Senin, 17 April 2017

CERPEN, Mas, Aku Sudah Tidak Perawan

Mas, Aku Sudah Tidak Perawan

Pernikahan. Sesuatu yang selalu menjadi khayalan rutin, sejak usiaku menginjak sembilan belas tahun. Ada bunga di mana-mana, gaun pengantin yang indah, berpadu dengan pasanganku yang terlihat menawan dengan jas putih. Semua orang memberikan selamat dan menjadikan kami pusat perhatian.
Ah, betapa senangnya. Hari itu sebentar lagi akan tiba. Ya, Mas Jimmy akan resmi melamarku minggu depan. Rasanya aku sudah tidak sabar melihat ekspresi keluargaku saat ia tiba di rumah nanti.
Di tempat tinggalku pernikahan adalah hal yang sakral. Bahkan tidak jarang seseorang menjadikannya tujuan hidup. Memang sangat menyenangkan ketika kita bisa satu atap dengan orang yang paling kita cintai.
Adalah Mas Jimmy, meski usianya lebih muda dariku namun aku lebih suka memanggilnya mas. Karena bagaimanapun dialah calon suamiku. Aku begitu beruntung, dia bisa mengimbangi kedewasaanku yang dua tahun lebih tua darinya.
Biar kujabarkan sedikit tentangnya, tentang bola mata kecil yang legam dan dadanya yang bidang. Atau tentang tubuhnya yang tinggi tegap. Pria gagah dengan kulit sawo matang.
Kami sudah cukup lama menjalin hubungan istimewa ini, aku pertama kali menemukannya saat ia sedang bersedih.
Dan aku, adalah satu-satunya perempuan yang ia bilang paling mengerti perasaannya. Entah bagaimana semua itu berawal, cinta, kepercayaan dan saling berbagi puisi. Membuat kami semakin dekat setiap harinya.
Minggu depan Mas Jimmy berjanji akan datang ke rumah untuk melamarku. Bukankah aku adalah perempuan paling beruntung?
Namun ada yang membuat dadaku sesak, teringat kejadian di masa lalu. Haruskah aku mengatakan yang terjadi dulu?
Ya. Kami sudah berjanji tidak akan pernah menyembunyikan apapun.
Tanpa berpikir lagi, aku mencoba meneleponnya.
'Halo, Mas.'
'Iya, Sayang?' seperti biasa. Ia selalu terdengar manis di seberang sana.
'Aku ingin mengatakan sesuatu. Ini sangat penting.'
'Katakan saja. Aku akan mendengarkannya dengan senang hati.'
'Tapi berjanjilah untuk tidak marah, ya?'
'Ya. Tentu saja.'
''Apa mas bisa menerima semua kekuranganku?'
'Bukankah untuk itu aku di sini? Agar kita bisa saling melengkapi. Jadi, jangan ragu untuk mengatakan apapun padaku.'
'Baiklah, aku ....'
'Aku?'
'Aku sudah tidak perawan lagi, Mas.'
Ada ketakutan saat mengatakan itu. Namun Mas Jimmy hanya diam, aku mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa.
'Tetapi kejadian itu sudah sangat lama, Mas. saat itu usiaku baru tujuh belas tahun,' aku menegaskan. Namun tetap tidak ada jawaban.
Hanya terdengar beberapa kali suara tarikan napasnya yang begitu dalam.
'Maafkan aku, Lisa .... kejujuranmu ini benar-benar membuatku terkejut. Sehingga aku perlu menenangkan diri beberapa saat. Tetapi sudahlah, itu hanya masalalu. Dan aku mencintaimu yang sekarang bukan yang dulu.'
Pernah melihat pelangi datang bersama hujan? Begitulah aku sekarang. Tangis ini adalah lukisan dari kebahagiaan.
'Aku mencintaimu, Mas. Aku sangat mencintaimu.'
****
Hari yang kutunggu akhirnya tiba, sepagi ini orang-orang di rumah sudah sangat sibuk. Ibu menyiapkan kue kering dari jauh-jauh hari untuk menyambut kedatangan tamu kami. Mas Jimmy dan keluarganya akan datang pukul sepuluh nanti.
Bapak terlihat memberi aba-aba untuk mengatur tempat parkir di halaman rumah kami. Adik kecilku yang baru berusia lima tahun ikut sibuk mempercantik diri. Ia beberapa kali bercermin dengan gaun merah mudanya, sengaja kubelikan khusus untuk hari ini.
Dan aku, tentu saja yang paling gugup diantara semuanya. Sudah beberapa hari ini Mas Jimmy jarang menghubungiku karena sibuk bekerja, modal nikah katanya. Mengingat itu selalu berhasil membuat pipiku terasa panas. Bahagia sekaligus malu.
Ruang tamu sudah tertata dengan rapi, ibu dan bapak sudah terlihat siap memberikan sambutan paling hangatnya. Sedang pintu kami biarkan terbuka, agar memudahkan kami untuk melihat kedatangan keluarga Mas Jimmy.
Sudah hampir pukul sepuluh, namun belum terlihat tanda-tanda apapun.
Jam seolah begitu cepat berdetak, sekarang ia menunjukkan pukul tiga. Dan ke mana Mas Jimmy?
Adikku mulai merengek karena gerah dan ingin berganti pakaian, sedangkan wajah sumringah bapak berubah menjadi sangat tidak bersahabat. Ibu pun sudah tidak lagi bisa menyembunyikan kecemasannya.
'Apa mungkin Jimmy nyasar, Nak? Inikan pertama kalinya ia datang kemari. Jauh pula. Kamu sudah coba meneleponnya?'
'Ah iya, kenapa aku tidak kepikiran ke sana. Sebentar, Bu. Biar kutelpon.'
Beberapa kali aku mencoba menelepon Mas Jimmy, padahal panggilannya tersambung, tetapi tidak ada jawaban dari dia.
'Tidak dijawab, Bu. Aku cemas terjadi sesuatu padanya.'
Tring. Tidak lama kemudian ponselku berbunyi, tanda sebuah pesan masuk. Ternyata satu pesan dari Mas Jimmy. Aku langsung membukanya.
'Aku tidak bisa datang dan melanjutkan hubungan ini, Lisa.'
Seketika, riasan di wajahku terhapus oleh air mata yang tidak bisa dibendung. Rasanya aku telah kehilangan kemampuan untuk bernapas, begitu sesak dan teramat nyeri. Apa salahku? Tidak cukupkah aku memperbaiki diri selama ini?
Aku telah menerapkan segala aturan yang baik dalam diriku, mengapa? Belum cukupkah semua ini di matanya?
Apakah ia merasa makhluk paling suci, sehingga tidak pernah melakukan kesalahan? Tidak layakkah aku mendapatkan satu lagi kesempatan?
Padahal aku sendiri tahu, ia adalah mantan seorang bajingan. Ah tidak, dia masih seorang bajingan. Sejak awal seharusnya aku sadar ....
Dia tidak pernah benar-benar mencintaiku, aku hanyalah sebuah opsi cadangan ketika obsesinya terhadap perempuan itu tidak terpenuhi.
Aku yakin, karena cinta tidak akan sekejam ini.



Ajoya Sasmita
Komunitas Bisa Menulis
Kuwait, 11 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar