Belajar Bersama Juned
Mendung menggelayut. Angin berembus kencang. Satu-satu
butiran hujan luruh. Pagi yang biasanya disambut kicauan burung, kini sepi
bagai tak ada kehidupan. Nun jauh di sana....
“Ah, bertele-tele! Bukan begitu caranya membuat cerita.”
Juned menyengir. Kalimat-kalimat yang baru saja diketik
serta merta dihapus. Ia menatap saya. Sepertinya kurang senang tulisannya
langsung mendapat kritik pedas.
“Trus gimana?” tanyanya sambil melotot kecut.
“Langsung ke sasaran. Jangan berbelit-belit. Pembaca
sekarang sudah bosan disuguhi basa-basi.”
“Siapa yang berbasa-basi?”
“Itu pake mendung. Ada angin. Hujan turun. Kicau burung. Apa
namanya kalau bukan cerita basi?”
“Ya kan namanya juga opening. Ibarat pintu harus dibuka
pelan-pelan dong!”
“Ah, kamu nih dikasih tahu selalu ngeyel. Mau serius belajar
menulis gak sih?” Saya memasang tampang galak. Pura-pura kesal. Padahal memang
dekat dengan Juned selalu membuat darah memanas. Lagian! Ada angin apa dia
ingin diajari menulis? Dan anehnya saya tak bisa menolak.
“Jadi yang tadi salah?”
“Bukan salah. Tapi terlalu membosankan!”
Anak itu kembali mengetik. Keningnya berkerut. Matanya
menyipit. Mungkin sel-sel otaknya tengah dikerahkan untuk berpikir. Saya
tertawa kecil. Memang gampang jadi penulis?
Beberapa menit kemudian....
Tidak ada mendung menggelayut. Tidak ada angin berembus
kencang. Hujan yang tadinya mau turun tak jadi. Pagi yang biasanya disambut
kicauan burung, hari ini pun demikian. Nun jauh di sana....
“Arghhh. Itu sih sama aja, Juned!”
“Sama gimana sih?”
“Masih bertele-tele! Gak usah ada mendung. Gak usah ada
hujan!”
“Lah kan sudah ditulis tidak ada mendung. Tak ada angin.
Hujan pun gak jadi.”
Saya tertawa dan menelan ludah. Seketika itu juga ingin
sekali meremas-remas wajahnya. Juga ingin mencakar meja. Ternyata benar kata
orang kalau anak ini selalu salah tanggap!
“Maksudnya langsung ke peristiwa, Juned! Usahakan cerita
jangan meliuk-liuk. Singkat saja.”
“Oh....”
“Ngerti?”
“Sip.” Anak itu mengangguk. Ia mulai lagi memainkan jari di
atas keyboard. Perlu saya akui bahwa kemahirannya mengetik sangatlah
mengagumkan. Tanpa melihat pun ia bisa menyentuh tombol-tombol itu tanpa salah.
Bahkan beberapa detik kemudian satu paragraf berhasil dibuat.
Mndung mengglyut. Angin brmbus kncng. 1-1 btrn hjn lrh. Pg
yg bysa’a dsmbt kcwn brung, kni spi bgai tk da khdpn. Nn jauh dsna....
“Astagfirullah, Juneeeeed.....!”
Saya menggeram. Benar-benar marah. Kenapa tulisannya jadi
tambah kacau? Niat gak sih dia belajar? Lama-lama otak saya bisa meleleh jika
caranya seperti ini.
“Kenapa lagi sih?”
“Itu kenapa tulisannya jadi ngaco?” Saya teriak menahan
dongkol.
“Katanya singkat saja. Gimana toh?”
“Maksudnya bukan seperti itu!”
“Tadi bilangnya jangan bertele-tele. Udah disingkat masih
tetep disalahin. Terus abdi teh kudu kumaha?”
“Hapus yang itu! Nulis kok disingkat-singkat? Kayak
kekurangan tempat aja!” Saya mendengus.
Juned kembali menghapus tulisannya. Kali ini ia berjanji
akan serius. Saya menunggu. Beberapa teori sudah pernah saya ajarkan
sebelumnya. Maka awas saja kalau hasilnya masih berantakan.
“Sudah?” Setelah beberapa menit saya menanyakan.
“Sudah!”
“Coba saya lihat.”
K45IH – R354H YaNK ki4N dAtAnG m3nY1k5@Q0e
T4nV@ xu52D4R1.....
“Juneeeeeeed.........!!!"
Oleh: Kang Didin Goreng
Komunitas Bisa Menulis
Kamis, 6 ArPil 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar