Jumat, 21 April 2017

CERPEN, Aku Ingin Marah

Aku Ingin Marah

Aku ini susah sekali marah. Teman-teman bilang, aku itu orangnya terlalu baik. Mudah bilang maaf dan memaafkan. Padahal, menurut mereka, apa yang sering kudapati dari orang-orang di sekitarku bukan hal yang sepele. Dan itu bisa dibilang keterlaluan.
.
Pernah sekali aku dikunci dalam kamar mandi sekolah sampai keesokan paginya. Seseorang yang bernama Lian yang melakukannya. Dia dikenal sebagai ahli bully. Lumayan ganteng, tapi sikapnya banyak bikin orang sakit hati. Terutama cewek. Karena banyak yang patah hati dengan sikap phpnya, setelah itu mereka dihempaskan dalam perasaan kecewa yang mendalam karena penolakan dan rasa malu yang diperbuatnya.
.
Dia kemudian meminta maaf padaku, walau terlihat sekali terpaksa. Tapi aku menerima permohonan maafnya dengan tulus dan tanpa beban. Sebuah siluet tertangkap di wajahnya, seolah menggambarkan kekecewaan atas sikap memaafkanku yang dengan mudah diberi padanya. Tapi tak terlalu kuambil pusing sikapnya. Bagiku, tidak ada gunanya menyimpan benci, karena benci akan membuat sengsara si pemilik rasa sendiri. Jadi kupilih untuk memaafkan dan melupakannya.
.
Suatu siang, di jam istirahat sekolah, kulihat dia tengah duduk dengan teman-temannya. Entah kenapa saat tertawa lepas dengan temannya, pemandangan itu jadi sangat menarik bagiku.
.
Tak terasa pandangan ini tak mau beralih darinya. Dan saat asyik melakukan diam-diam, dia melihatku. Deg ... jantungku seketika berdegup kencang. Rasa takut mulai menghinggapi. Takut dengan pikirannya yang berkelana macam-macam dengannya, tapi lebih utama takut dengan respon langsung dia terhadapku.
.
Dalam hati berdoa, "semoga ia tidak menganggap apa-apa atas kelakuanku yang memandangnya diam-diam. Tuhan, tolong aku."
.
Ia bangkit dari tempat duduknya. Derap langkahnya perlahan terdengar semakin dekat. Jantungku terasa berdegup berkejaran bagai habis lari maraton. Jedug-jeger-bledug-plash ... dia di depanku?! Alamak, rasanya aku perlu oksigen. Seketika nafasku gelagapan. Panik. Apa yang harus kulakukan? Pingsan aja kah?
.
"Hai Dela?" Suara berwibawanya seketika membuat badanku kaku. Apa dia punya kekuatan Elsa, si frozen itu? Hingga mampu membuat orang di depannya ini jadi membeku, tak bergerak.
.
Kupaksakan mendongak, menatap wajah kharismatiknya. Walau dengan segenap kekuatan untuk melakukan gerakan simple itu, mendongak-rasanya berat banget nih leher.
.
Seperti yang kubilang tadi, dia tak terlalu ganteng, tapi saat tersenyum, bolong yang ada di pipinya itu lho, bikin ... meleleh. Wait! Maksudnya bukan bolong tanpa kulit, tapi bolong lesung pipi gitu. Agh pokoknya saat ini aku mau terbang dulu. Tuhan ... tolong pegang aku, kayaknya mau sampe ke bulan ini.
.
"Dela!" Dia memanggil lagi, membuat nyawaku kembali ke porosnya.
.
"Iya?" jawabku spontan.
.
"Hemm ...," dia tersenyum kecil, alamak meleleh ... meleleh ...," Del, ada yang mau gue omongin sama Elo. Nanti, pulang sekolah, gue tunggu di depan gerbang. Kita makan bakso di Mang Sapta, Elo ... mau gak?"
.
"Mau! Upsh!" Alamak, malu tenan ini. Kayak nafsu banget aku diajakin dia. Aduh, padahal jaim dikit kan seharusnya jadi cewek. Ketauan banget kalo kesannya aku nih tresno bingit. Emak, anakmu ada yang sudi melirik, hihiy.
.
"Hehe ... oke deh kalo gitu. Sampai jumpa nanti ya?"
.
"Iya."
.
Setelah itu dia pergi, berkumpul kembali dengan temannya.
.
"Ya ampun kenapa dia minta ketemuan? Mungkinkah aku mau dibully lagi? Karena tadi aku memandangnya diam-diam, dia ... mau menggangguku?" tanyaku dalam renungan.
.
"Eh tunggu- ... tadi dia bilang mau ngajakin makan bakso Mang Sapta? Itu maksudnya mau ngapain ya? Mungkinkah dia mau buat aku mencret? Terus ke kamar mandi, terus dikunciin lagi kayak dulu?"
.
"Agh! Bodohnya aku. Tadi gara-gara ngeliat senyumannya langsung nafsu aja ditawarin makan sama dia. Aku lupa kalo tuh orang tukang bully. Yah ... udah janji lagi. Kata guru ngaji, kalo udah janji harus ditepati, kalo gak nanti bisa tergolong orang munafik. Orang munafik salah satu perkara yang dibenci Allah. Hmm ... ya sudahlah."
.
###
.
"Dela, kenapa diam aja? Gak dimakan baksonya, gak suka ya?" tanyanya dengan lembut seolah menunjukkan perhatian seorang cowok pada cewek yang disukainya. Mungkinkah-mungkinkah-mungkinkah ... dia suka sama aku?
.
Plaaakk! Sadar Dela, GAK MUNGKIN!!!
.
"Ekh, nggak kok, aku suka. Cuma sengaja nungguin biar dingin dulu. Heehe ...," jawabku berbohong. Sebenarnya aku mengkhawatirkan makanan di depanku ini ada obat pencahar atau obat macam-macam yang bikin aku kenapa-napa, atau nggak?
.
Dengan membaca doa, mohon keselamatan pada-Nya, dari keburukan efek yang mungkin timbul saat memakan bakso di depanku. Semoga apa yang kupikirkan tidak terjadi. Dengan mantap, akhirnya kulahap juga sebutir bakso kecil.
.
"Dela ... Elo mau gak, jadi pacar gue?"
.
"Brrrruuuppt!!!" Sebuah semburan dariku, menyemburkan sebutir bakso tepat mengenai wajahnya, sebagai reaksi spontan atas tembakan perasaan tiba-tiba, dari orang yang diam-diam membuatku tertarik.
.
"Maaf-maaf!" ujarku sangat menyesal.
.
"Gak apa-apa kok Del," balasnya dengan sikap tenang.
.
"Maaf, tadi Kakak bilang apa?"
.
"Jadi pacar. Kamu mau kan?"
.
"Hmm ... bisa kasih aku waktu berpikir?"
.
"Oke. Gue kasih waktu ... 2 hari. Kalo udah lewat dari itu, gue anggap loe gak nerima gue."
.
Maaakk ... dua hari?! Hadeuh ... ya sudahlah.
.
Kujawab, persyaratannya itu dengan anggukan.
.
###
.
Garuk-garuk kepalaku yang seketika terasa gatal karena sepanjang hari memikirkannya. Memikirkan jawaban yang kuberi padanya.
.
"Diterima, apa ditolak ya? Hmm ... aku suka beneran sama dia kah? Atau cuma perasaan terpesona sementara doang, kayak sama akang Min Ho? Ya biasa kan, usia SMA lagi beger-begernya? Kalo punya pacar itu, kata temenku enak sih, bisa jalan-jalan gratis, makan gratis, hehe ... lumayan duit jajan utuh," gumamku dalam kamar, di depan kaca.
.
"Eh tunggu deh ... dia itu kan sering banget ngerjain aku. Setiap kali ngerjain wajahnya kelihatan banget senengnya, kayak orang yang bernafsu banget pengen aku menderita. Mungkinkah, beneran tuh dia nembak? Atau ... cuma buat ngerjain aku lagi? Secara kalo dipikir pake logika, dia yang banyak disenengin cewek satu angkatannya, di bawahnya, maupun kakak kelas, mana mungkin bisa kecantol sama cewek biasa, gak ada manis-manisnya juga, kayak aku? Apa yang dia suka? Jangan-jangan ...," otakku mulai memikirkan sesuatu.
.
"Kalo emang bener begitu, ya udah. Kita lihat aja. Dan selama ngeliat itu, kan lumayan tuh, pulang ada yang nganterin, makan gratis, uang jajan utuh. Oke deh."
.
###
.
Kami pun akhirnya resmi pacaran. Dan tak terasa sudah satu minggu kami menjalaninya. Hanya saja, ada perasaan yang mengganjal. Setiap kali bersamanya berdua, entah mengapa ada rasa gak nyaman di hati. Bawaannya pengen kabur, enggak mau deket-deket.
.
Kata orang kalo cinta itu, bawaannya kita selalu pengen dekat dia. Dan wajahnya selalu terbayang tiap saat.
.
Aku memang selalu membayangkannya sih. Senang tiap kali mengingatnya, kayak ada kembang-kembang yang bertebaran di hati gitu. Tapi ... kenapa tiap kali deket dengannya perasaan ini malah gugup dan deg-degan pengen segera menjauh. Gak mampu deket lama-lama, bawaannya gak enak, karena berada di situasi yang meresahkan? Cinta, atau bukan sih ini?
.
Sikap lebih banyak diam dan tak banyak bicara selalu kulakukan saat bersamanya. Walhasil perasaan canggung itu membuatku ingin segera melepaskan diri darinya. Aku pun menunggu-nunggu saat dia memutuskanku. Kebersamaanku dengannya, membuatku seperti tak bebas mengekspresikan diri saat di dekatnya. Rasanya sesak, pengen segera lepas.
.
Tapi, kalo bilang putus duluan, bisa-bisa aku kena bully parah sama dia. Entar dia malah bertindak semena-mena sama aku, karena bikin dia malu nantinya. Seorang Lian, yang jadi pujaan banyak cewek di sekolah, diputusin duluan sama cewek biasa? Hufffhh ... maka itu, aku selalu bersikap membosankan di depannya, tetap tak mau bicara panjang, dan tertawa sekedarnya aja saat dia melucu.
.
"Dela, kamu udah dateng?" ujarnya begitu aku datang memenuhi janjinya, yang minta ketemuan pas jam istirahat di belakang gedung sekolah.
.
Agak janggal saat dia memintaku bertemu di sini, tempat yang tak terlihat lalu lalang siswa. Lebih tepatnya, sepi dari pandangan siswa lainlah.
.
"Hmm ... iya, ada apa Li?"
.
"Gue sayang sama Lho, Dela." Setelah mengucapkannya, ada perasaan bingung yang menggelayut. Tiba-tiba ... dia mendekatkan wajahnya di depanku. Kalo di adegan film yang pernah kutonton, kayaknya dia mau nyosor deh.
.
What?? Nyosor? Mati gue! Harus ngapain nih?
.
Dalam kegugupan dada yang semakin berdegup saling berkejaran, dan wajah yang semakin dekat membuatku kalut. Tiba-tiba kudorong badannya dengan kuat, hingga ia terbentur tembok. Kulihat ia meringis kecil.
.
"Maaf Lian, kamu gak kenapa-napa kan?"
.
"Kenapa loe dorong gue?"
.
"Hmm itu ... itu karena ... maaf kamu terlalu dekat wajahnya dengan aku. Takut kebablasan, he ...," jawabku sambil tersenyum yang dipaksakan.
.
"Maksudmu kebablasan?"
.
"Kamu mau ... nyium aku kan? Maaf ... kalo aku kege-eran."
.
"Iya. Gue emang mau nyium Lo! Emang gak boleh? Kan kita udah pacaran?"
.
"Itu ... iya, hmm ... tapi ... masalahnya, aku gak bisa ciuman."
.
"Ya udah, gue ajarin. Mau gaya apa gue akan bantu lo."
.
"Bu-bu-bukan, bukan itu maksudnya. Aku ... gak bisa hubungan fisik sebelum nikah. Gak mau melakukan sama orang yang bukan suamiku."
.
"Suami? Ya ampun Del, Elo polos banget. Biasa aja kali, anak seumuran kita, kalo ciuman itu udah biasa. Jangan kuno agh!"
.
"Maaf ... tapi aku tetep gak bisa, kita balik aja ke kelas masing-masing yuk!"
.
"Kalo loe emang gak mau. Oke, berarti kita putus aja, gimana?"
.
Putus? Serius? Wuahhh ... kata-kata itu yang udah ditunggu sejak lama, akhirnya ... makasih ya Allah, akhirnya aku bisa putus juga. Hore!!!!
.
"Hmm ... kalo ... emang ... kamu ... maunya begitu ... ya udah kita putus aja."
.
"APA??? Loe serius mau kita putus?"
.
"Ya, kalo memang itu maunya kamu ya udah. Maaf aku gak membuatmu nyaman dan membahagiakanmu. Aku memang gak pantas ngedampingi kamu, ada banyak gadis lain yang mungkin suka yang lebih- segalanya dari aku. Maafin aku ya Lian. Aku memang terburuk dari semua cewek yang pernah pacaran sama kamu. Makasih udah membuat hidupku penuh warna selama ini. Sekarang aku membebaskanmu untuk bisa lebih bahagia lagi, walau mungkin bukan denganku." Sengaja kurendahkan diriku di depannya dan menaik-naikkan harga dirinya, agar dia tak terlalu marah dengan keputusanku, dan tidak merasa dirinya telah diabaikan dan tak berarti di depan orang yang sama sekali gak penting seperti aku.
.
"Jadi loe beneran mau kita putus?"
.
"Bukannya kamu yang minta tadi? Aku cuma gak mau ngekang kamu."
.
"Oke, kita PUTUS!"
.
"Ya udah, kalo gitu permisi ... Lian. Dan maafin aku ya."
.
Saat kaki ini hendak melangkah, kudengar suara gaduh di belakangku. Seketika aku berbalik. Kulihat tawa cekikikan dari beberapa orang, yang kutahu mereka adalah teman-teman Lian yang berjumlah empag orang.
.
"Wuah Lian, lho gagal buat nyium dia. Berarti, gue yang menang ya kali ini. Elo emang berhasil buat diri Loe, diterima oleh cewek manapun yang disuka. Tapi kalo ciuman, Loe gak berhasil buat seorang gadis polos kayak Dela mau. Berarti, pemenang taruhan kali ini, gue yang menang ya? Haha ...," wajah Beni tampak sumringah sambil memegang segepok uang di tangannya.
.
"Maaf, maksudnya apa?" tanyaku yang spontan terucap ikut nimbrung, karena penasaran dengan maksud perkataan Beni.
.
"Hehe ... sorry Del, kita-kita jadiin Elo barang taruhan, soalnya Elo kan, orangnya gak marahan, jadi asyik bikin kita-kita buat bahan permainan."
.
Asyik? Hmm ... aneh. Kalau di film-film, ini adegan yang dramatis, mengharu biru bikin perasaan teriris ingin meringis, kan? Tapi kenapa enjoy aja ya? Malah seneng, karena ada orang yang susah-susah mau ngorbanin duitnya buat orang gak penting kayak aku, dan dijadiin taruhan. Hihi ... aku jadi tersanjung, kayak hebat gitu, dilirik dan dianggap ada, walau hanya sebagai barang taruhan.
.
"Iya gapapa. Hmm ...kalo bisa, kalian jangan ngelakuin itu lagi ya ke orang lain. Ya ... aku cuma takut aja mereka yang diginiin sama kalian, gak bersikap kayak aku. Takutnya mereka malah bunuh diri atau bertindak diluar akal. Terus, duit yang kalian dapat dari taruhan juga kan, gak halal dan gak akan bikin berkah. Lebih baik cari uang yang berkah aja. Hmm ... permisi ya semuanya ... assalamualaikum."
.
"Wa-wa-waalaikumsalam," jawab mereka bersamaan terdengar gugup dan nampak berpandangan kosong melihatku.
.
Dalam hati aku sangat senang, akhirnya aku dan Lian putus juga. LEGAAAAAA ... Hufffhh ...
.
###
.
"Jiahhh ... Lian, kita gagal lagi bikin tuh cewek marah. Padahal kalo cewek lain, pasti udah basah tuh muka. Gila bener tuh cewek, gak punya emosi kali ya? Nyerah gue bikin tuh cewek marah, susah banget. Jangan-jangan, dia dilahirin cacat emosi kali, atau waktu pembagian emosi di akhirat sebelum dilahirkan ke dunia, tuh dia bangun kesiangan, jadi keabisan jatah emosi buat dia. Haha ...," seru Beni pada Lian.
.
Yang ditatap hanya diam seribu bahasa. Dalam hati ia merasa kesal, karena lagi-lagi gagal membuat gadis bernama Dela itu menunjukkan kemarahannya. Selain itu juga dia kesal, karena gadis tanpa amarah itu tidak mudah ditaklukan. Dalam kamusnya, tak pernah ada yang diputuskan dengan mudah dan menolak diciumnya seperti yang dilakukan Dela. Bahkan justru gadis-gadis lain, tanpa diminta mereka nyosor sendiri.
.
Kenyataan bahwa ada cewek yang tak bereaksi apa-apa selama di dekatnya, membuat amarahnya bangkit. Ia bertekad, suatu hari nanti, gadis yang menurutnya menyebalkan itu, akan dia buat nangis dan mengeluarkan emosinya.
Tamat

Carita Naonweh
Komunitas Bisa Menulis
Selasa, 18 april 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar