Meninggalkan Untuk Menunggu
Aku mengetik pesan untuk Riko secara hati-hati. Takut kalau
Riko salah mengartikannya. Hatiku berdegup tak menentu. Ingat pesan ustadz
Felix tentang "Sudah, putusin saja."
Mencoba mencari kata yang pas dan tepat. Meski hati
sebenarnya tak rela jauh apalagi pisah dengannya. Tapi apa mau dikata,
hubungan itu memang tidak di benarkan dalam Islam.
"Assalamualaikum, aku meninggalkan untuk
menunggumu."
Satu menit, dua menit, hingga setengah jam tidak ada
balasan. Aku mencoba menelpon Riko.
Suara serak terdengar dari sebrang. Aku lupa, sudah tiga
hari ini Riko sakit. Pantas saja dia tidak membalas pesanku.
"Assalamualaikum, Riko."
"Wa'alaikumsalam Di, ada apa?"
"Syafakallah Rik."
"Terimakasih wahai bidadariku," ucapnya membuat
hatiku bergetar.
"Aku ingin bicara penting, tapi sungguh aku tidak ada
niatan untuk meninggalkanmu."
"Maksudnya?"
"Pacaran tidak dibenarkan dalam Islam. Aku ingin kita
putus, tapi aku akan menunggumu."
"Tunggu aku Di, aku akan ke rumahmu untuk
melamarmu."
Hatiku lega, setidaknya tidak ada yang tersakiti oleh
perpisahan ini. Awalnya aku dan Riko masih sering SMS-an. Hingga akhirnya kita
jarang berkomunikasi akibat kesibukan masing-masing. Dia sibuk dengan organisasi
di kampusnya, sedangkan aku sibuk bekerja.
Setiap malam aku selalu berdoa menyebut namanya. Ku sisipkan
namanya setelah doaku untuk kedua orangtuaku. Meski kami jarang berkomunikasi,
tapi aku yakin hati kami tetap saling memiliki.
Dalam satu bulan bisa dihitung jari, berapa kali kita
SMS-an. Hanya bertanya kabar, selebihnya diam membisu. Hubungan ini semakin
hari semakin terasa hambar. Meskipun begitu aku sangat rindu dengan sosoknya
yang dulu.
"Assalamualaikum, Riko."
Pesan singkatku.
"Wa'alaikumsalam. Tumben sms, Di."
"Apa kabar rasa itu?"
"Oh iya, kamu kapan pulang? Kamu ndak kangen kampung
halaman ya?"
Aku menghelang nafas, setiap kali ku tanya tentang rasa itu
dia selalu mengalihkan pembicaraan.
"Lusa aku pulang."
"Alhamdulillah, semoga selamat sampai tujuan. Oh iya,
Di. Lusa ketika kamu pulang aku mau bicara penting."
"Tentang?"
"Tentang hubungan kita. Aku akan perjelas
semuanya."
Hatiku bersorak, bersyukur mengucap tasbih. Air mataku
mengalir membaca pesan dari Riko. Sungguhkah ini? Riko akan melamarku?.
***
Hari yang di tunggu datang juga. Aku memeluk ibu dan ayah
melepaskan rindu. Setelah itu, aku datang ke majelis ta'lim yang dipimpin Riko.
Riko yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Dia
terlihat gagah dan fasih membaca ayat suci Al Qur'an. Aku benar-benar dibuatnya
jatuh cinta.
"Di?" Sapanya seusai pengajian.
"Iya Riko," jawabku malu-malu.
"Kamu makin cantik dengan jilbab syar'imu. Terlihat
makin adem."
Mendengar pujian itu, aku tersipu malu.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan."
"Apa Rik?" Aku menatapnya dalam-dalam.
"Aku akan menikah."
Jantungku berdetak kencang. Secepat itu kah dia
mengungkapkan rasa. Kenapa tidak didepan orangtuaku saja?
"Aku akan menikah dengan Aisyah. Anak dosenku di
kampus."
Belum juga semenit rasa bahagia menghujam hatiku. Kini malah
berbalik menyakitkan. Allah maha membolak-balikkan hati.
Aku terdiam membisu, ntah apa yang sedang aku rasakan saat
ini. Marah, kecewa, sakit, semuanya jadi satu. Mulutku kelu, tanganku bergetar.
Ada rasa tak ikhlas menyelimuti hatiku.
"Jangan lupa datang ke pernikahanku," ucapnya
seraya meninggalkanku.
Aku terdiam lama, mencerna kata yang baru saja Riko
sampaikan. Kenyataannya cinta memang tidak selalu berakhir bahagia. Mungkin
untuk saat ini, tapi tidak tau untuk esok.
Air mataku mengalir begitu saja. Sejahat itukah Allah
denganku? Sampai doaku tidak dikabulkan. Aku menyalahkan diriku sendiri. Butuh
waktu lama untuk menyembuhkan hati yang tergores.
Aku meninggalkan untuk menunggu. Kenyataannya yang aku
tunggu malah meninggalkan.
Dian Alima
Komunitas Bisa Menulis
Senin, 3 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar