MALAIKAT-MALAIKAT TANIA
“Tania harus tetap melanjutkan kuliah, Nak. Ibu dan Ayah
yang akan berusaha,” Ibu berkata pelan, saat keluarga kecil itu sedang makan
siang dengan lauk seadanya.
“Tapi sulit, Bu. Kita tidak ada uang untuk biaya kuliahnya.
Tidak apa Tania hanya selesai SMA, nanti biar bisa lebih banyak membantu Ayah
dan Ibu,” kata Tania. Menerima.
“Tidak boleh. Kamu harus kuliah, Tania. Kamu anak pintar.
Tidak boleh hanya berhenti sampai SMA. Biar Kak Nadia saja yang bekerja.” Kak
Nadia menyahut. Ucapannya benar-benar serius.
Semua terdiam. Jika sudah Kak Nadia yang bicara, semuanya
sungguh serius. Tidak ada main-main dengan ucapannya.
Jadilah, besoknya, Kak Nadia bekerja. Pagi berjualan
gorengan buatan ibu. Berkeliling sampai habis. Kadang sampai sore. Setelah itu,
malamnya membantu di warung makan. Mencuci piring atau apa saja yang bisa
dikerjakan. Demi Tania, adik satu-satunya agar bisa kuliah.
Ayah Tania sebenarnya sakit. Kaki kanannya patah karena
tertabrak mobil saat berjualan dipan. Kakinya tertimpa dipan dan barang
jualannya itu rusak. Beruntung, nyawanya masih selamat dan si pengendara mobil
bertanggung jawab.
Sejak kejadian itu, Ayah Tania berhenti berjualan. Berganti
kerja serabutan. Apa saja. Kadang membantu membersihkan kebun jika ada yang
meminta tenaganya, menyiangi rumput, atau menjadi tukang sapu jalan. Semuanya
untuk Tania. Mengingat masa depan anak bungsunya itu harus lebih baik dari
dirinya. Keras kehidupan membuatnya jauh lebih tegar. Melupakan rasa sakit.
Sedang, Ibu Tania setiap hari membuat gorengan. Untuk dijual
oleh Kak Nadia. Setelah itu membuat anyaman rotan, kerajinan. Apapun yang bisa
dijual.
Beberapa bulan kemudian, kelulusan Tania dari SMA. Biaya
untuk kuliah sudah sedikit terkumpul. Semoga cukup untuk mendaftar.
“Belajar yang benar ya, Nak!” Pesan Ibu Tania sehari sebelum
anak gadisnya itu berangkat ke Yogyakarta. Melanjutkan sekolah disana.
“Pasti, Bu. Pasti. Tania tidak akan mengecewakan Ayah, Ibu,
dan Kak Nadia,”
“Jangan lupa berdo’a selalu ya, Tan!” Kak Nadia
mengingatkan.
“Iya kak. Tania tidak akan pernah lupa.”
-
Tania berjalan mantap. Ratusan pasang mata menatapnya kagum.
Apalagi tiga pasang mata di barisan kursi ketiga, benar-benar menangis. Bangga.
Hari ini wisuda. Gedung aula salah satu unuiversitas ternama
di Yogyakarta itu penuh oleh wisudawan dan orang tuanya. Terlihat jelas
wajah-wajah dengan senyum bahagia. Beberapa menangis saking senangnya.
Tania mulai memberi sambutan, setelah dinyatakan sebagai
lulusan terbaik. Cumlaude. Hari ini hari bahagianya. Lima tahun dengan
perjuangan dan air mata, tidak pernah sia-sia.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” Suara Tania
bergetar memulai perkataan. Suasana hening seketika. Semua memperhatikan.
“Tania bersyukur kepada Allah atas anugrah yang telah
diberikan-Nya hari ini. Pada Tania. Pada teman-teman Tania,”
“Tania tidak pernah menyangka bisa berdiri di atas sini.
Berbicara di depan bapak, ibu, dan teman-teman yang hadir disini. Ini semua
karena kebesaran Allah, dan kerja keras kita selama ini,”
Tenang. Setiap yang hadir mendengarkan perkataan Tania.
“Tania sangat berterima kasih pada Ayah dan Ibu. Atas semua
pengorbanannya, sampai Tania bisa menyelesaikan pendidikan di universitas ini.
Tania benar-benar berterima kasih. Semua lelah Ayah dan Ibu membanting tulang,
tidak pernah sia-sia,” Suaaranya mulai serak.
“Meski kami adalah keluarga dengan segala keterbatasan, tapi
cinta Ayah dan Ibu tidak pernah terbatas. Walau Ayah dan Ibu tidak pernah
bercerita, Tania tahu persis bagaimana lelahnya, saat Ayah dan Ibu tertidur.
Tania benar-benar menangis jika melihat Ayah dan Ibu tertidur saking lelahnya
bekerja,” Tania terisak. Ayah dan ibunya juga, semakin menangis.
“Juga pada Kak Nadia. Kakak Tania. Atas keinginannya bekerja
demi Tania. Bekerja apa saja, asal Tania bisa sekolah. Semuanya tidak akan
tergantikan.”
Tania turun dari podium. Menghambur pada Ayah, Ibu, dan Kak
Nadia. Memeluk malaikat-malaikatnya. Setelah cukup banyak menyampaikan
sambutan. Setelah sebagian hadirin menitikkan air mata mendengar penuturannya.
Tepuk tangan terdengar riuh. Kagum.
Iqlima Hatta Wardhani
Komunitas Bisa Menulis
Cilacap, 03 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar