Jumat, 21 April 2017

CERPEN,TAKTIK

TAKTIK
 
Apa yang terpikirkan oleh orang jika sebuah negara memiliki paham ius sanguinis? Sangat menguntungkan baginya, namun berpotensi besar merugikan negara yang berpaham ius solli secara politik. Cai Na, sebuah negara yang menganut paham dwikewarganegaraan. Dan Endonesah dengan paham kewarganegaraan tunggal.
Cai Na bersikeras ingin menguasai Endonesah secara menyeluruh dengan cara berbaur dalam kancah politik melalui orang-orang yang sudah memiliki identitas negeri dengan ribuan pulau itu, Hoak, Tan Su dan Se Tan Ovanto.
Presiden Cai Na, Em Ping melalui agen rahasianya yaitu An Nying, mengadakan rapat khusus di suatu tempat di Endonesah.
"Haiya.... Owe olang, halus kuasai Endonesah lewat politik ha.... Calanya lu halus jadi pejabat ha.... Owe tunjuk Hoak buat maju jadi gubenul di ipu kota," kata An Nying.
"Haiya.... Itu ide pakus sekali ha...," jawab Se Tan Ovanto diamini Hoak dan Tan Su.
An Nying berkata lagi, "Lu olang halus cali pasangan yang cocok. Tapi lu olang tilak boleh jadi gubenul langsung ha...."
Tan Su bertanya, "Haiya.... Gimana calanya? Owe tilak tau ha...."
Hoak menyahut, "Coba jelasin dulu gimana, Nying!"
"Hoak, lu olang halus jadi wakilnya dulu. Balu nanti, lu olang menggantikannya jadi gubenul. Jadiin gubenul itu plesiden. Haiyaaa," ujar An Nying.
"Haiya, tapi mana mungkin owe pisa kepilih, olang-olang apa bakal milih owe?"
"Lu olang tilak usah kuatil ha.... Nanti owe kilim olang-olang dali Cai Na buat nambahin suala lu olang bial bisa menang pilkada ha.... Yang penting lu olang cali dulu pasangan," kata An Nying.
***
Hoak, Tan Su dan Se Tan Ovanto pun mencari orang yang akan dijadikan sebagai batu loncatan menuju kursi kegubernuran di ibu kota Endonesah, Jakota. Berbagai informasi dicari, bergabung dengan satu partai besar Pidiai yang notabene dipimpin oleh seorang perempuan keturunan presiden pertama Endonesah dan terkenal sebagai pegadai tanah air ke berbagai bangsa, lalu diusunglah seorang mantan gubernur kota Selow bernama Tole Sembrono. Tole masih memiliki darah Cai Na dan dari nenek moyang yang berpaham komunis, membuat kemungkinan besar misi kian mulus. Tiga sekawan satu misi merangkul Tole untuk maju jadi gubernur. Wajah polos Tole Sembrono menjadi senjata ampuh untuk mengelabuhi warga Jakota guna menarik simpati agar memilihnya jadi gubernur berpasangan dengan Hoak.
Menjelang pilkada, Em Ping mengirimkan ratusan ribu warga negaranya untuk menyusup ke Endosesah lengkap dengan KTP Jakota yang sudah dipalsukan sejak di Cai Na, untuk memenangkan pasangan calon gubernur pasangan Tole Sembrono dan Hoak.
Tole dan Hoak menang telak dalam pilkada. Tak beberapa lama kemudian, Tole dipromosikan untuk maju sebagai calon presiden. Dengan cara yang sama, Tole pun memenangkan pemilu. Duduklah Tole Sembrono sebagai presiden dan Hoak seorang gubernur Jakota.
Duduk di kursi gubernur, Hoak mulai melancarkan misinya agar sedikit demi sedikit Jakota jadi milik Cai Na. Orang-orang pribumi yang tinggal di sepanjang pantai pinggir ibu kota, dipindahtempatk
an. Dibangunlah pulau buatan, perumahan-perum
ahan elite yang semuanya dihuni oleh orang-orang dari Cai Na.
Tole dijadikan sebagai raja yang bisa menikmati kedudukannya sebagai presiden dan materi. Dibuat tidak sadar dengan adanya rongrongan melalui berbagai sektor yang dikelola pihak Cai Na. Hubungan Em Ping dan Tole makin erat. Apalagi doktrin paham Rekonstruksi Mental milik komunis untuk menjauhi agama yang diajarkan kepada Tole Sembrono benar-benar diterapkan. Terbukti ketika terjadi kasus SARA di suatu daerah, ia memilih pelaku yang diundang ke istana kepresidenan. Bukan korbannya.
Di sisi lain Em Ping semakin gencar mengirim penduduknya untuk menetap di Endonesah sebagai pekerja, padahal mereka adalah tentara-tentara terlatih untuk mencuri data dan menyusun strategi penguasaan. Sementara, penduduk Endonesah mulai gerah dan mencium adanya misi yang berbahaya dari luar negara, tapi pemerintah Endonesah tak menyadari ancaman itu.
***
Masa jabatan sebagai gubernur Hoak akan segera habis, untuk terus melanjutkan misi kaum sebangsanya, mau tak mau harus kembali mengajukan diri sebagai calon gubernur Jakota periode berikutnya. Berbagai cara dilakukan. Hoak tahu, bahwa Endonesah merupakan negara dengan mayoritas suatu agama yang bertentangan dengan keyakinannya. Apalagi ia mendapat dukungan dari pemuka-pemuka agama di luar Endonesah untuk terus memancing kemarahan penduduk.
Melalui kampanyenya, penjauhan agama mayoritas mulai dilancarkan, hingga terjadilah penistaan kitab suci yang disebut sebagai suatu kebohongan dan pembodohan. Maka, marahlah seluruh penganut agama mayoritas. Aksi damai tak membuahkan hasil. Media diintervensi untuk memelintirkan berita. Situs-situs resmi agama mayoritas diblokir pemerintah. Penduduk Endonesah makin marah. Lalu terjadilah huru-hara.
Pemeluk agama mayoritas beraksi, berunjukrasa ke depan gedung pemerintahan Endonesah, menuntut penegakkan hukum. Mendesak pemerintah agar Hoak dipidana, namun hasilnya nihil.
Di sisi lain, pemeluk agama minoritas yang sekeyakinan dengan Hoak telah mempersiapkan diri untuk membantu menghadapi demonstran bersama polisi dan tentara yang telah dikuasai politik Cai Na.
Unjukrasa para pemeluk agama mayoritas sengaja tak ditanggapi pemerintah. Pemerintah sengaja membiarkannya agar marah dan melakukan tindak anarkis. Setelah ditunggu hingga petang para demonstran tak melakukan pelanggaran, sekelompok provokator yang disusupkan kaum minoritas beraksi. Dilemparkannya batu-batu ke arah aparat kepolisian. Lalu polisi bertindak, semua mengokang senjata dan diberondongkan ke arah demonstran.
Demonstran kalang kabut. Lalu sniper-sniper di atas gedung sekitar TKP melancarkan tembakan demi tembakan, satu persatu demonstran jatuh tersungkur bergelimpangan.
Helikopter diterbangkan, bom-bom dijatuhkan, roket-roket diluncurkan ke arah demonstran. Daging-daging demonstran berhamburan. Sementara, dari pesisir pantai, berdatanganlah tentara-tentara dari negeri Cai Na. Memasuki kota Jakota, menyebar dan membasmi semua penduduk pribumi. Jakota dikuasai seutuhnya oleh Cai Na.
***
Subuh menjelang. Mayat-mayat bergelimpangan. Situasi sangat mencekam, media-media memuat berita pemerintah menggagalkan aksi pemberontakan oleh warganya. Hari beranjak siang, polisi dan tentara gabungan Endonesah-Cai Na telah berada di jalan seluruh negara. Menembaki semua warga negara beragama mayoritas. Hingga sore hari, separuh penduduk target sasaran mati.
Malam harinya, para polisi dan tentara gabungan itu kembali beraksi. Dihabiskannya seluruh warga beragama mayoritas hingga hanya tersisa sangat sedikit. Penduduk agama mayoritas yang tersisa ditangkap dan dijebloskan ke penjara-penjara.
Esok harinya media televisi memberitakan bahwa pemerintah telah mengubah nama negara Republik Endonesah dengan Republik Endo Cai Na yang berpaham komunis. Presiden Tole Sembrono naik podium dan berpidato. Televisi di ruang penjara pun dinyalakan agar disaksikan oleh semua tahanan.
"Merdeka! Merdeka! Merdeka!" katanya. Lalu berpidato lagi, "Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Kita telah menang melawan ideologi yang selama ini jadi penghalang Rekonstruksi Mental kita. Mari kita lanjutkan hidup di negeri ini dengan nama Republik Endo Cai Na. Dan, perlu saudara-saudara sekalian ketahui, bahwa saya pun beragama sama seperti kalian yang sebelumnya minoritas. Wakil presiden kita, telah kami singkirkan dan sekarang digantikan oleh Hoak. Taktik kita berhasil. Merdeka! Merdeka! Merdeka!"
Setelah presiden Tole Sembrono selesai pidato, muncullah Hoak di sampingnya. Keduanya mengepalkan tangan ke udara sambil tersenyum dan diabadikan oleh kamera-kamera wartawan dari media-media milik orang Cai Na yang beragama minoritas.
--- TAMAT ---

Jev Indra Delcandrevidezh
Komunitas Bisa Menulis
24 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar