AKHIRI KISAHKU DENGAN INDAH
.
Termenung ..., rumah sederhana ini menyimpan banyak
kenangan. Eyang Putri nampak tenang di kursi goyang. Aku menghampirinya.
Perempuan renta itu adalah orang terpenting bagi Jhon, selain aku.
.
"Jhon sudah tenang di sana, Nak Tasya. Sebaiknya
pulanglah ke keluargamu. Anak-anak pasti merindumu," Eyang mengusirku
dengan sangat halus.
.
Aku ini memang nekad. Bukan pula perempuan baik-baik.
Bagaimana tidak? Suamiku seorang dokter terkenal dan Jhon adalah pasiennya.
.
Pada suatu waktu aku sidak ke rumah sakit. Perawat tidak
banyak yang mengenaliku sebagai istri dokter Teddy. Dari balik kaca pintu aku
mendapati suamiku sedang bercumbu mesra dengan seorang dokter muda. Darahku
mulai mendidih, aku mundur dan hendak mendobrak pintu. Seseorang mencegahku.
Lelaki tampan, namun aku lihat ia nampak meringis memegangi kepalanya.
.
"Ibu, mau apa? Jangan bikin gaduh, ini rumah
sakit," katanya.
.
"Bu, saya butuh dokter Teddy sekarang. Apapun masalah
Ibu, tolong mengalahlah untuk saya. Please ...."
.
Suamiku ahli kanker, pasti lelaki ini penderita kanker. Aku
mundur dan menata napas. Lelaki itu mengetuk pintu ruangan. Mengapa pintu
praktek dikunci dari dalam? Seharusnya tidak begitu.
.
"ketuk yang keras, Mas! Dokternya lagi pacaran itu di
dalam!" kataku ketus masih penuh emosi.
.
Lelaki itu menatapku. Tatapannya aneh. Seperti meminta belas
kasihan. Entahlah, orang sakit memang selalu nampak pucat dan memelas.
Pintu dibuka oleh dokter muda nan cantik itu. Dokter Anita.
.
"Mari Pak Jhon."
.
Sekilas dia melihatku dan tersenyum. Mungkin mengira aku
istri si pasien. Aku ikutan masuk. Suamiku nampak gugup dan panik. Tanpa
menanyaiku ia langsung menangani Jhon. Benar dugaanku, si Jhon mulai mengaduh,
memegangi kepalanya dan muntah. Kemudian sebuah suntikan cukup menenangkannya.
Mungkin obat tidur. Jhon lemah dan terdiam.
.
"Kamu .... Kenapa ke sini? Anak-anak sama siapa?"
tanya suamiku setelah pasiennya tertidur. Dokter Anita melangkah menjauh ke
ruangan lain.
.
"Tunggu!" aku meraih tangannya.
.
"Iya Ibu, ada yang bisa saya bantu?"
.
"Saya Tasya, istri Dokter Teddy," mataku
menantangnya.
.
"Oh ...."
.
Anita nampak panik, raut wajahnya memerah.
.
"Aku tahu apa yang kalian lakukan tadi,"
pandanganku beralih ke Teddy. Aku bisa laporkan kamu ke pihak rumah sakit, biar
dipindah atau dipecat!" kataku mengancam.
.
"Anita, pergilah! Biar aku yang hadapi istriku."
Teddy memberi isyarat agar Anita segera menjauh. Perempuan itu memang bersegera
berlalu.
.
Teddy menarik lenganku kasar, "Pulanglah! Nanti kita
selesaikan di rumah. Aku urus pasienku dulu. Dia sudah kritis. Kanker di
kepalanya sudah menyebar. Waktunya tidak banyak lagi."
.
Aku tidak sepenuhnya menuruti perintah dia. Sejam aku
menunggu di luar ruangan. Seorang perempuan tua menyusul, si Jhon keluar
ruangan, aku mengikuti sampai ke rumahnya. Hampir setiap hari aku
mengunjunginya. Suamiku tahu itu dan diam saja. Mungkin merasa bersalah dan
memberiku kesempatan balas dendam. Mungkin perasaanku terhadap Jhon hanya
sebentuk rasa kasihan semata. Namun aku mulai begitu sayang dan takut
kehilangannya.
.
"Tasya, apa yang kamu lakukan padaku? Ini tidak bener.
Pulanglah. Aku merasa bersalah sama Dokter Teddy. Suamimu itu sudah telaten
merawatku sejak enam bulan yang lalu. Jangan membuatku dalam posisi sulit
begini."
.
"Biar aja, Jhon. Toh Teddy diam saja kok, tidak marah
dan melarangku. Cintanya juga tak ada lagi buatku. Dia sama Anita ...."
.
Mataku berkaca-kaca, Jhon mengusapnya, "Bersabarlah,
Sya. Kuatkan hatimu. Paling tidak kamu masih bisa bersyukur, tubuhmu sehat.
Punya suami terpandang, anak-anak yang lucu. Sementara aku, tinggal menunggu
ajalku. Kata suamimu tak lebih dari 100 hari lagi."
.
"Berapapun sisa waktu yang kaupunya, Jhon. Aku akan
menemanimu."
.
***
"Kumohon lakukan yang terbaik untuknya, carikan obat
terbaik, aku yang menanggung biayanya." Aku bersimpuh di kaki Teddy.
.
"Kamu sudah gila, Sya? Sebenarnya kalau dia berobat
lebih awal, masih ada harapan. Dia ke sini sudah sangat parah. Kamu cinta
dia?"
.
"Iya, aku akan menemaninya dan menjadi keluarganya.
Nyaman sekali di sana. Tidak seperti di rumahmu. Aku tak lebih seperti
pembantu. Ibumu juga sengak padaku. Hanya ayahmu yang bersikap baik selama ini
-- parahnya kamupun tak setia lagi. Jadi apa yang musti dipertahankan?
Anak-anak? Anak kita kan dua. Bawa satu--satu, beres. Aku atau kamu yang urus
perceraian kita?" Aku melenggang berlalu dari hadapan Teddy. Setiap kali
keluar rumah aku pamit kursus nyetir mobil ke ibu mertuaku, dan menitip
anak-anak.
.
***
Kondisi Jhon memburuk, aku membawanya rawat inap, sampai
kapanpun aku akan menjagainya.
.
"Jhon, kita menikah yuk. Aku sudah minta cerai suamiku.
Aku ingin bersamamu di surga nanti. Tidak dengan Teddy."
.
"Tasya, terima kasih kamu sudi menemaniku. Hari-hari
terakhirku begitu indah," terngiang kata-kata terakhirnya.
.
Tamat.
Sulastri Widji
Komunitas Bisa Menulis
AE, 06042017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar