Segepok
Uang Untuk Ibu
Oleh:
NuNa
Komunitas
Bisa Menulis
Gadis
remaja berusia tiga belas tahun, tinggal bersama ibunya yang sudah renta
Di
sebuah rumah kecil bertembok kardus
Ayahnya
entah pergi kemana. Sudah hampir sepuluh tahun menghilang tanpa kabar.
Wina
sangat sedih mendengarkan cerita bahwa ayahnya sudah tiada, tapi gadis itu
lebih percaya dengan omongan orang-orang sekitar rumahnya. Bahwa ayahnya telah
menjadi orang sukses dan memiliki keluarga yang jauh lebih baik dibanding
keluarganya yang dulu.
Wina
sangat bangga dengan ayahnya tapi dia pun kecewa kepada sang ayah yang
meninggalkan, keluarga kecilnya, gadis itu paham mengapa ibunya mengatakan
bahwa ayahnya telah meninggal.
Mungkin
ibunya tidak ingin Wina kecewa dan membenci ayahnya tapi gadis remaja itu sudah
terlanjur kecewa.
Gadis
kecil itu sudah tidak ingin lagi mempertanyakan tentang ayahnya, dia tidak
ingin ibunya menangis.
Meskipun
ingin bersekolah lagi tapi Wina lebih memilih untuk berhenti sekolah, setelah
tamat Sekolah Dasar. Karena tidak memiliki biaya, terutama jika melihat
teman-teman sebayanya pergi ke sekolah berseragam putih biru.
Hanya
sekali keinginan itu disampaikan pada ibunya setelah itu tidak lagi, sudah bisa
makan dan berteduh saja sudah lebih dari cukup pikirnya.
Bu
Nurbaya membelai rambut anak gadis semata wayangnya, "kamu harus jadi
orang hebat Nduk, tidak boleh nangisan, jangan melakukan perbuatan yang
dilarang," ucapnya pada Wina dengan penuh cinta. Bu Nurbaya sangat
menyanyangi Wina. Tapi akhir-akhir ini beliau jarang sekali mengelus rambut
anak gadisnya. Ibu-nya lebih sering tidur duluan dari pada Wina. Mungkin
kecapean karena kerja seharian, mencuci dan menyetrika baju tetangga dari
situlah mereka makan dan berjualan nasi bungkus.
*******
Wina
dan ibunya sudah tidak bisa berjualan nasi bungkus karena tidak ada modal untuk
berjualan, gas yang mahal, minyak tanah, beras dan kebutuhan yang lain yang
makin menggila.
Bu
Nurbaya merasa sekujur badannya sakit, menyuruh Wina menggantikannya di rumah,
Bu Gita. Yang berada di kampung sebelah.
Meski
keringat bercucuran tapi Wina tidak mengeluh dia tetap bersemangat menuju rumah
Bu Gita, tidak ingin membuat pelanggan-nya kecewa, karena setrikaan tidak
beres, karena pelanggannya yang satu ini sangatlah teliti.
Setelah
selesai menyetrika Wina berpamitan untuk pulang, dia membawa serantang makanan
pemberian bu Gita.
Ibunya
telah menunggu di rumah sambil berbaring di atas kasur yang sudah tidak layak
pakai. Meski terlihat pucat pasi beliau tetap tersenyum. Melihat Wina pulang,
Wina langsung mengambil makan untuk ibunya tidak berpikir untuk mandi atau
makan lebih dulu.
Pergi
ke kamar ibunya dengan membawa semangkuk nasi bersiap menyiapi ibunya,
dilihatnya makanan tadi siang, yang tidak bergerak sedikitpun dari samping
dipan.
Bu
Nurbaya batuk-batuk saat Wina menyuapinya, melihat Wina khawatir, pun Nurbaya
tersenyum." Ibu tidak apa-apa, kamu mandi dan istirahat," ucap Bu
Nurbaya. Wina hanya mengangguk tidak beranjak dari duduknya, melihat ibunya
penuh rasa khawatir.
"Ibu
tidak apa-apa," mengulang kembali ucapannya. Gadis itu hanya mengangguk
dan mengulurkan air putih dalam gelas plastik yang kusam oleh noda teh.
Tidak
dapat mencegah rasa gatal di tenggorokan, batuknya sudah tidak terkendali,
tangannya menekan dada dan tangan kiri berada di atas mulut dan di bawah
hidung.
Bantuk
ibunya semakin menggila, sampai badannya terguncang, Wina meringis mendengar
batuk ibunya, air matanya mengalir begitu deras.
Tidak
ingin Wina tahu bahwa beliau mengeluarkan darah, Bu Nurbaya mencari alasan agar
Wina mau meninggalkannya.
"Wina,
huk huk huk, pergilah mandi lalu makan huk huk huk, "untuk sekedar bicara
saja bu Nurbaya kesulitan.
***********
Satu
bulan sudah Bu Nurbaya belum membaik, keadaannya semakin memprihatinkan, bahkan
tidak sanggup lagi untuk duduk. Obat yang Wina beli di warung tidak membantu,
Wina mengusulkan agar ibunya mau dibawa ke Pukesmas," nanti Wina akan
minta tolong kepada Bu Lita agar mau mengantar," usul Wina
"
tidak perlu, tidak baik merepotkan orang lain, "jawabnya menolak.
Bu
Nurbaya sadar bahwa beliau tidak memiliki uang kecuali untuk makan satu bulan
mendatang.
Gadis
remaja itu pergi, meninggalkan ibunya yang sedang berbaring di kasur sebelum
berangkat ke rumah bu Gita, Wina berniat untuk berpamitan tapi diurungkan niat
itu, karena melihat ibunya tertidur pulas. Gadis remaja itu menyalami dan
mencium kening ibunya tanpa membangunkan, tidak perduli dengan bau yang
menyeruak sejak ibunya tidak dapat mengendalikan kencing dan berak, menarik
selimut untuk ibunya, sebelum berangkat ke rumah Bu Gita.
Rumah
bu Gita rumah itu terkunci, Wina baru sadar bahwa bu Gita, pergi ke rumah
suaminya untuk menghadiri pesta ulang tahun sepupu.
Gadis
itu, berjalan menjauhi rumah Bu Gita, berjalan tanpa arah, tidak punya uang
walau sepeser, matanya terhenti pada sebuah tas hitam yang tergeletak pada
kursi kayu di depan sebuah warung.
Kursi
berada di antara meja dan tembok, jadi, lumanyan tersembunyi dan orang tidak
akan melihatnya kecuali jika berada di kursi panjang itu, mungkin milik
pelanggan warung tersebut, jantungnya berdebar-debar, perut mendadak mulas,
melihat kanan-kiri, lalu mendekatkan kakinya ke arah tas itu, di lihatnya
anak-anak menggendong keranjang besar, tapi tidak ada yang memperhatikannya,
ibu-ibu menyapu halaman tapi terlalu jauh untuk mendapat apa yang akan Wina
lakukan.
Rasa
tegang menyelimuti, perutnya makin melilit, dia teringat akan nasehat ibunya,
bahwa mengambil barang yang bukan hak kita itu tidak baik, tapi gadis itu
terpaksa mengambilnya.
"Aku
tidak mencuri, aku menemukannya,"
ucapnya
dalam batin.
Dia
berjalan meraih tas hitam, dia tidak tahu, apa yang berada di dalamnya,
berharap ada cukup uang untuk berobat ibunya.
"Hai
bocah sedang apa kau!" Wina menoleh dengan perasaan takut, sesaat seorang
laki-laki meneriakinya, Wina berlari meninggalkan warung itu.
Sepertinya,
dia sudah berlari sangat jauh, dibukanya tas itu, lalu diambilnya uang segepok
yang berada di dalam tas itu.
"He!
berhenti kau bocah!" teriak orang-orang yang mengejarnya, Wina merasakan
gemetar di kaki dan tangannya.
Gadis
itu terus berlari menghindari amukan warga yang kalap.
*****
Wina
telah sampai di rumah,dilihatnya ibunya yang berbaring lemas,
"Bu,
Wina punya uang untuk membawa ibu ke Pukesmas,"ucapnya dengan air mata
yang berlinang.
Tapi
bu Nurbaya tidak merespon Wina matanya masih terpejam, gadis itu
mengoyang-goyangkan tubuh ibunya tetap tidak ada respon, matanya terpejam,
tubuhnya tidak bergerak.
"Bu,
Bangun!
Sementara
orang-orang itu, sudah berada di depan rumahnya. Melempari batu-batu dan
berteriak-teria
k.
Tangan
dan kakinya gemetar, gadis remaja itu ketakutan, dilihatnya ibunya yang
berbaring dengan tenang.
Tanpa
disadarinya uang jatuh dari tangannya, lalu menangis di pelukan sang ibu.
End
Treng-020417
Tanggal
1 April jam 17:44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar