LAILA
Gadis cantik bertubuh ramping itu merebahkan tubuhnya pada
kasur empuk yang sudah lebih dari enam bulan setia menampung setiap tetes
airmatanya.
Mata lentik berhias eye shadow tebal itu kembali berlinang
air mata seketika setiap melirik bingkai foto yang berjejer rapi di atas meja.
Wajahnya nampak begitu lelah dengan ribuan beban yang harus
ditanggung sendiri.
Jika orang lain terbangun dari tidurnya untuk melakukan
ibadah sholat subuh, lain dengan Laila yang menggunakan waktu paginya untuk
memejamkan mata, mengistirahatkan tubuhnya dari aktifitas melelahkan semalam.
---000---
“Jadi, kemarin kamu pulang sendiri sayang?” tanya seorang
lelaki paruh baya.
“Iya, Om." Gadis itu menjawab dengan suara manja
andalannya.
“Mmm ... kasihan. Yasudah, mulai besok Om sewain supir
pribadi plus mobilnya, khusus buat anter jemput kamu.” Lelaki berkumis tebal
itu memainkan jemari rentanya pada kulit mulus sang gadis.
“Ah, gak usah repot repot Om. Kontrakan Laila kan deket dari
sini.”
“Enggak apa apa sayang. Daripada kamu kenapa-kenapa di
jalan. Gadis secantik kamu itu gak pantes jalan sendirian tengah malem.”
“Gak apa apa Om," tolak Laila seraya menuangkan cairan
merah yang memabukkan itu ke dalam gelas.
“Ayolah sayang, kemarin kamu nolak apartemen dari Om. Masa
sekarang kamu mau nolak mobil pemberian Om juga?" kata lelaki yang berusia
hampir setengah abad itu.
Setelah puas bermain dengan kulit putih nan halus, kini
tangan keriput itu usil memainkan rambut lurus Laila yang menjuntai ke bawah
saat ia menunduk menuangkan minuman.
Mata tua yang mulai dipenuhi keriput itu pun sibuk
memerhatikan setiap lekuk tubuh Laila yang tergambar jelas menggunakan seragam
kelab malam tempatnya bekerja.
Sedang gadis muda itu hanya sedikit menyunggingkan bibirnya,
senyum paksa yang harus ia suguhkan setiap kali melayani tamu yang datang.
Seperti Om Lukman ini, seorang pengusaha kaya, hampir setiap hari menghabiskan
waktu malamnya dengan minuman keras dan pelayan pelayan cantik, demi memuaskan
napsu jalangnya. Termasuk Laila.
---000---
Malam kian larut, hati yang gusar itu berjalan tanpa tujuan.
Sorot matanya tak sebening dulu. Senyum yang ia miliki,
bukan senyum tulus yang dulu sering diperlihatkan.
Terjebak pada dunia kelam membuat gadis itu terseret jauh
meninggalkan kehidupannya. ‘Ketenangan’ yang di cari, nyatanya tak kunjung di
temui.
Langkahnya terhenti.
Entah apa yang membawanya pada tempat yang sudah lebih dari
satu tahun tak pernah ia pijaki ini.
Lantunan ayat suci yang menggema, kian menyayat hati. Bening
embun di pelupuk mata pun tak kuasa di tahannya lagi.
Pikirannya kembali melayang membayang malam kelam yang lalu.
Peristiwa tragis yang tak akan pernah dilupakan seumur hidupnya.
“Mba, malam malam begini sedang apa berdiri di luar sendiri?
Kenapa tidak masuk saja.” Seseorang yang menggunakan peci sebagai penutup
kepalanya, tiba-tiba saja datang dan membuyarkan lamunan Laila.
Tanpa kata, Gadis yang matanya kian memerah itu mengalihkan
pandangan pada wajah tampan yang kini berada di hadapan.
“Astaghfirullah hal adzim ... Laila?!" seru pria itu
tak percaya. Gadis yang dulu ia kenal, kini telah berubah.
Malam yang hitam, semakin kelam. Seandainya telunjuk kanan
miliknya dapat mengeluarkan mantra sihir, ingin sekali ia menyulap wujudnya
serupa amoeba yang tak kasat oleh mata. Atau, menjadikan dirinya debu tak
bermutu yang dengan mudah tertiup angin, demi menyelamatkan dirinya dari
keadaan tak menyenangkan ini.
Tetapi tidak! Ia hanya manusia biasa tanpa kekuatan super
apapun.
Tidak ada yang bisa Laila lakukan untuk menyembunyikan
dirinya dari rasa malu, selain dengan menundukkan kepala. Menyadari pria yang
kini bersamanya adalah sosok yang begitu ia kagumi sejak dulu.
“Ya Allah, Laila! Kamu kemana saja? Masuk, ayo masuk. Nanti
saya carikan pakaian yang pantas untuk kamu.”
Laila tetap bergeming. Tubuhnya yang kaku kian beku diterpa
angin malam itu.
“Ayo Laila ... Kita bicarakan ini di dalam.” Lelaki itu tak
hentinya membujuk.
“Tidak!"
Pria yang memiliki pandangan teduh nan menyejukkan itu,
kembali menatap wajah gadis di hadapannya. Ia telah berubah, bukan lagi gadis
polos yang selalu menaati aturan-Nya.
“Kenapa? Ini rumah Allah. Dia telah menunggumu selama ini.
Kamu bisa berbagi masalah hidupmu dengan-Nya.”
Laila menyunggingkan bibirnya, tersenyum. Senyum yang
mengejek lebih tepatnya.
"Berbagi?"
“Iya, Laila. Ada apa? Apa yang terjadi denganmu satu tahun
terakhir? Kenapa kamu menghilang begitu saja dari Pesantren?"
“Kamu tanyakan saja pada Dia!! Dia tau segalanya, bukan begitu
...?" Gadis itu berteriak seraya menunjuk ke arah lafaz suci yang berdiri
tegak di atas kubah.
Kilat amarah tergambar jelas di wajah jelita itu.
Gus Amar bisa merasakan hawa panas gadis yang kini
bersamanya. Kekecewaannya terlalu dalam. Teramat sangat dalam.
“Istighfar, Laila." Gus Amar kembali mengingatkan.
“Yang kamu sebut itu Allah, Sang Maha Pencipta. Apa yang
membuat kamu menjadi seperti ini? Dia Tuhan-mu! Dia lah yang selalu mendengar
setiap do’a mu!!" Gus Amar hampir tak bisa menahan emosi. Buru-buru ia
beristigfar lalu mengucap dzikir sebelum amarah benar-benar menguasainya.
“Mendengar? Lalu di mana Dia saat seorang hambanya menangis
meminta bantuan-Nya?! Di mana Dia saat dua manusia bejat bernafsu binatang itu
merenggut kesuciannya!!” ungkap Laila dengan emosi yang membara.
Air mata kembali berderai.
Bayangan masalalu itu semakin nyata.
Begitu terbakar emosi, hingga kedua kakinya tak sanggup lagi
menopang tubuh yang kian melemah itu.
“Di mana Allah saat aku membutuhkan pertolongan-Nya? Di mana
Dia saat mereka dengan keji merampas kebahagiaanku?" Suaranya semakin
lirih, seiring dengan isak tangis yang kian tak tertahankan.
"Jangan salahkan Tuhan, Laila."
Bukan hanya Laila, lelaki bertubuh tegap itu pun bisa
merasakan kepedihan yang ia rasakan.
Mungkin tak sedalam lukanya. Tapi dia tahu, dia mengerti
penderitaan macam apa yang gadis itu rasakan.
"Bukan Dia, lalu siapa yang harus aku salahkan? Aku
selalu memercayai-Nya! Aku selalu menggantungkan seluruh harapku hanya
kepada-Nya! Tapi Dia? Dia menghianatiku! Dia telah mengecewakanku dengan
keangkuhan-Nya yang tak mau menolongku!!"
"Laila cukup!! Kendalikan dirimu!" Kedua tangannya
terkepal kuat-kuat. Berusaha menguatkan diri agar tak lepas kendali.
"Jangan lagi kamu salahkan Tuhan. Bukankah Dia telah memberimu
pilihan?"
Gadis itu mendongak, menatap Gus Amar dengan beribu
pertanyaan.
Pilihan apa yang dia maksudkan?
"Kau ingat malam itu, saat aku memintamu untuk pulang
bersama? Kamu justru menolaknya. Andaikan kamu mengiyakan permintaanku, malam
itu pasti kamu akan pulang dengan aman."
Gus Amar benar.
Di malam itu, lelaki itu telah meminta agar ia pulang
bersamanya. Tapi ia justru menolak, takut jika mereka semakin dekat,
perasaannya semakin tak terkendali. Perasaan cinta yang tanpa dasar cinta
dari-Nya.
Namun sayang, keputusannya untuk menjauh dari salah satu
putra kyai itu justru membawanya mendekat ke arah takdir yang merusak hidupnya.
Tapi, bagaimana Gus Amar tahu tentang kejadian malam itu?
"Kamu lihat ini?" Lelaki itu menggulung lengan
kemeja yang dikenakan, menunjukkan luka jahitan yang masih membekas di
tangannya.
Laila mengerutkan kening, masih belum mengerti.
"Kamu ingat, seorang pria berjubah hitam yang
membantumu lari dari dua lelaki bejat itu? Kamu ingat, bagaimana dia bersusah
payah melawan mereka demi menyelamatkanmu?"
Gadis itu tertunduk menahan pilu.
Setiap kalimat yang Gus Amar ucapkan, semakin menambah beban
kepedihan yang dalam di hatinya. Memaksanya untuk kembali mengingat malam kelam
itu, malam yang membekaskan luka teramat dalam.
Dan ingatan itu pula yang membuatnya menyadari pada sebuah
kenyataan. Tentang seseorang berjubah hitam yang berusaha membawanya pergi,
namun justru ia lukai dengan sebilah pisau yang ditemui di antara semak belukar
dan berlari seorang diri.
"Jadi, dia?"
"Iya. Itu aku, Laila. Aku yang berusaha
menyelamatkanmu. Tapi kamu malah melarikan diri." Gus itu menerangkan.
"A-aku ...."
"Aku tahu kamu tertekan. Dan lari dariku itu, adalah
keputusanmu. Allah telah mengirimku untuk menyelamatkanmu. Tapi lagi-lagi, kamu
menolak bantuanku, kan?"
Suasana terasa sepi. Sesepi hati gadis itu saat ini.
Kenyataan pahitlah yang membuat hatinya sesepi ini.
"Allah memang telah menentukan takdir bagi setiap
hamba-Nya. Tapi di setiap takdir itu, selalu ada pilihan untuk langkah
selanjutnya. Dan setiap pilihan yang kita tentukan, pasti ada konsekuensi yang
harus kita terima. Allah memintaku untuk menjagamu, tapi kamu justru menjauh.
Allah telah memerintahku untuk melindungimu, tapi kamu justru lari
dariku."
Gus Amar merendahkan nada suaranya. Berusaha menyentuh hati
Laila.
“Istighfar, Laila. Masih ada waktu untuk memperbaiki
semuanya." Gus Amar membantu membangkitkan Laila yang sedari tadi terpuruk
di tanah.
Tanpa perlawanan, Laila menggenggam erat lengan Amar.
Mencoba tegar dengan sisa tenaga yang dimiliki.
“Aku tahu betul perasaanmu saat ini, hancur itu pasti saat
kita harus kehilangan sesuatu yang selalu kita tinggikan. Ini adalah cobaan,
Laila. Tak seharusnya kamu menyikapinya dengan seperti ini. Dengan melepas
jilbabmu dan membiarkan auratmu terbuka. Apa kamu tidak pernah berpikir, sudah
berapa banyak pasang mata yang menikmati tubuhmu secara cuma-cuma?"
“Lalu, tindakan seperti apa yang harus aku lakukan? Apa
gunanya menutupi tubuh yang terlanjur kotor?! Yang aku cari selama ini hanyalah
ketenangan, ketenangan yang tak pernah ku dapatkan semenjak malam itu."
Gus Amar menghela nafas. Nafas yang terasa berat dan
menyesakkan.
“Dan sekarang, apa kamu mendapatkan ketenangan itu?"
Laila terdiam, tak mampu menjawab.
Tak bisa memungkiri bahwa kehidupannya yang sekarang justru
semakin membawanya jauh dari kata tenang.
“Masih ada waktu, Laila. Allah Maha Penerima Taubat. Kita
pulang ke pesantren, memulai semuanya dari awal."
Gus Amar berusaha menuntun Laila memasuki masjid.
“Bagaimana jika semua penduduk pesantren tau? Bagaimana
jika, Ayah Ibu tau? Mereka pasti akan mengolok-olok, mereka pasti tidak akan
menerimaku seperti dulu lagi.” Laila masih enggan.
“Aku akan menikahimu.”
Kalimat itu terdengar sangat mantap.
Laila mendongak. Mencoba mencari kesungguhan di wajah Gus
yang selalu ia kagumi.
Tidak ada sedikitpun keraguan di sana.
"Gus?"
"Aku akan menikahimu, Laila. Segera."
Air mata itu kembali jatuh.
Bukan tangis kepedihan seperti yang selama ini ia rasakan.
Melainkan karena kebahagiaan yang membuncah.
Rasa malu dan haru menyeruak menjadi satu.
Tuhan selalu menjaganya, memberinya pertolongan. Jiwa
angkuhlah yang selama ini menyesatkannya. Tapi ia justru menyalahkan Dia atas
nasib buruk yang menimpa.
Karena dalam hatinya, sedikitpun tak ada keikhlasan. Sehingga
yang terasa hanyalah kepedihan tak berkesudahan.
Keikhlasan atas segala hal yang telah ditakdirkan terjadi
padanya.
Olil Lia
Komunitas Bisa Menulis
4.4.2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar