Mas, Aku Sudah Tidak Perawan
Pernikahan. Sesuatu yang selalu menjadi khayalan rutin,
sejak usiaku menginjak sembilan belas tahun. Ada bunga di mana-mana, gaun
pengantin yang indah, berpadu dengan pasanganku yang terlihat menawan dengan
jas putih. Semua orang memberikan selamat dan menjadikan kami pusat perhatian.
Ah, betapa senangnya. Hari itu sebentar lagi akan tiba. Ya,
Mas Jimmy akan resmi melamarku minggu depan. Rasanya aku sudah tidak sabar
melihat ekspresi keluargaku saat ia tiba di rumah nanti.
Di tempat tinggalku pernikahan adalah hal yang sakral.
Bahkan tidak jarang seseorang menjadikannya tujuan hidup. Memang sangat
menyenangkan ketika kita bisa satu atap dengan orang yang paling kita cintai.
Adalah Mas Jimmy, meski usianya lebih muda dariku namun aku
lebih suka memanggilnya mas. Karena bagaimanapun dialah calon suamiku. Aku
begitu beruntung, dia bisa mengimbangi kedewasaanku yang dua tahun lebih tua
darinya.
Biar kujabarkan sedikit tentangnya, tentang bola mata kecil
yang legam dan dadanya yang bidang. Atau tentang tubuhnya yang tinggi tegap.
Pria gagah dengan kulit sawo matang.
Kami sudah cukup lama menjalin hubungan istimewa ini, aku
pertama kali menemukannya saat ia sedang bersedih.
Dan aku, adalah satu-satunya perempuan yang ia bilang paling
mengerti perasaannya. Entah bagaimana semua itu berawal, cinta, kepercayaan dan
saling berbagi puisi. Membuat kami semakin dekat setiap harinya.
Minggu depan Mas Jimmy berjanji akan datang ke rumah untuk
melamarku. Bukankah aku adalah perempuan paling beruntung?
Namun ada yang membuat dadaku sesak, teringat kejadian di
masa lalu. Haruskah aku mengatakan yang terjadi dulu?
Ya. Kami sudah berjanji tidak akan pernah menyembunyikan
apapun.
Tanpa berpikir lagi, aku mencoba meneleponnya.
'Halo, Mas.'
'Iya, Sayang?' seperti biasa. Ia selalu terdengar manis di
seberang sana.
'Aku ingin mengatakan sesuatu. Ini sangat penting.'
'Katakan saja. Aku akan mendengarkannya dengan senang hati.'
'Tapi berjanjilah untuk tidak marah, ya?'
'Ya. Tentu saja.'
''Apa mas bisa menerima semua kekuranganku?'
'Bukankah untuk itu aku di sini? Agar kita bisa saling
melengkapi. Jadi, jangan ragu untuk mengatakan apapun padaku.'
'Baiklah, aku ....'
'Aku?'
'Aku sudah tidak perawan lagi, Mas.'
Ada ketakutan saat mengatakan itu. Namun Mas Jimmy hanya
diam, aku mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa.
'Tetapi kejadian itu sudah sangat lama, Mas. saat itu usiaku
baru tujuh belas tahun,' aku menegaskan. Namun tetap tidak ada jawaban.
Hanya terdengar beberapa kali suara tarikan napasnya yang
begitu dalam.
'Maafkan aku, Lisa .... kejujuranmu ini benar-benar
membuatku terkejut. Sehingga aku perlu menenangkan diri beberapa saat. Tetapi
sudahlah, itu hanya masalalu. Dan aku mencintaimu yang sekarang bukan yang dulu.'
Pernah melihat pelangi datang bersama hujan? Begitulah aku
sekarang. Tangis ini adalah lukisan dari kebahagiaan.
'Aku mencintaimu, Mas. Aku sangat mencintaimu.'
****
Hari yang kutunggu akhirnya tiba, sepagi ini orang-orang di
rumah sudah sangat sibuk. Ibu menyiapkan kue kering dari jauh-jauh hari untuk
menyambut kedatangan tamu kami. Mas Jimmy dan keluarganya akan datang pukul
sepuluh nanti.
Bapak terlihat memberi aba-aba untuk mengatur tempat parkir
di halaman rumah kami. Adik kecilku yang baru berusia lima tahun ikut sibuk
mempercantik diri. Ia beberapa kali bercermin dengan gaun merah mudanya,
sengaja kubelikan khusus untuk hari ini.
Dan aku, tentu saja yang paling gugup diantara semuanya.
Sudah beberapa hari ini Mas Jimmy jarang menghubungiku karena sibuk bekerja,
modal nikah katanya. Mengingat itu selalu berhasil membuat pipiku terasa panas.
Bahagia sekaligus malu.
Ruang tamu sudah tertata dengan rapi, ibu dan bapak sudah
terlihat siap memberikan sambutan paling hangatnya. Sedang pintu kami biarkan
terbuka, agar memudahkan kami untuk melihat kedatangan keluarga Mas Jimmy.
Sudah hampir pukul sepuluh, namun belum terlihat tanda-tanda
apapun.
Jam seolah begitu cepat berdetak, sekarang ia menunjukkan
pukul tiga. Dan ke mana Mas Jimmy?
Adikku mulai merengek karena gerah dan ingin berganti
pakaian, sedangkan wajah sumringah bapak berubah menjadi sangat tidak
bersahabat. Ibu pun sudah tidak lagi bisa menyembunyikan kecemasannya.
'Apa mungkin Jimmy nyasar, Nak? Inikan pertama kalinya ia
datang kemari. Jauh pula. Kamu sudah coba meneleponnya?'
'Ah iya, kenapa aku tidak kepikiran ke sana. Sebentar, Bu.
Biar kutelpon.'
Beberapa kali aku mencoba menelepon Mas Jimmy, padahal
panggilannya tersambung, tetapi tidak ada jawaban dari dia.
'Tidak dijawab, Bu. Aku cemas terjadi sesuatu padanya.'
Tring. Tidak lama kemudian ponselku berbunyi, tanda sebuah
pesan masuk. Ternyata satu pesan dari Mas Jimmy. Aku langsung membukanya.
'Aku tidak bisa datang dan melanjutkan hubungan ini, Lisa.'
Seketika, riasan di wajahku terhapus oleh air mata yang
tidak bisa dibendung. Rasanya aku telah kehilangan kemampuan untuk bernapas,
begitu sesak dan teramat nyeri. Apa salahku? Tidak cukupkah aku memperbaiki
diri selama ini?
Aku telah menerapkan segala aturan yang baik dalam diriku,
mengapa? Belum cukupkah semua ini di matanya?
Apakah ia merasa makhluk paling suci, sehingga tidak pernah
melakukan kesalahan? Tidak layakkah aku mendapatkan satu lagi kesempatan?
Padahal aku sendiri tahu, ia adalah mantan seorang bajingan.
Ah tidak, dia masih seorang bajingan. Sejak awal seharusnya aku sadar ....
Dia tidak pernah benar-benar mencintaiku, aku hanyalah
sebuah opsi cadangan ketika obsesinya terhadap perempuan itu tidak terpenuhi.
Aku yakin, karena cinta tidak akan sekejam ini.
Ajoya Sasmita
Komunitas Bisa Menulis
Kuwait, 11 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar