Senin, 03 April 2017

CERPEN, Segepok Uang untuk IBU


Segepok Uang Untuk Ibu
Oleh: NuNa
Komunitas Bisa Menulis

Gadis remaja berusia tiga belas tahun, tinggal bersama ibunya yang sudah renta
Di sebuah rumah kecil bertembok kardus
Ayahnya entah pergi kemana. Sudah hampir sepuluh tahun menghilang tanpa kabar.
Wina sangat sedih mendengarkan cerita bahwa ayahnya sudah tiada, tapi gadis itu lebih percaya dengan omongan orang-orang sekitar rumahnya. Bahwa ayahnya telah menjadi orang sukses dan memiliki keluarga yang jauh lebih baik dibanding keluarganya yang dulu.
Wina sangat bangga dengan ayahnya tapi dia pun kecewa kepada sang ayah yang meninggalkan, keluarga kecilnya, gadis itu paham mengapa ibunya mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal.
Mungkin ibunya tidak ingin Wina kecewa dan membenci ayahnya tapi gadis remaja itu sudah terlanjur kecewa.
Gadis kecil itu sudah tidak ingin lagi mempertanyakan tentang ayahnya, dia tidak ingin ibunya menangis.
Meskipun ingin bersekolah lagi tapi Wina lebih memilih untuk berhenti sekolah, setelah tamat Sekolah Dasar. Karena tidak memiliki biaya, terutama jika melihat teman-teman sebayanya pergi ke sekolah berseragam putih biru.
Hanya sekali keinginan itu disampaikan pada ibunya setelah itu tidak lagi, sudah bisa makan dan berteduh saja sudah lebih dari cukup pikirnya.
Bu Nurbaya membelai rambut anak gadis semata wayangnya, "kamu harus jadi orang hebat Nduk, tidak boleh nangisan, jangan melakukan perbuatan yang dilarang," ucapnya pada Wina dengan penuh cinta. Bu Nurbaya sangat menyanyangi Wina. Tapi akhir-akhir ini beliau jarang sekali mengelus rambut anak gadisnya. Ibu-nya lebih sering tidur duluan dari pada Wina. Mungkin kecapean karena kerja seharian, mencuci dan menyetrika baju tetangga dari situlah mereka makan dan berjualan nasi bungkus.
*******
Wina dan ibunya sudah tidak bisa berjualan nasi bungkus karena tidak ada modal untuk berjualan, gas yang mahal, minyak tanah, beras dan kebutuhan yang lain yang makin menggila.
Bu Nurbaya merasa sekujur badannya sakit, menyuruh Wina menggantikannya di rumah, Bu Gita. Yang berada di kampung sebelah.
Meski keringat bercucuran tapi Wina tidak mengeluh dia tetap bersemangat menuju rumah Bu Gita, tidak ingin membuat pelanggan-nya kecewa, karena setrikaan tidak beres, karena pelanggannya yang satu ini sangatlah teliti.
Setelah selesai menyetrika Wina berpamitan untuk pulang, dia membawa serantang makanan pemberian bu Gita.
Ibunya telah menunggu di rumah sambil berbaring di atas kasur yang sudah tidak layak pakai. Meski terlihat pucat pasi beliau tetap tersenyum. Melihat Wina pulang, Wina langsung mengambil makan untuk ibunya tidak berpikir untuk mandi atau makan lebih dulu.
Pergi ke kamar ibunya dengan membawa semangkuk nasi bersiap menyiapi ibunya, dilihatnya makanan tadi siang, yang tidak bergerak sedikitpun dari samping dipan.
Bu Nurbaya batuk-batuk saat Wina menyuapinya, melihat Wina khawatir, pun Nurbaya tersenyum." Ibu tidak apa-apa, kamu mandi dan istirahat," ucap Bu Nurbaya. Wina hanya mengangguk tidak beranjak dari duduknya, melihat ibunya penuh rasa khawatir.
"Ibu tidak apa-apa," mengulang kembali ucapannya. Gadis itu hanya mengangguk dan mengulurkan air putih dalam gelas plastik yang kusam oleh noda teh.
Tidak dapat mencegah rasa gatal di tenggorokan, batuknya sudah tidak terkendali, tangannya menekan dada dan tangan kiri berada di atas mulut dan di bawah hidung.
Bantuk ibunya semakin menggila, sampai badannya terguncang, Wina meringis mendengar batuk ibunya, air matanya mengalir begitu deras.
Tidak ingin Wina tahu bahwa beliau mengeluarkan darah, Bu Nurbaya mencari alasan agar Wina mau meninggalkannya.
"Wina, huk huk huk, pergilah mandi lalu makan huk huk huk, "untuk sekedar bicara saja bu Nurbaya kesulitan.
***********
Satu bulan sudah Bu Nurbaya belum membaik, keadaannya semakin memprihatinkan, bahkan tidak sanggup lagi untuk duduk. Obat yang Wina beli di warung tidak membantu, Wina mengusulkan agar ibunya mau dibawa ke Pukesmas," nanti Wina akan minta tolong kepada Bu Lita agar mau mengantar," usul Wina
" tidak perlu, tidak baik merepotkan orang lain, "jawabnya menolak.
Bu Nurbaya sadar bahwa beliau tidak memiliki uang kecuali untuk makan satu bulan mendatang.
Gadis remaja itu pergi, meninggalkan ibunya yang sedang berbaring di kasur sebelum berangkat ke rumah bu Gita, Wina berniat untuk berpamitan tapi diurungkan niat itu, karena melihat ibunya tertidur pulas. Gadis remaja itu menyalami dan mencium kening ibunya tanpa membangunkan, tidak perduli dengan bau yang menyeruak sejak ibunya tidak dapat mengendalikan kencing dan berak, menarik selimut untuk ibunya, sebelum berangkat ke rumah Bu Gita.
Rumah bu Gita rumah itu terkunci, Wina baru sadar bahwa bu Gita, pergi ke rumah suaminya untuk menghadiri pesta ulang tahun sepupu.
Gadis itu, berjalan menjauhi rumah Bu Gita, berjalan tanpa arah, tidak punya uang walau sepeser, matanya terhenti pada sebuah tas hitam yang tergeletak pada kursi kayu di depan sebuah warung.
Kursi berada di antara meja dan tembok, jadi, lumanyan tersembunyi dan orang tidak akan melihatnya kecuali jika berada di kursi panjang itu, mungkin milik pelanggan warung tersebut, jantungnya berdebar-debar, perut mendadak mulas, melihat kanan-kiri, lalu mendekatkan kakinya ke arah tas itu, di lihatnya anak-anak menggendong keranjang besar, tapi tidak ada yang memperhatikannya, ibu-ibu menyapu halaman tapi terlalu jauh untuk mendapat apa yang akan Wina lakukan.
Rasa tegang menyelimuti, perutnya makin melilit, dia teringat akan nasehat ibunya, bahwa mengambil barang yang bukan hak kita itu tidak baik, tapi gadis itu terpaksa mengambilnya.
"Aku tidak mencuri, aku menemukannya,"
ucapnya dalam batin.
Dia berjalan meraih tas hitam, dia tidak tahu, apa yang berada di dalamnya, berharap ada cukup uang untuk berobat ibunya.
"Hai bocah sedang apa kau!" Wina menoleh dengan perasaan takut, sesaat seorang laki-laki meneriakinya, Wina berlari meninggalkan warung itu.
Sepertinya, dia sudah berlari sangat jauh, dibukanya tas itu, lalu diambilnya uang segepok yang berada di dalam tas itu.
"He! berhenti kau bocah!" teriak orang-orang yang mengejarnya, Wina merasakan gemetar di kaki dan tangannya.
Gadis itu terus berlari menghindari amukan warga yang kalap.
*****
Wina telah sampai di rumah,dilihatnya ibunya yang berbaring lemas,
"Bu, Wina punya uang untuk membawa ibu ke Pukesmas,"ucapnya dengan air mata yang berlinang.
Tapi bu Nurbaya tidak merespon Wina matanya masih terpejam, gadis itu mengoyang-goyangkan tubuh ibunya tetap tidak ada respon, matanya terpejam, tubuhnya tidak bergerak.
"Bu, Bangun!
Sementara orang-orang itu, sudah berada di depan rumahnya. Melempari batu-batu dan berteriak-teria
k.
Tangan dan kakinya gemetar, gadis remaja itu ketakutan, dilihatnya ibunya yang berbaring dengan tenang.
Tanpa disadarinya uang jatuh dari tangannya, lalu menangis di pelukan sang ibu.
End
Treng-020417
Tanggal 1 April jam 17:44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar