Aku Ingin Marah
Aku ini susah sekali marah. Teman-teman bilang, aku itu
orangnya terlalu baik. Mudah bilang maaf dan memaafkan. Padahal, menurut
mereka, apa yang sering kudapati dari orang-orang di sekitarku bukan hal yang
sepele. Dan itu bisa dibilang keterlaluan.
.
Pernah sekali aku dikunci dalam kamar mandi sekolah sampai
keesokan paginya. Seseorang yang bernama Lian yang melakukannya. Dia dikenal
sebagai ahli bully. Lumayan ganteng, tapi sikapnya banyak bikin orang sakit
hati. Terutama cewek. Karena banyak yang patah hati dengan sikap phpnya,
setelah itu mereka dihempaskan dalam perasaan kecewa yang mendalam karena
penolakan dan rasa malu yang diperbuatnya.
.
Dia kemudian meminta maaf padaku, walau terlihat sekali
terpaksa. Tapi aku menerima permohonan maafnya dengan tulus dan tanpa beban.
Sebuah siluet tertangkap di wajahnya, seolah menggambarkan kekecewaan atas
sikap memaafkanku yang dengan mudah diberi padanya. Tapi tak terlalu kuambil
pusing sikapnya. Bagiku, tidak ada gunanya menyimpan benci, karena benci akan
membuat sengsara si pemilik rasa sendiri. Jadi kupilih untuk memaafkan dan
melupakannya.
.
Suatu siang, di jam istirahat sekolah, kulihat dia tengah
duduk dengan teman-temannya. Entah kenapa saat tertawa lepas dengan temannya,
pemandangan itu jadi sangat menarik bagiku.
.
Tak terasa pandangan ini tak mau beralih darinya. Dan saat
asyik melakukan diam-diam, dia melihatku. Deg ... jantungku seketika berdegup
kencang. Rasa takut mulai menghinggapi. Takut dengan pikirannya yang berkelana
macam-macam dengannya, tapi lebih utama takut dengan respon langsung dia
terhadapku.
.
Dalam hati berdoa, "semoga ia tidak menganggap apa-apa
atas kelakuanku yang memandangnya diam-diam. Tuhan, tolong aku."
.
Ia bangkit dari tempat duduknya. Derap langkahnya perlahan
terdengar semakin dekat. Jantungku terasa berdegup berkejaran bagai habis lari
maraton. Jedug-jeger-bledug-plash ... dia di depanku?! Alamak, rasanya aku
perlu oksigen. Seketika nafasku gelagapan. Panik. Apa yang harus kulakukan?
Pingsan aja kah?
.
"Hai Dela?" Suara berwibawanya seketika membuat
badanku kaku. Apa dia punya kekuatan Elsa, si frozen itu? Hingga mampu membuat
orang di depannya ini jadi membeku, tak bergerak.
.
Kupaksakan mendongak, menatap wajah kharismatiknya. Walau
dengan segenap kekuatan untuk melakukan gerakan simple itu, mendongak-rasanya
berat banget nih leher.
.
Seperti yang kubilang tadi, dia tak terlalu ganteng, tapi
saat tersenyum, bolong yang ada di pipinya itu lho, bikin ... meleleh. Wait!
Maksudnya bukan bolong tanpa kulit, tapi bolong lesung pipi gitu. Agh pokoknya
saat ini aku mau terbang dulu. Tuhan ... tolong pegang aku, kayaknya mau sampe
ke bulan ini.
.
"Dela!" Dia memanggil lagi, membuat nyawaku
kembali ke porosnya.
.
"Iya?" jawabku spontan.
.
"Hemm ...," dia tersenyum kecil, alamak meleleh
... meleleh ...," Del, ada yang mau gue omongin sama Elo. Nanti, pulang
sekolah, gue tunggu di depan gerbang. Kita makan bakso di Mang Sapta, Elo ...
mau gak?"
.
"Mau! Upsh!" Alamak, malu tenan ini. Kayak nafsu
banget aku diajakin dia. Aduh, padahal jaim dikit kan seharusnya jadi cewek.
Ketauan banget kalo kesannya aku nih tresno bingit. Emak, anakmu ada yang sudi
melirik, hihiy.
.
"Hehe ... oke deh kalo gitu. Sampai jumpa nanti ya?"
.
"Iya."
.
Setelah itu dia pergi, berkumpul kembali dengan temannya.
.
"Ya ampun kenapa dia minta ketemuan? Mungkinkah aku mau
dibully lagi? Karena tadi aku memandangnya diam-diam, dia ... mau
menggangguku?" tanyaku dalam renungan.
.
"Eh tunggu- ... tadi dia bilang mau ngajakin makan
bakso Mang Sapta? Itu maksudnya mau ngapain ya? Mungkinkah dia mau buat aku
mencret? Terus ke kamar mandi, terus dikunciin lagi kayak dulu?"
.
"Agh! Bodohnya aku. Tadi gara-gara ngeliat senyumannya
langsung nafsu aja ditawarin makan sama dia. Aku lupa kalo tuh orang tukang
bully. Yah ... udah janji lagi. Kata guru ngaji, kalo udah janji harus
ditepati, kalo gak nanti bisa tergolong orang munafik. Orang munafik salah satu
perkara yang dibenci Allah. Hmm ... ya sudahlah."
.
###
.
"Dela, kenapa diam aja? Gak dimakan baksonya, gak suka
ya?" tanyanya dengan lembut seolah menunjukkan perhatian seorang cowok
pada cewek yang disukainya. Mungkinkah-mungkinkah-mungkinkah ... dia suka sama
aku?
.
Plaaakk! Sadar Dela, GAK MUNGKIN!!!
.
"Ekh, nggak kok, aku suka. Cuma sengaja nungguin biar
dingin dulu. Heehe ...," jawabku berbohong. Sebenarnya aku mengkhawatirkan
makanan di depanku ini ada obat pencahar atau obat macam-macam yang bikin aku
kenapa-napa, atau nggak?
.
Dengan membaca doa, mohon keselamatan pada-Nya, dari
keburukan efek yang mungkin timbul saat memakan bakso di depanku. Semoga apa
yang kupikirkan tidak terjadi. Dengan mantap, akhirnya kulahap juga sebutir
bakso kecil.
.
"Dela ... Elo mau gak, jadi pacar gue?"
.
"Brrrruuuppt!!!" Sebuah semburan dariku,
menyemburkan sebutir bakso tepat mengenai wajahnya, sebagai reaksi spontan atas
tembakan perasaan tiba-tiba, dari orang yang diam-diam membuatku tertarik.
.
"Maaf-maaf!" ujarku sangat menyesal.
.
"Gak apa-apa kok Del," balasnya dengan sikap
tenang.
.
"Maaf, tadi Kakak bilang apa?"
.
"Jadi pacar. Kamu mau kan?"
.
"Hmm ... bisa kasih aku waktu berpikir?"
.
"Oke. Gue kasih waktu ... 2 hari. Kalo udah lewat dari
itu, gue anggap loe gak nerima gue."
.
Maaakk ... dua hari?! Hadeuh ... ya sudahlah.
.
Kujawab, persyaratannya itu dengan anggukan.
.
###
.
Garuk-garuk kepalaku yang seketika terasa gatal karena
sepanjang hari memikirkannya. Memikirkan jawaban yang kuberi padanya.
.
"Diterima, apa ditolak ya? Hmm ... aku suka beneran
sama dia kah? Atau cuma perasaan terpesona sementara doang, kayak sama akang
Min Ho? Ya biasa kan, usia SMA lagi beger-begernya? Kalo punya pacar itu, kata
temenku enak sih, bisa jalan-jalan gratis, makan gratis, hehe ... lumayan duit
jajan utuh," gumamku dalam kamar, di depan kaca.
.
"Eh tunggu deh ... dia itu kan sering banget ngerjain
aku. Setiap kali ngerjain wajahnya kelihatan banget senengnya, kayak orang yang
bernafsu banget pengen aku menderita. Mungkinkah, beneran tuh dia nembak? Atau
... cuma buat ngerjain aku lagi? Secara kalo dipikir pake logika, dia yang
banyak disenengin cewek satu angkatannya, di bawahnya, maupun kakak kelas, mana
mungkin bisa kecantol sama cewek biasa, gak ada manis-manisnya juga, kayak aku?
Apa yang dia suka? Jangan-jangan ...," otakku mulai memikirkan sesuatu.
.
"Kalo emang bener begitu, ya udah. Kita lihat aja. Dan
selama ngeliat itu, kan lumayan tuh, pulang ada yang nganterin, makan gratis,
uang jajan utuh. Oke deh."
.
###
.
Kami pun akhirnya resmi pacaran. Dan tak terasa sudah satu
minggu kami menjalaninya. Hanya saja, ada perasaan yang mengganjal. Setiap kali
bersamanya berdua, entah mengapa ada rasa gak nyaman di hati. Bawaannya pengen
kabur, enggak mau deket-deket.
.
Kata orang kalo cinta itu, bawaannya kita selalu pengen
dekat dia. Dan wajahnya selalu terbayang tiap saat.
.
Aku memang selalu membayangkannya sih. Senang tiap kali
mengingatnya, kayak ada kembang-kembang yang bertebaran di hati gitu. Tapi ...
kenapa tiap kali deket dengannya perasaan ini malah gugup dan deg-degan pengen
segera menjauh. Gak mampu deket lama-lama, bawaannya gak enak, karena berada di
situasi yang meresahkan? Cinta, atau bukan sih ini?
.
Sikap lebih banyak diam dan tak banyak bicara selalu
kulakukan saat bersamanya. Walhasil perasaan canggung itu membuatku ingin
segera melepaskan diri darinya. Aku pun menunggu-nunggu saat dia memutuskanku.
Kebersamaanku dengannya, membuatku seperti tak bebas mengekspresikan diri saat
di dekatnya. Rasanya sesak, pengen segera lepas.
.
Tapi, kalo bilang putus duluan, bisa-bisa aku kena bully
parah sama dia. Entar dia malah bertindak semena-mena sama aku, karena bikin
dia malu nantinya. Seorang Lian, yang jadi pujaan banyak cewek di sekolah,
diputusin duluan sama cewek biasa? Hufffhh ... maka itu, aku selalu bersikap
membosankan di depannya, tetap tak mau bicara panjang, dan tertawa sekedarnya
aja saat dia melucu.
.
"Dela, kamu udah dateng?" ujarnya begitu aku
datang memenuhi janjinya, yang minta ketemuan pas jam istirahat di belakang
gedung sekolah.
.
Agak janggal saat dia memintaku bertemu di sini, tempat yang
tak terlihat lalu lalang siswa. Lebih tepatnya, sepi dari pandangan siswa
lainlah.
.
"Hmm ... iya, ada apa Li?"
.
"Gue sayang sama Lho, Dela." Setelah
mengucapkannya, ada perasaan bingung yang menggelayut. Tiba-tiba ... dia
mendekatkan wajahnya di depanku. Kalo di adegan film yang pernah kutonton,
kayaknya dia mau nyosor deh.
.
What?? Nyosor? Mati gue! Harus ngapain nih?
.
Dalam kegugupan dada yang semakin berdegup saling
berkejaran, dan wajah yang semakin dekat membuatku kalut. Tiba-tiba kudorong
badannya dengan kuat, hingga ia terbentur tembok. Kulihat ia meringis kecil.
.
"Maaf Lian, kamu gak kenapa-napa kan?"
.
"Kenapa loe dorong gue?"
.
"Hmm itu ... itu karena ... maaf kamu terlalu dekat
wajahnya dengan aku. Takut kebablasan, he ...," jawabku sambil tersenyum
yang dipaksakan.
.
"Maksudmu kebablasan?"
.
"Kamu mau ... nyium aku kan? Maaf ... kalo aku
kege-eran."
.
"Iya. Gue emang mau nyium Lo! Emang gak boleh? Kan kita
udah pacaran?"
.
"Itu ... iya, hmm ... tapi ... masalahnya, aku gak bisa
ciuman."
.
"Ya udah, gue ajarin. Mau gaya apa gue akan bantu
lo."
.
"Bu-bu-bukan, bukan itu maksudnya. Aku ... gak bisa
hubungan fisik sebelum nikah. Gak mau melakukan sama orang yang bukan
suamiku."
.
"Suami? Ya ampun Del, Elo polos banget. Biasa aja kali,
anak seumuran kita, kalo ciuman itu udah biasa. Jangan kuno agh!"
.
"Maaf ... tapi aku tetep gak bisa, kita balik aja ke
kelas masing-masing yuk!"
.
"Kalo loe emang gak mau. Oke, berarti kita putus aja,
gimana?"
.
Putus? Serius? Wuahhh ... kata-kata itu yang udah ditunggu
sejak lama, akhirnya ... makasih ya Allah, akhirnya aku bisa putus juga.
Hore!!!!
.
"Hmm ... kalo ... emang ... kamu ... maunya begitu ...
ya udah kita putus aja."
.
"APA??? Loe serius mau kita putus?"
.
"Ya, kalo memang itu maunya kamu ya udah. Maaf aku gak
membuatmu nyaman dan membahagiakanmu. Aku memang gak pantas ngedampingi kamu,
ada banyak gadis lain yang mungkin suka yang lebih- segalanya dari aku. Maafin
aku ya Lian. Aku memang terburuk dari semua cewek yang pernah pacaran sama
kamu. Makasih udah membuat hidupku penuh warna selama ini. Sekarang aku
membebaskanmu untuk bisa lebih bahagia lagi, walau mungkin bukan
denganku." Sengaja kurendahkan diriku di depannya dan menaik-naikkan harga
dirinya, agar dia tak terlalu marah dengan keputusanku, dan tidak merasa
dirinya telah diabaikan dan tak berarti di depan orang yang sama sekali gak
penting seperti aku.
.
"Jadi loe beneran mau kita putus?"
.
"Bukannya kamu yang minta tadi? Aku cuma gak mau
ngekang kamu."
.
"Oke, kita PUTUS!"
.
"Ya udah, kalo gitu permisi ... Lian. Dan maafin aku
ya."
.
Saat kaki ini hendak melangkah, kudengar suara gaduh di
belakangku. Seketika aku berbalik. Kulihat tawa cekikikan dari beberapa orang,
yang kutahu mereka adalah teman-teman Lian yang berjumlah empag orang.
.
"Wuah Lian, lho gagal buat nyium dia. Berarti, gue yang
menang ya kali ini. Elo emang berhasil buat diri Loe, diterima oleh cewek
manapun yang disuka. Tapi kalo ciuman, Loe gak berhasil buat seorang gadis
polos kayak Dela mau. Berarti, pemenang taruhan kali ini, gue yang menang ya?
Haha ...," wajah Beni tampak sumringah sambil memegang segepok uang di
tangannya.
.
"Maaf, maksudnya apa?" tanyaku yang spontan
terucap ikut nimbrung, karena penasaran dengan maksud perkataan Beni.
.
"Hehe ... sorry Del, kita-kita jadiin Elo barang
taruhan, soalnya Elo kan, orangnya gak marahan, jadi asyik bikin kita-kita buat
bahan permainan."
.
Asyik? Hmm ... aneh. Kalau di film-film, ini adegan yang
dramatis, mengharu biru bikin perasaan teriris ingin meringis, kan? Tapi kenapa
enjoy aja ya? Malah seneng, karena ada orang yang susah-susah mau ngorbanin
duitnya buat orang gak penting kayak aku, dan dijadiin taruhan. Hihi ... aku
jadi tersanjung, kayak hebat gitu, dilirik dan dianggap ada, walau hanya sebagai
barang taruhan.
.
"Iya gapapa. Hmm ...kalo bisa, kalian jangan ngelakuin
itu lagi ya ke orang lain. Ya ... aku cuma takut aja mereka yang diginiin sama
kalian, gak bersikap kayak aku. Takutnya mereka malah bunuh diri atau bertindak
diluar akal. Terus, duit yang kalian dapat dari taruhan juga kan, gak halal dan
gak akan bikin berkah. Lebih baik cari uang yang berkah aja. Hmm ... permisi ya
semuanya ... assalamualaikum."
.
"Wa-wa-waalaikumsalam," jawab mereka bersamaan
terdengar gugup dan nampak berpandangan kosong melihatku.
.
Dalam hati aku sangat senang, akhirnya aku dan Lian putus
juga. LEGAAAAAA ... Hufffhh ...
.
###
.
"Jiahhh ... Lian, kita gagal lagi bikin tuh cewek
marah. Padahal kalo cewek lain, pasti udah basah tuh muka. Gila bener tuh
cewek, gak punya emosi kali ya? Nyerah gue bikin tuh cewek marah, susah banget.
Jangan-jangan, dia dilahirin cacat emosi kali, atau waktu pembagian emosi di
akhirat sebelum dilahirkan ke dunia, tuh dia bangun kesiangan, jadi keabisan
jatah emosi buat dia. Haha ...," seru Beni pada Lian.
.
Yang ditatap hanya diam seribu bahasa. Dalam hati ia merasa
kesal, karena lagi-lagi gagal membuat gadis bernama Dela itu menunjukkan
kemarahannya. Selain itu juga dia kesal, karena gadis tanpa amarah itu tidak
mudah ditaklukan. Dalam kamusnya, tak pernah ada yang diputuskan dengan mudah
dan menolak diciumnya seperti yang dilakukan Dela. Bahkan justru gadis-gadis
lain, tanpa diminta mereka nyosor sendiri.
.
Kenyataan bahwa ada cewek yang tak bereaksi apa-apa selama
di dekatnya, membuat amarahnya bangkit. Ia bertekad, suatu hari nanti, gadis
yang menurutnya menyebalkan itu, akan dia buat nangis dan mengeluarkan
emosinya.
Tamat
Carita Naonweh
Komunitas Bisa Menulis
Selasa, 18 april 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar