Jumat, 07 April 2017

CERPEN, Cinta Pendengaran Pertama

Cinta Pendengaran Pertama

Namaku Zulfa. Aku orang yang pendiam, pemalu, dan tidak banyak berbicara. Banyak yang mengira aku punya kelainan, yaitu menyukai sejenis. Dan parahnya kedua kakakku mengira aku lesbi, karna kedua kakakku mempunyai banyak teman lelaki. Sedangkan aku tidak.
Ayah dan ibu tidak melarang mereka bermain dengan teman-temannya. Asalkan hal itu diatas kewajaran.
Aku dibesarkan di keluarga yang biasa saja. Agamaku Islam, begitupun dengan orangtua serta kakakku. Mereka menjalankan sholat, menunaikan zakat. Tapi pengetahuan agama mereka sangat minim.
Aku meminta untuk belajar di sekolahan yang berbasis Islam. Teman lelakiku dikelas bisa di hitung jari. Aku jarang berbicara dengan mereka kecuali ada hal yang sangat penting. Selebihnya aku memilih untuk diam.
Hobiku menulis, dari sekolah dasar aku suka menulis cerita di buku catatan. Hingga pada akhirnya ketika aku masuk sekolah menengah atas, ayah membelikanku laptop. Dan dari sana aku menjadi Zulfa yang bukan pemalu.
Di dunia nyata aku memang jarang berbicara, tapi tidak di dunia maya. Aku aktif menulis, bahkan aku selalu update status apapun itu. Dari menulis kisah fiksi, non-fiksi, cara memasak, dan lainnya.
Dari sekian ribu teman lelaki di dunia Maya, hanya satu yang membuatku terpukau. Namanya Bilal, dua tahun kita chattingan tanpa mengetahui muka satu sama lain. Aku sering menggunakan foto profil bunga, sedangkan dia sangat suka dengan Naruto.
Kita sering bertukar pikiran tengan gaya kepenulisan, hobi, idola, apapun kita bicarakan. Bilal setahun lebih tua dariku, dia meneruskan sekolahnya di universitas kotaku. Dan sekarang kami tinggal di tempat yang sama. Meskipun begitu, kami tidak pernah bertemu.
"Zulfa, ketemuan yuk?" Aku tersendak meskipun aku sedang tidak minum, pesan dari Bilal membuatku kaget. Sejak kapan Bilal berani mangajakku bertemu? Ah, aku lupa. Kami sudah dua tahun berkenal dan tidak pernah bertemu. Lagi pula, Bilal sedang berada di kotaku. Ntah hal apa yang membuatku berani membalas kata "oke"
"Setengah jam lagi aku sampai di rumahmu. Kirim alamatnya, jangan lupa pakai Google maps."
"Eh tunggu, kita bakal boncengan naik motor? Memangnya boleh? Kita bukan makhrom lho?"
"Banyak tanya," balasnya diselingi emot smile.
"Aku seriusan."
"Bawa tas ransel, ganjal tasmu itu diantara kita. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."
***
Tanganku panas dingin, tidak henti-hentinya aku ke toilet. Ntah mengapa aku mendadak kebelet pipis terus. Ibu dan ayah yang melihatku cuman tersenyum geli. Dan kedua kakakku tak henti-hentinya mengejekku.
"Ciyeeee, adek kakak sudah besar. Sudah tau cinta-cintaan," ledek kakakku.
"Apaan sih, orang cuman mau pergi bentar."
"Ganteng banget ya dek? Sampai nervous gitu," sindir kakakku yang satu. Aku hanya diam tak menanggapinya.
Yang ditunggu akhirnya datang juga. Pemuda berkulit hitam, rambut plontos, memakai helm yang tak ada kacanya. Aku menoleh kearah kedua kakakku yang sedang mengintip dijendela dalam rumah. Aku melihat raut wajah mereka, antara kecewa dan mengejek. Tapi aku tak memperdulikannya. Aku segera pamit ke ayah dan ibu.
"Kita mau kemana mas Bilal?"
"Ke kampusku, dek."
"Ngapain?"
"Ada deh. Yang pasti kamu ndak akan menyesal."
Sepanjang perjalanan kami hanya diam membisu, sampai akhirnya kami sampai di kampusnya Bilal.
"Ada kajian tentang menutup aurat."
"Seriusan?"
Bilal hanya mentapku dan tersenyum. Melihat itu aku langsung menunduk.
Aku mendengarkan dengan seksama isi kajian itu. Tidak rugi Bilal mengajakku menghadiri kajian ini, banyak ilmu yang aku catat. Salah satunya menutup aurat itu hukumnya wajib bagi muslim maupun muslimah. Aurat muslim dari pusar perut sampai lutut, sedangkan bagi muslimah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.
"Kita mampir ke mushola dulu, adzan maghrib sebentar lagi."
"Tapi mas, ntar kalau dimarahin ayah gimana? Sudah malam lho?"
"Kita tidak boleh menunda sholat dek. Nanti mas yang tanggug jawab."
Akhirnya kami sholat berjamaah di mushola yang tak jauh dari kampusnya Bilal. Kami sholat dengan khidmat. Setelah sholat kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
"Zulfa boleh tanya, Mas?"
"Tanya apa?"
"Tadi yang ngimamin mas Bilal ya?"
"Iya, kebetulan tadi imamnya berhalangan. Jadi mas maju aja untuk ngimamin. Alhamdulillah, ilmu yang mas dapat bisa diamalin."
Aku terdiam lama sambil menikmati hembusan angin malam. Lantunan ayat yang dibaca tadi menggetarkan hati. Aku jatuh cinta pada lantunannya, sungguh.
***
Sampai rumah ayah dan ibu hanya tersenyum. Tak ada marahan ataupun omelan. Bilal segera pamit pulang karena sudah malam.
Kedua kakakku memandangku sinis,
"Zulfa, anak ayah dan ibu yang paling cantik. Nge-date sama pemuda hitam? What wrong?"
"Yang penting hatinya kak!" Seruku.
"Hati?" Seru mereka kemudian masuk kedalam kamar masing-masing.
Aku terdiam sejenak dalam kamar. Mengingat wajahnya membuatku risih, Bilal memang setahun lebih tua dariku. Tapi raut muka dan postur tubuhnya seperti sepuluh tahun diatasku.
Jika dipandang fisik memang aku sama sekali tidak menyukainya. Sama sekali tidak tertarik. Aku menghelang nafas panjang dan menutup mataku.
"Kalau mau cari suami itu, yang penting agamanya dulu. Soal wajah, harta, tahta, itu hanya bonus. Karna yang dicari akhiratnya bukan duniawinya."
Aku tersadar, cepat-cepat aku bangun. Adzan isya' berkumandang. Lamat-lamat aku mengingat apa yang di katakan guru agamaku.
Aku mengadah kepada yang maha Kuasa. Meminta jalan baiknya. Wajahnya memang tidak seberapa, tapi akhlak dan agamanya membuatku jatuh cinta. Jatuh cinta pada pendengaran pertama saat ia melantunkan ayat suci Al Qur'an.
Aku tersenyum.

Oleh: Dian Al Qomariyah
Komunitas Bisa Menulis
Weleri, 4 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar