Senin, 17 April 2017

CERPEN, MALAIKAT-MALAIKAT TANIA

 MALAIKAT-MALAIKAT TANIA

“Tania harus tetap melanjutkan kuliah, Nak. Ibu dan Ayah yang akan berusaha,” Ibu berkata pelan, saat keluarga kecil itu sedang makan siang dengan lauk seadanya.
“Tapi sulit, Bu. Kita tidak ada uang untuk biaya kuliahnya. Tidak apa Tania hanya selesai SMA, nanti biar bisa lebih banyak membantu Ayah dan Ibu,” kata Tania. Menerima.
“Tidak boleh. Kamu harus kuliah, Tania. Kamu anak pintar. Tidak boleh hanya berhenti sampai SMA. Biar Kak Nadia saja yang bekerja.” Kak Nadia menyahut. Ucapannya benar-benar serius.
Semua terdiam. Jika sudah Kak Nadia yang bicara, semuanya sungguh serius. Tidak ada main-main dengan ucapannya.
Jadilah, besoknya, Kak Nadia bekerja. Pagi berjualan gorengan buatan ibu. Berkeliling sampai habis. Kadang sampai sore. Setelah itu, malamnya membantu di warung makan. Mencuci piring atau apa saja yang bisa dikerjakan. Demi Tania, adik satu-satunya agar bisa kuliah.
Ayah Tania sebenarnya sakit. Kaki kanannya patah karena tertabrak mobil saat berjualan dipan. Kakinya tertimpa dipan dan barang jualannya itu rusak. Beruntung, nyawanya masih selamat dan si pengendara mobil bertanggung jawab.
Sejak kejadian itu, Ayah Tania berhenti berjualan. Berganti kerja serabutan. Apa saja. Kadang membantu membersihkan kebun jika ada yang meminta tenaganya, menyiangi rumput, atau menjadi tukang sapu jalan. Semuanya untuk Tania. Mengingat masa depan anak bungsunya itu harus lebih baik dari dirinya. Keras kehidupan membuatnya jauh lebih tegar. Melupakan rasa sakit.
Sedang, Ibu Tania setiap hari membuat gorengan. Untuk dijual oleh Kak Nadia. Setelah itu membuat anyaman rotan, kerajinan. Apapun yang bisa dijual.
Beberapa bulan kemudian, kelulusan Tania dari SMA. Biaya untuk kuliah sudah sedikit terkumpul. Semoga cukup untuk mendaftar.
“Belajar yang benar ya, Nak!” Pesan Ibu Tania sehari sebelum anak gadisnya itu berangkat ke Yogyakarta. Melanjutkan sekolah disana.
“Pasti, Bu. Pasti. Tania tidak akan mengecewakan Ayah, Ibu, dan Kak Nadia,”
“Jangan lupa berdo’a selalu ya, Tan!” Kak Nadia mengingatkan.
“Iya kak. Tania tidak akan pernah lupa.”
-
Tania berjalan mantap. Ratusan pasang mata menatapnya kagum. Apalagi tiga pasang mata di barisan kursi ketiga, benar-benar menangis. Bangga.
Hari ini wisuda. Gedung aula salah satu unuiversitas ternama di Yogyakarta itu penuh oleh wisudawan dan orang tuanya. Terlihat jelas wajah-wajah dengan senyum bahagia. Beberapa menangis saking senangnya.
Tania mulai memberi sambutan, setelah dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Cumlaude. Hari ini hari bahagianya. Lima tahun dengan perjuangan dan air mata, tidak pernah sia-sia.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” Suara Tania bergetar memulai perkataan. Suasana hening seketika. Semua memperhatikan.
“Tania bersyukur kepada Allah atas anugrah yang telah diberikan-Nya hari ini. Pada Tania. Pada teman-teman Tania,”
“Tania tidak pernah menyangka bisa berdiri di atas sini. Berbicara di depan bapak, ibu, dan teman-teman yang hadir disini. Ini semua karena kebesaran Allah, dan kerja keras kita selama ini,”
Tenang. Setiap yang hadir mendengarkan perkataan Tania.
“Tania sangat berterima kasih pada Ayah dan Ibu. Atas semua pengorbanannya, sampai Tania bisa menyelesaikan pendidikan di universitas ini. Tania benar-benar berterima kasih. Semua lelah Ayah dan Ibu membanting tulang, tidak pernah sia-sia,” Suaaranya mulai serak.
“Meski kami adalah keluarga dengan segala keterbatasan, tapi cinta Ayah dan Ibu tidak pernah terbatas. Walau Ayah dan Ibu tidak pernah bercerita, Tania tahu persis bagaimana lelahnya, saat Ayah dan Ibu tertidur. Tania benar-benar menangis jika melihat Ayah dan Ibu tertidur saking lelahnya bekerja,” Tania terisak. Ayah dan ibunya juga, semakin menangis.
“Juga pada Kak Nadia. Kakak Tania. Atas keinginannya bekerja demi Tania. Bekerja apa saja, asal Tania bisa sekolah. Semuanya tidak akan tergantikan.”
Tania turun dari podium. Menghambur pada Ayah, Ibu, dan Kak Nadia. Memeluk malaikat-malaikatnya. Setelah cukup banyak menyampaikan sambutan. Setelah sebagian hadirin menitikkan air mata mendengar penuturannya. Tepuk tangan terdengar riuh. Kagum.


Iqlima Hatta Wardhani
Komunitas Bisa Menulis
Cilacap, 03 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar