TAKTIK
Apa yang terpikirkan oleh orang jika sebuah negara memiliki
paham ius sanguinis? Sangat menguntungkan baginya, namun berpotensi besar
merugikan negara yang berpaham ius solli secara politik. Cai Na, sebuah negara
yang menganut paham dwikewarganegaraan. Dan Endonesah dengan paham
kewarganegaraan tunggal.
Cai Na bersikeras ingin menguasai Endonesah secara
menyeluruh dengan cara berbaur dalam kancah politik melalui orang-orang yang
sudah memiliki identitas negeri dengan ribuan pulau itu, Hoak, Tan Su dan Se
Tan Ovanto.
Presiden Cai Na, Em Ping melalui agen rahasianya yaitu An
Nying, mengadakan rapat khusus di suatu tempat di Endonesah.
"Haiya.... Owe olang, halus kuasai Endonesah lewat
politik ha.... Calanya lu halus jadi pejabat ha.... Owe tunjuk Hoak buat maju
jadi gubenul di ipu kota," kata An Nying.
"Haiya.... Itu ide pakus sekali ha...," jawab Se
Tan Ovanto diamini Hoak dan Tan Su.
An Nying berkata lagi, "Lu olang halus cali pasangan
yang cocok. Tapi lu olang tilak boleh jadi gubenul langsung ha...."
Tan Su bertanya, "Haiya.... Gimana calanya? Owe tilak
tau ha...."
Hoak menyahut, "Coba jelasin dulu gimana, Nying!"
"Hoak, lu olang halus jadi wakilnya dulu. Balu nanti,
lu olang menggantikannya jadi gubenul. Jadiin gubenul itu plesiden.
Haiyaaa," ujar An Nying.
"Haiya, tapi mana mungkin owe pisa kepilih, olang-olang
apa bakal milih owe?"
"Lu olang tilak usah kuatil ha.... Nanti owe kilim
olang-olang dali Cai Na buat nambahin suala lu olang bial bisa menang pilkada
ha.... Yang penting lu olang cali dulu pasangan," kata An Nying.
***
Hoak, Tan Su dan Se Tan Ovanto pun mencari orang yang akan
dijadikan sebagai batu loncatan menuju kursi kegubernuran di ibu kota
Endonesah, Jakota. Berbagai informasi dicari, bergabung dengan satu partai
besar Pidiai yang notabene dipimpin oleh seorang perempuan keturunan presiden
pertama Endonesah dan terkenal sebagai pegadai tanah air ke berbagai bangsa,
lalu diusunglah seorang mantan gubernur kota Selow bernama Tole Sembrono. Tole
masih memiliki darah Cai Na dan dari nenek moyang yang berpaham komunis,
membuat kemungkinan besar misi kian mulus. Tiga sekawan satu misi merangkul
Tole untuk maju jadi gubernur. Wajah polos Tole Sembrono menjadi senjata ampuh
untuk mengelabuhi warga Jakota guna menarik simpati agar memilihnya jadi
gubernur berpasangan dengan Hoak.
Menjelang pilkada, Em Ping mengirimkan ratusan ribu warga
negaranya untuk menyusup ke Endosesah lengkap dengan KTP Jakota yang sudah
dipalsukan sejak di Cai Na, untuk memenangkan pasangan calon gubernur pasangan
Tole Sembrono dan Hoak.
Tole dan Hoak menang telak dalam pilkada. Tak beberapa lama
kemudian, Tole dipromosikan untuk maju sebagai calon presiden. Dengan cara yang
sama, Tole pun memenangkan pemilu. Duduklah Tole Sembrono sebagai presiden dan
Hoak seorang gubernur Jakota.
Duduk di kursi gubernur, Hoak mulai melancarkan misinya agar
sedikit demi sedikit Jakota jadi milik Cai Na. Orang-orang pribumi yang tinggal
di sepanjang pantai pinggir ibu kota, dipindahtempatk
an. Dibangunlah pulau buatan, perumahan-perum
ahan elite yang semuanya dihuni oleh orang-orang dari Cai
Na.
Tole dijadikan sebagai raja yang bisa menikmati kedudukannya
sebagai presiden dan materi. Dibuat tidak sadar dengan adanya rongrongan
melalui berbagai sektor yang dikelola pihak Cai Na. Hubungan Em Ping dan Tole
makin erat. Apalagi doktrin paham Rekonstruksi Mental milik komunis untuk
menjauhi agama yang diajarkan kepada Tole Sembrono benar-benar diterapkan.
Terbukti ketika terjadi kasus SARA di suatu daerah, ia memilih pelaku yang
diundang ke istana kepresidenan. Bukan korbannya.
Di sisi lain Em Ping semakin gencar mengirim penduduknya
untuk menetap di Endonesah sebagai pekerja, padahal mereka adalah
tentara-tentara terlatih untuk mencuri data dan menyusun strategi penguasaan.
Sementara, penduduk Endonesah mulai gerah dan mencium adanya misi yang
berbahaya dari luar negara, tapi pemerintah Endonesah tak menyadari ancaman
itu.
***
Masa jabatan sebagai gubernur Hoak akan segera habis, untuk
terus melanjutkan misi kaum sebangsanya, mau tak mau harus kembali mengajukan
diri sebagai calon gubernur Jakota periode berikutnya. Berbagai cara dilakukan.
Hoak tahu, bahwa Endonesah merupakan negara dengan mayoritas suatu agama yang
bertentangan dengan keyakinannya. Apalagi ia mendapat dukungan dari
pemuka-pemuka agama di luar Endonesah untuk terus memancing kemarahan penduduk.
Melalui kampanyenya, penjauhan agama mayoritas mulai
dilancarkan, hingga terjadilah penistaan kitab suci yang disebut sebagai suatu
kebohongan dan pembodohan. Maka, marahlah seluruh penganut agama mayoritas.
Aksi damai tak membuahkan hasil. Media diintervensi untuk memelintirkan berita.
Situs-situs resmi agama mayoritas diblokir pemerintah. Penduduk Endonesah makin
marah. Lalu terjadilah huru-hara.
Pemeluk agama mayoritas beraksi, berunjukrasa ke depan
gedung pemerintahan Endonesah, menuntut penegakkan hukum. Mendesak pemerintah
agar Hoak dipidana, namun hasilnya nihil.
Di sisi lain, pemeluk agama minoritas yang sekeyakinan
dengan Hoak telah mempersiapkan diri untuk membantu menghadapi demonstran
bersama polisi dan tentara yang telah dikuasai politik Cai Na.
Unjukrasa para pemeluk agama mayoritas sengaja tak
ditanggapi pemerintah. Pemerintah sengaja membiarkannya agar marah dan
melakukan tindak anarkis. Setelah ditunggu hingga petang para demonstran tak
melakukan pelanggaran, sekelompok provokator yang disusupkan kaum minoritas
beraksi. Dilemparkannya batu-batu ke arah aparat kepolisian. Lalu polisi
bertindak, semua mengokang senjata dan diberondongkan ke arah demonstran.
Demonstran kalang kabut. Lalu sniper-sniper di atas gedung
sekitar TKP melancarkan tembakan demi tembakan, satu persatu demonstran jatuh
tersungkur bergelimpangan.
Helikopter diterbangkan, bom-bom dijatuhkan, roket-roket
diluncurkan ke arah demonstran. Daging-daging demonstran berhamburan.
Sementara, dari pesisir pantai, berdatanganlah tentara-tentara dari negeri Cai
Na. Memasuki kota Jakota, menyebar dan membasmi semua penduduk pribumi. Jakota
dikuasai seutuhnya oleh Cai Na.
***
Subuh menjelang. Mayat-mayat bergelimpangan. Situasi sangat
mencekam, media-media memuat berita pemerintah menggagalkan aksi pemberontakan
oleh warganya. Hari beranjak siang, polisi dan tentara gabungan Endonesah-Cai
Na telah berada di jalan seluruh negara. Menembaki semua warga negara beragama
mayoritas. Hingga sore hari, separuh penduduk target sasaran mati.
Malam harinya, para polisi dan tentara gabungan itu kembali
beraksi. Dihabiskannya seluruh warga beragama mayoritas hingga hanya tersisa
sangat sedikit. Penduduk agama mayoritas yang tersisa ditangkap dan dijebloskan
ke penjara-penjara.
Esok harinya media televisi memberitakan bahwa pemerintah
telah mengubah nama negara Republik Endonesah dengan Republik Endo Cai Na yang
berpaham komunis. Presiden Tole Sembrono naik podium dan berpidato. Televisi di
ruang penjara pun dinyalakan agar disaksikan oleh semua tahanan.
"Merdeka! Merdeka! Merdeka!" katanya. Lalu
berpidato lagi, "Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Kita telah
menang melawan ideologi yang selama ini jadi penghalang Rekonstruksi Mental
kita. Mari kita lanjutkan hidup di negeri ini dengan nama Republik Endo Cai Na.
Dan, perlu saudara-saudara sekalian ketahui, bahwa saya pun beragama sama
seperti kalian yang sebelumnya minoritas. Wakil presiden kita, telah kami
singkirkan dan sekarang digantikan oleh Hoak. Taktik kita berhasil. Merdeka!
Merdeka! Merdeka!"
Setelah presiden Tole Sembrono selesai pidato, muncullah
Hoak di sampingnya. Keduanya mengepalkan tangan ke udara sambil tersenyum dan
diabadikan oleh kamera-kamera wartawan dari media-media milik orang Cai Na yang
beragama minoritas.
--- TAMAT ---
Jev Indra Delcandrevidezh
Komunitas Bisa Menulis
24 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar