia sahabatku. Masa kecil kami habiskan di desa yang sama, hingga
kemudian setamat sekolah dasar dia memilih menuruti sang abah untuk menikah
muda. Tiga tahun setelahnya kami tak pernah bertemu lagi. Ayah memboyong kami
pindah ke kota. Meninggalkan desa masa kecil, meninggalkan Marsinah, sahabatku.
"Jangan mudah marah, Mar. Nanti cepat tua."
"Cepat tua kau bilang? Aku sudah 60 tahun. Dan kau
juga. Ah, tidak, kau lebih muda tiga tahun dariku."
Dia terkekeh. Memasukkan gulungan daun sirih ke dalam
mulutnya, menggosok-gosokkan pada giginya yang merah kehitaman, sebelum
kemudian meludah keluar dari jendela.
"Aku bahkan lupa sudah berusia 57 tahun. Kukira kita
masih anak-anak."
Dia permisi sebentar memeriksa dapur dan air yang dijerang.
Tak lama terdengar suara denting sendok dan gelas. Dia sedang membuat teh. Aku
memilih tetap menunggu di ruang tengah. Dari jendela yang di sana tadi dia
meludah, aku bisa melihat barisan pohon-pohon pisang yang tumbuh subur di
pekarangan belakang.
"Minumlah teh dari rumah orang miskin ini. Sudah
sekalian kumasukkan abu ke dalamnya agar kau sakit perut."
Masih ketus. Tapi dia bercanda. Meletakkan nampan berisi dua
gelas teh panas begitu saja di lantai yang beralas tikar purun.
"Akan kuhabiskan, Mar. Tenang saja."
"Tanggung sendiri kalau perutmu mulas."
Dia kembali masuk ke dapur. Tak lama keluar lagi dengan
membawa sepiring ubi rebus dan ikan asin di papiringan.
"Kau pasti belum pernah makan ubi rebus dengan cocolan
ikan asin."
"Siapa bilang? Kau sudah tua sekali, ya. Pikun
sepertinya. Dulu aku kerap memakan ubi rebus dan ikan asin buatan umamu."
"Itu sudah lama sekali. Kau pasti lupa rasanya. Di kota,
tentu kau banyak makan daging dan makanan enak yang lain."
"Kau pikir ubi ini tak enak? Lihat, kumakan
semua."
Kuambil sepotong ubi, kemudian mencubit ikan asin dan
memasukkan dalam mulutku bersamaan. Marsinah harus tahu, aku bukan orang yang
pemilih. Semua makanan aku suka, bahkan ubi dan ikan asin yang dia suguhkan,
kunikmati dengan lahap.
"Berapa anakmu, Rum? Cucumu?"
Dia bertanya sembari ikut menikmati ubi rebus dan teh panas
yang tadi dia hidangkan. Kami seperti kembali pada masa-masa yang sudah lama
sekali terlewati. Dia hebat, ya, Marsinah hebat. Sejak kecil dia yang selalu
membelaku jika anak-anak lain mengganggu atau mengolok-olokku karena sangat
cengeng. Dia pernah memukul seorang anak laki-laki demi membelaku, dia pernah
dipukul sang abah dengan rotan juga demi melindungiku yang tak sengaja
memecahkan kaca rumahnya dengan lemparan batu. Dia mengakui kesalahanku, dia
relakan tubuhnya dipukul sang abah berkali-kali. Dia tak menangis ketika itu.
Marsinah tak pernah menangis. Dia hanya berteriak meminta agar sang abah
mengampuni. Dia juga menenangkanku yang ketakutan melihat lengannya penuh bilur
lebam. Abahnya sangat pemarah, aku ingat sekali itu.
"Anakku dua, Mar. Cucuku baru satu."
Dia tertawa. Gigi merah kehitaman karena sirih pinang itu
sampai terlihat.
"Cuma punya anak dua? Dan cucumu baru satu? Sedikit
sekali."
"Aku menikah sudah berumur. 30 tahun. Anak pertamaku
perempuan, dialah yang memberiku cucu. Anak keduaku laki-laki. Dia bahkan belum
menikah."
"Sempat menjadi perawan tua kau, ya?"
Kubalas pertanyaannya dengan tersenyum. Marsinah benar,
mungkin. Usia 30 memang sudah menjadi perawan tua. Tapi itu keputusanku.
Setelah lulus S2, aku disibukkan dengan bisnis dan cita-cita membuat bangga
ayahku yang sudah bersusah payah memperjuangkan pendidikanku hingga setinggi
itu.
"Jadi, berapa juga anakmu, Mar?"
"Anakku banyak. Lima. Cucuku sudah delapan."
Bangga dia katakan itu. Meski tak satupun kutemui anak atau
cucunya di rumah yang reot ini.
"Hebat! Di mana mereka sekarang?"
"Anakku perempuan semua. Diboyong suaminya ke jauh-jauh
sana. Ada yang di Barabai, Kapuas, bahkan di Grogot."
"Suamimu?"
"Sudah mati."
"Ohhh..."
"Sudah lama. Sejak awal marak pertambangan batu bara di
sini. Kami memiliki banyak tanah ketika itu. Hampir semuanya terkena batu bara.
Mereka membelinya dengan harga mahal. Mahal sekali. Aku tidak pernah melihat
uang sebanyak itu."
"Tentu menyenangkan."
"Itu awal musibah, Rum. Awal bencana!"
Diseruputnya teh yang sudah mulai dingin di gelasnya.
Kembali diletakkan di atas nampan, dia bersiap akan bercerita.
"Apa yang terjadi?"
"Rumah kami dirampok. Cepat sekali bangsat-bangsat itu
mendengar kabar kami baru saja menjual tanah berbatu bara. Bangsat banar!"
Matanya menerawang. Aku tak ingin dia melanjutkan cerita
jika itu membuatnya kembali mengenang luka lama. Tapi memintanya berhenti juga
tak mungkin. Dia akan terus bercerita.
"Mereka menyerang kami. Suamiku mati karena timpasan
mandau di bahu dan perutnya. Aku tidak bisa berbuat banyak, Rum. Anak-anakku
masih kecil ketika itu. Suamiku mati di depanku..."
Diusap matanya yang mulai berair dengan ujung tapih yang
dikenakan. Aku terpaku. Di ulu hati terasa ada yang ikut nyeri.
"Ini, Rum. Lihat. Ini juga bekas timpasan. Sakitnya
sudah hilang. Tapi tiap melihat kunatnya, luka di hatiku kembali habang."
Ditunjukkan lengan kanannya padaku. Ada bekas luka yang
memanjang di sana. Aku yakin dulu luka itu sangat dalam menyayat dagingnya.
Pasti begitu sakit.
"Mereka pergi setelah membawa uang hasil penjualan
tanah. Bangsat!"
"Semuanya?"
"Ya."
Kubasahi tenggorokanku dengan teh yang tinggal sedikit di
gelasku. Marsinah kembali mengusap matanya.
"Janda dengan lima anak. Tak punya tanah lagi. Tak
punya harta lain. Hidupku luntang lantung, Rum. Bekerja apa? Kau tahu aku hanya
tamatan sekolah dasar."
"Abah dan umamu?"
"Mereka sudah mati semua."
"Kau melewatinya hingga hari ini. Kau selalu kuat,
Mar."
"Aku menjadi buruh di huma-huma. Hidup susah dan
melarat bertahun-tahun kujalani demi anakku tetap makan. Mereka tak ada yang
bersekolah tinggi, Rum. Si sulung hanya lulusan SMP. Begitu juga yang lain. Si
Bungsu malah tidak tamat sekolah dasar. Aku sudah kehabisan cara, Rum. Sudah
tua aku ini. Hampir mati juga sepertinya. Tak ada lagi yang mempekerjakan
tenaga nini tuha."
"Kau tak menikah lagi?"
"Laki-laki mana yang sudi menikahi janda lima anak? Tak
kaya tak cantik pula. Pun tak berpendidikan. Aku takut, Rum. Takut seseorang
hanya menginginkanku, namun tak ingin dengan anak-anakku. Aku memilih tak
menikah lagi."
"Kau hebat, Mar. Kau kuat."
Tak tahan lagi kupeluk sahabat kecilku. Kami berpelukan. Dia
terdengar mengeluarkan isak yang sedari tadi dia tahan.
"Kemudian satu persatu anakku menikah, hingga aku hidup
sendirian sekarang. Tadinya berdua dengan Utuh, tapi dia juga sudah mati.
Kukubur di halaman depan."
"Utuh?"
"Kucing."
"Anakmu tak pernah pulang menjenguk?"
"Terkadang mereka datang. Terutama di hari-hari besar
seperti lebaran. Suami mereka sibuk. Bekerja di pertambangan."
"Kau tak rindu cucu-cucumu?"
"Rindu, Rum. Rindu. Liwar dandaman hati ini. Tapi
mereka harus sekolah. Itu terpenting agar hidup mereka kelak tak seperti
neneknya ini."
"Kau tak pernah ke rumah mereka?"
"Pernah. Tapi tidak betah. Putri sulungku menawariku
tinggal dengannya saja, aku tidak mau. Aku suka di rumah reot ini. Lebih nyaman
di sini bersama kenangan suamiku."
"Kita sudah tua, Mar. Kita bisa saja tiba-tiba sakit.
Kita harus dekat dengan keluarga kita."
"Mereka memberiku ini..."
Diambilnya benda persegi kecil dari bufet tua di ruang dekat
dapur. Sebuah ponsel.
"Aku bisa menghubungi mereka kapan saja. Mereka
mengajariku menekan tombol-tombolnya."
"Kalau begitu biar kusalin nomorku di ponselmu. Kau
juga bisa menghubungiku kapan saja, Mar."
"Kau sibuk. Biar kutunggu saja kau yang
menghubungi."
Setelah lama bertukar cerita, dan hari pun telah menjelang
petang, aku akhirnya berpamitan. Senang rasanya kembali ke desa masa kecil
setelah berpuluh-puluh tahun tak menginjakkan kaki ke sini. Semua memang sudah
banyak sekali yang berubah. Desa yang dulu sangat terpencil, kini sudah
menjelma menjadi tempat yang ramai. Rumah-rumah penduduknya sebagian besar
sudah beton, kecuali rumah Marsinah. Rumah berlantai tinggi dan sudah reot
dengan banyak tanaman pisang di pekarangan belakang.
"Kau tidak ingin merenovasi rumahmu, Mar?"
"Tidak ingin. Anak-anakku berniat membangunkan rumah
untukku, tapi aku tidak ingin. Biar saja hasil kerja keras mereka untuk
kebutuhan mereka sendiri. Masa mereka masih panjang. Kebutuhan mereka juga
masih banyak sekali. Tak perlu terlalu memusingkan aku yang sudah tua. Rumah
ini, sekalipun reot, tapi tidak bocor. Masih melindungiku dari panas dan hujan.
Sampai aku mati nanti. Mungkin tak lama lagi."
"Kau akan selalu sehat dan berumur panjang, Mar."
"Aamiin. Kau juga, Rum. Kau masih cantik seperti dulu.
Kau orang kota, tentu bisa merawat diri, ya."
Tak kutanggapi ucapan terakhirnya. Setelah berjabat tangan,
kami kembali berpelukan. Tak lupa kuserahkan tas yang kubawa sebagai hadiah
untuknya. Pada awalnya dia menolak, bersikeras tak ingin menerima pemberianku.
Setelah kupaksa berkali-kali dan meyakinkannya bahwa demi Allah aku rela,
akhirnya dia mengalah dan menerima juga. Isinya beberapa potong pakaian--yang
memang sengaja kubeli kemarin sebelum mengunjunginya. Dan kusisipkan juga
beberapa lembar uang dalam tas tersebut. Tak banyak, tapi kukira cukup
membantunya hidup dua hingga tiga bulan ke depan.
"Tas dan semua isinya sengaja kuhadiahkan untukmu.
Terimalah, Mar."
"Terimakasih, Rum. Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Tentu, lain waktu aku kembali. Akan kuajak suamiku
jika beliau ada waktu luang."
"Jangan terlalu lama. Nanti kau ke sini, aku sudah di
dalam tanah."
Dia berkelakar lagi. Kemudian melambaikan tangan saat
perlahan mobilku mulai berjalan meninggalkan halaman rumahnya.
Janitra Lituhayu
Komunitas Bisa Menulis
JL - South Borneo
02 April 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar