MARI, SAYANG
Kusisakan abu, Sayang. Merebak ia dari cerlang menjadi buram
sebelum nanar tatap mataku gaib oleh cahaya dan langut pada tempat
terbungkamnya napasmu yang dulu riuh utuh tanpa keping.
Sebagai kekasih maut, aku membenci keabadian dalam menulis
satu nama. Kecuali engkau, tentu saja! Tetapi kepadanya, ia hanya sebuah
persinggahan sejenak kala lelah muntah dan membasahi dadaku. Garing sekeping
tawa, kucincang bersama kesedihan yang sedianya akan kupakai bekal untuk
menemuimu.
Hari ini, sebuah cerita sunyi kukebiri sebelum waktunya,
kupotong sebagian kelaminnya lalu kubayangkan ia akan menjadi sebait puisi
untuk mengenang ketiadaanku kelak. Bukan sebagai banding, sebab dari luruh
tubuhmu, ribuan kali telah kusamak sajak tak tertanding, bahkan melebihi
nyawaku sendiri.
Ini hanya cerita sepenggal yang kupenggal dari kecurangan.
Semata ingin kubuktikan kepadamu bahwa aku masihlah perempuan cekatan dalam
bercinta, membenci dan dicaci-maki. Lalu menusuk dada kekasihnya sendiri
sebelum berangsur ke tepi.
Mari bersulang, Sayang. Untuk gairah baru, mimpi dan mati
yang baru pula. Mari bercinta dengan kutuk sebelum jasad tunduk dan beku
menjadi batu.
(Untuk yang telah pergi)
Yuanda Isha
Komunitas Sastra Nusantara
Bintan, 09042017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar