Cinta Pendengaran Pertama
Namaku Zulfa. Aku orang yang pendiam, pemalu, dan tidak
banyak berbicara. Banyak yang mengira aku punya kelainan, yaitu menyukai
sejenis. Dan parahnya kedua kakakku mengira aku lesbi, karna kedua kakakku
mempunyai banyak teman lelaki. Sedangkan aku tidak.
Ayah dan ibu tidak melarang mereka bermain dengan
teman-temannya. Asalkan hal itu diatas kewajaran.
Aku dibesarkan di keluarga yang biasa saja. Agamaku Islam,
begitupun dengan orangtua serta kakakku. Mereka menjalankan sholat, menunaikan
zakat. Tapi pengetahuan agama mereka sangat minim.
Aku meminta untuk belajar di sekolahan yang berbasis Islam.
Teman lelakiku dikelas bisa di hitung jari. Aku jarang berbicara dengan mereka
kecuali ada hal yang sangat penting. Selebihnya aku memilih untuk diam.
Hobiku menulis, dari sekolah dasar aku suka menulis cerita
di buku catatan. Hingga pada akhirnya ketika aku masuk sekolah menengah atas,
ayah membelikanku laptop. Dan dari sana aku menjadi Zulfa yang bukan pemalu.
Di dunia nyata aku memang jarang berbicara, tapi tidak di
dunia maya. Aku aktif menulis, bahkan aku selalu update status apapun itu. Dari
menulis kisah fiksi, non-fiksi, cara memasak, dan lainnya.
Dari sekian ribu teman lelaki di dunia Maya, hanya satu yang
membuatku terpukau. Namanya Bilal, dua tahun kita chattingan tanpa mengetahui
muka satu sama lain. Aku sering menggunakan foto profil bunga, sedangkan dia
sangat suka dengan Naruto.
Kita sering bertukar pikiran tengan gaya kepenulisan, hobi,
idola, apapun kita bicarakan. Bilal setahun lebih tua dariku, dia meneruskan
sekolahnya di universitas kotaku. Dan sekarang kami tinggal di tempat yang
sama. Meskipun begitu, kami tidak pernah bertemu.
"Zulfa, ketemuan yuk?" Aku tersendak meskipun aku
sedang tidak minum, pesan dari Bilal membuatku kaget. Sejak kapan Bilal berani
mangajakku bertemu? Ah, aku lupa. Kami sudah dua tahun berkenal dan tidak
pernah bertemu. Lagi pula, Bilal sedang berada di kotaku. Ntah hal apa yang
membuatku berani membalas kata "oke"
"Setengah jam lagi aku sampai di rumahmu. Kirim
alamatnya, jangan lupa pakai Google maps."
"Eh tunggu, kita bakal boncengan naik motor? Memangnya
boleh? Kita bukan makhrom lho?"
"Banyak tanya," balasnya diselingi emot smile.
"Aku seriusan."
"Bawa tas ransel, ganjal tasmu itu diantara kita. Aku
mau mengajakmu ke suatu tempat."
***
Tanganku panas dingin, tidak henti-hentinya aku ke toilet.
Ntah mengapa aku mendadak kebelet pipis terus. Ibu dan ayah yang melihatku
cuman tersenyum geli. Dan kedua kakakku tak henti-hentinya mengejekku.
"Ciyeeee, adek kakak sudah besar. Sudah tau
cinta-cintaan," ledek kakakku.
"Apaan sih, orang cuman mau pergi bentar."
"Ganteng banget ya dek? Sampai nervous gitu,"
sindir kakakku yang satu. Aku hanya diam tak menanggapinya.
Yang ditunggu akhirnya datang juga. Pemuda berkulit hitam,
rambut plontos, memakai helm yang tak ada kacanya. Aku menoleh kearah kedua
kakakku yang sedang mengintip dijendela dalam rumah. Aku melihat raut wajah
mereka, antara kecewa dan mengejek. Tapi aku tak memperdulikannya. Aku segera
pamit ke ayah dan ibu.
"Kita mau kemana mas Bilal?"
"Ke kampusku, dek."
"Ngapain?"
"Ada deh. Yang pasti kamu ndak akan menyesal."
Sepanjang perjalanan kami hanya diam membisu, sampai
akhirnya kami sampai di kampusnya Bilal.
"Ada kajian tentang menutup aurat."
"Seriusan?"
Bilal hanya mentapku dan tersenyum. Melihat itu aku langsung
menunduk.
Aku mendengarkan dengan seksama isi kajian itu. Tidak rugi
Bilal mengajakku menghadiri kajian ini, banyak ilmu yang aku catat. Salah
satunya menutup aurat itu hukumnya wajib bagi muslim maupun muslimah. Aurat
muslim dari pusar perut sampai lutut, sedangkan bagi muslimah seluruh badan
kecuali wajah dan telapak tangan.
"Kita mampir ke mushola dulu, adzan maghrib sebentar
lagi."
"Tapi mas, ntar kalau dimarahin ayah gimana? Sudah
malam lho?"
"Kita tidak boleh menunda sholat dek. Nanti mas yang
tanggug jawab."
Akhirnya kami sholat berjamaah di mushola yang tak jauh dari
kampusnya Bilal. Kami sholat dengan khidmat. Setelah sholat kami melanjutkan
perjalanan pulang ke rumah.
"Zulfa boleh tanya, Mas?"
"Tanya apa?"
"Tadi yang ngimamin mas Bilal ya?"
"Iya, kebetulan tadi imamnya berhalangan. Jadi mas maju
aja untuk ngimamin. Alhamdulillah, ilmu yang mas dapat bisa diamalin."
Aku terdiam lama sambil menikmati hembusan angin malam.
Lantunan ayat yang dibaca tadi menggetarkan hati. Aku jatuh cinta pada
lantunannya, sungguh.
***
Sampai rumah ayah dan ibu hanya tersenyum. Tak ada marahan
ataupun omelan. Bilal segera pamit pulang karena sudah malam.
Kedua kakakku memandangku sinis,
"Zulfa, anak ayah dan ibu yang paling cantik. Nge-date
sama pemuda hitam? What wrong?"
"Yang penting hatinya kak!" Seruku.
"Hati?" Seru mereka kemudian masuk kedalam kamar
masing-masing.
Aku terdiam sejenak dalam kamar. Mengingat wajahnya
membuatku risih, Bilal memang setahun lebih tua dariku. Tapi raut muka dan
postur tubuhnya seperti sepuluh tahun diatasku.
Jika dipandang fisik memang aku sama sekali tidak
menyukainya. Sama sekali tidak tertarik. Aku menghelang nafas panjang dan
menutup mataku.
"Kalau mau cari suami itu, yang penting agamanya dulu.
Soal wajah, harta, tahta, itu hanya bonus. Karna yang dicari akhiratnya bukan
duniawinya."
Aku tersadar, cepat-cepat aku bangun. Adzan isya'
berkumandang. Lamat-lamat aku mengingat apa yang di katakan guru agamaku.
Aku mengadah kepada yang maha Kuasa. Meminta jalan baiknya.
Wajahnya memang tidak seberapa, tapi akhlak dan agamanya membuatku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada pendengaran pertama saat ia melantunkan ayat suci Al Qur'an.
Aku tersenyum.
Oleh: Dian Al Qomariyah
Komunitas Bisa Menulis
Weleri, 4 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar