Undangan Misterius
Oleh: Rianto Adrelas
Komunitas Bisa Menulis
Di
ujung komplek tempatku tinggal ada sebuah rumah. Rumah itu lumayan besar dan
bahkan megah. Halaman yang luas nampak indah saat cahaya sang surya bersinar di
rumput nan hijau. Tapi, itu dulu. Sekarang? Rumah itu tak ubahnya markas
binatang malam. Ratusan kelelawar banyak berkeliaran di dalam bahkan sampai
keluar. Jika malam tiba, rumah itu selalu menjadi buah bibir bagi para warga.
Terutama penghuni rumah terdekat. Banyak cerita-cerita menakutkan dari mereka.
Namun sejauh ini aku belum mempercayai, karena belum melihat dengan mata kepala
sendiri.
Tepat
jam sembilan malam aku sampai di pintu gerbang. Selama tiga tahun saat
dibiarkan kosong baru pertama ini aku melihat langsung keadaannya. Rumah itu
memang sungguh menyeramkan. Seluruh benda baik yang berbahan alami, seperti
dedaunan dan ranting-ranting pohon juga rumput liar berserakan di mana-mana.
Ditambah lagi dengan benda-benda hasil buatan manusia. Tembok rumah yang dulu
mentereng dengan warna cerahnya, kini penuh dengan coretan dan gambar sosok
manusia. Manusia yang sudah mati maksudku.
Sebelum
turun dari motor, aku mengambil sebuah kertas yang bertuliskan kalimat
mengundang, namun juga berupa tantangan sekaligus ejekan.
>>~~
Ratusan manusia menyangka, ribuan rahasia akan terungkap. Jika kau merasa
manusia yang bersifat satria datang dan lihat segera! Orang penakut dan
pengecut akan mengabaikan surat ini. Ribuan rahasia akan terkubur dalam rumah
tanpa penghuni. Aku jamin kau tidak berani datang di rumah yang penuh tanda
tanya. Kau akan menyesal jika datang saat siang hari. Lebih menyesal lagi jika
mengabaikan surat ini.~~>>>>
Kurang
lebih sudah 15 kali aku melihat dan membaca surat ini. Awalnya memang tak aku
pedulikan. Tapi melihat kata-katanya, juga mendengar ucapan para tetangga
jiwaku merasa tertantang. Rasa penasaran yang menggebu menjalar di seluruh
tubuhku. "Aku bukan manusia pengecut, aku bukan lelaki penakut."
ucapan itu yang selalu terlontar dalam benakku, saat membaca surat.
Kalian
tentu bertanya-tanya, mengapa aku datang sendiri. Bukan karena aku sok berani,
tapi karena keadaan yang memaksaku melakukan ini. Beberapa teman dekatku
menolak aku ajak ke sini. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan aku gila karena
mau saja ngurusi surat misterius menurut mereka.
"Kamu
masih sadarkan, apa yang kamu ucapkan barusan?" kata salah seorang temanku
saat aku ajak beberapa jam yang lalu. "Aku memang belum pernah melihat
sendiri keadaan rumah itu, tapi dari cerita-cerita dan peringatan para tetua di
sini sudah membuat aku berfikir ribuan kali untuk datang bahkan cuma melihat ke
sana. Apa kamu lupa cerita Pak Soleh? Beliau hampir mati saat melihat tiga
pocong yang hampir membunuhnya. Belum lagi cerita yang lainnya."
Krekk!!
Aku membentangkan sepasang alis saat langkahku menginjak sesuatu. Pikiranku
kembali sedikit lebih tenang ketika kutau hanya ranting kering yang tadi sempat
mengejutkan hati. Perlahan aku terus melangkah. Walau aku sadar, rasa ngeri
telah bersemayam dalam hati tapi aku harus tetap maju. Demi melihat semuanya,
demi tau apa dan rahasia apa aku harus tetap sampai kedalam sana.
Ketika
memasuki halaman keadaan semakin gelap. Lampu senter yang kubawa semakin
kuperkecil titik fokusnya. Maksudnya untuk mempertajam pencahayaan, tapi rupanya
tidak begitu membantu.
Wuttt!!!
Tiba-tiba pintu terbuka. Aku terbelalak. Jantungku berdetak kencang, sedang
aliran darahku semakin cepat.
"Apakah
benar rumah ini berhantu?" batinku. Dengan dada berdebar aku terus
melangkah, memasuki rumah itu. Tidak seperti di luar tadi, di sini langkah
terasa sangat berat. Bulu kuduk mulai berdiri. Aku teringat kata-kata temanku,
saat bulu kuduk berdiri, itu pertanda mahluk halus berada dekat di sisi kita.
Semakin aku berfikir ke sana, semakin aku membenarkan perkataan temanku semakin
merinding aku dibuatnya. Kini bukan bulu kuduk saja, tengkuk pun terasa dingin.
"Tuhan,
kuatkan aku." Dalam hati aku terus berdo'a. Semoga tidak terjadi apa-apa.
Brakk!!
Sebuah benda terbanting ke lantai. Secepat kilat aku berpaling ke arah sebelah
kiri. Dalam keterkejutan aku berteriak, "Siapa itu?" Segera aku
melangkah ke depan. "Langit-langit," dengusku saat mengetahui benda
yang jatuh tadi. Senter aku arahkan ke atas.
Aku
terbelalak. Teriakan keras meluncur dari mulut. Suaraku yang bergetar menggema
dalam ruangan. Tangan yang memegang senter bergetar hebat. Dalam lubang bekas
langit-langit atap tadi sekilas aku melihat sosok perempuan. Rambutnya
menjuntai ke bawah. Muka merah penuh darah. Matanya mengerikan. Putih semua.
Walau lututku terasa goyah, sudah tak kuat rasanya aku berdiri, namun aku
paksakan untuk meneliti keadaan dalam sana. Tapi hanya sebuah lubang kosong
melompong.
"Tenang
Yan, hanya halusinasi," ucapku menenagkan sambil memejamkan mata.
Bluk!!
Sebuah benda jatuh tepat menimpa kepalaku. Penuh rasa kejut aku membuka mata.
Saat cahaya senter memantul di benda jatuh tadi aku menjerit keras. Tiada henti
menyebut nama Allah. Memohon perlindungan atas gangguan mahluk halus.
Di
lantai berdebu, kotor dan menjijikan tergeletak sepotong kepala. Wajah kepala
itu hancur tak berupa. Matanya melotot, mulut ternganga. Darah menjijikan
menyelimuti seluruh bongkahan kepala itu.
"Kuntilanak....!!!"
Aku berteriak. Hilang sudah keberanianku untuk terus melanjutkan tujuan. Tidak
terpikir lagi untuk ngurusi soal satria. Tidak perduli lagi jika sekarang ada
yang mengatakan pengecut, bahkan penakut. Yang aku pikirkan sekarang adalah
lari, mencari selamat dari tempat ini.
Brukkk!!
Pintu tiba-tiba tertutup.
"Tolong
buka pintunya!!" teriakku sambil memutar-mutar grandel pintu. Tapi
percuma. Pintu itu terkunci.
"Ya
Allah, tolong aku. Aku gak mau mati." Dalam hati aku menyesali diri,
kenapa harus bersikap bodoh memutuskan datang kesini?
Aku
kembali menjerit, saat satu sosok putih melayang di atas ruangan. Seluruh tubuh
terbungkus kain kafan. Sosok itu menghilang dibalik dinding kamar. Tubuhku
menggigil menahan takut.
Drug...drug..drugg!!!
"Tolong buka pintunya." Kucoba tarik, menggedor, berharap ada yang
mendengar dari luar tapi sepertinya percuma. Kalaupun ada manusia yang
mendengar dari luar sana, tentu dia akan ketakutan.
"Aku
belum mau mati!" Baru saja aku terduduk lemas, dari arah kamar di mana
pocong tadi menghilang terdengar suara tangisan. Perempuan. Siapa? Suara itu
begitu menyayat hati. Aku begitu penasaran, tapi.... tidak mungkin aku melihat
ke sana. Aku tidak mau menjemput kematian.
"To_long
a-ku." Suaranya terdengar jauh seperti berada dalam sumur di kampung.
Bergetar dan mengerikan.
Rasa
takut yang begitu besar membuat aku semakin ketakutan. Tubuh mengigil.
Bagaimanapun caranya aku harus keluar dari tempat ini. Bergegas aku kembali
mencoba membuka pintu.
"Ahhhhh....."
Aku mendesah putus asa. Pintu iblis ini tidak bisa dibuka.
Suara
tangisan terhenti. Sesaat kemudian berubah menjadi tawa. Sedikit demi sedikit
tawa yang berada dalam kamar itu menjadi keras. Ketika sosok putih berambut
panjang muncul dari kamar aku menjerit ketakutan. Tak kuasa melihat rupa
menakutkan itu aku alihkan senter kejurusan lain. Jeritanku kembali menggelegar
saat ditempat itupun ada pocong yang berdiri mematung sejauh lima meter dari
tempatku. Mata mahluk itu berkapas. Bibir hancur dan hidung tersumbat kapas.
Wajah hitam dan merah penuh darah.
"Tidak,
aku tidak mau mati! Keluarkan aku! Aku mohon, jangan bunuh aku." Aku berteriak.
Meringkuk ketakutan. Namun hantu-hantu itu terus mendekat.
"Ya
Allah, tolong hambamu." Aku memohon perlindungan. Beberapa surat pendek
dari kitab suci al Quran aku baca. Bahkan ayat kursi yang katanya ampuh
mengusir setan terus-terusan aku kumandangkan. Tapi sosok menakutkan itu terus
mendekat kearahku. Jangankan mereka terbakar atau ketakutan, sedikit terganggu
dengan bacaanku pun tidak.
"Ampunn...!!!"
Aku berteriak lantang. Hantu-hantu itu semakin dekat. Ketika satu meter lagi
sampai padaku, aku memejamkan mata. Bau bangkai busuk mulai menusuk. Kepalaku
mendadak pusing. Perut terasa mual. Ingin muntah tapi tidak bisa. Saat tak bisa
berbuat apa, saat hawa putus asa menerpa saat pasrah yang aku bisa, saat
itulah, telingaku mendengar suara gelak tawa. Tawa yang tidak asing lagi di
telinga. Suara tawa itu semakin keras dan ramai. Ketika hatiku bertanya-tanya
dan menduga-duga, ruangan yang gelap gulita dan mengerikan itu berubah menjadi
terang benderang. Seluruh ruangan memang berantakan, tapi beberapa orang yang
keluar dari kamar tamu, kamar mandi dan dapur mengejutkanku.
"Kalian?"
seruku lantang dalam keterkejutan. "Jadi...?"
"Hahaha.....
kasihan sekali kau, Ryan." kata Dody.
"Katanya
pemberani, kok minta ampun ama Hantu sih," ledek Mila, lalu dia tertawa
dan diikuti dengan yang lainnya.
"Kalian
keterlaluan! Gak lucu tau!"
"Marah
nieeee... hihihi." Mila kembali meledek.
"Siapa
mereka?" Aku melihat kearah hantu-hantu tadi. Saat topeng itu mereka
lepas, aku mengenal semuanya. Dia bukan lain Ari, orang yang tadi kuajak ke
sini tidak mau. Sedang yang jadi kuntilanak Mita, cewek centil juga pernah aku
ajak tapi tidak mau. Rupanya aku jelas ditipu. Mereka memperdayaiku. Mereka
mengatur semuanya. Mereka mengerjaiku. Ahhh.... sialan!!
"Apa
maksud semua ini? Kalian bikin aku mau mati tau gak?"
"Maaf
Yan, hehe kita cuma iseng kok," kata Dody.
"Iseng
sih iseng, tapi ini terlalu berlebihan. Untung aku gak jantungan." Aku
berpaling ke Mita yang jadi kuntilanak. "Terus kepala tadi?"
"Hahaha...
masih penasaran dengan ini." Riki melempar sebuah benda. Aku segera
menangkap. Rupanya hanya sebuah boneka. Tapi darahnya nyata. Darah siapa?
Seperti tau apa yang ada dalam hatiku, Riki melanjutkan, "Itu darah ayam.
Dan cewek yang menangis tadi rekaman dari TV hahaha...."
"Kurang
ajar mereka!" makiku dalam hati.
"Terus
yang membuka dan menutup pintu itu siapa?" tanyaku yang masih penasaran.
Semua teman-teman tertawa.
"Lihat
di atasmu," seru Dody. Aku segera melaksanakan perintahnya. Beberapa tali
menjalar dimana-mana. Tali itu juga menuju kearah kamar. Masih penasaran dengan
pocong yang terbang tadi aku berlari menuju kamar. Di sana pocong tadi masih
tergantung. Aku segera mengambil. Rupanya hanya sebuah guling yang didesain
sedemikian rupa. Lagi-lagi mereka pakai boneka untuk wajahnya.
Aku
berpaling kearah sebelah kiri. Di kamar ini ada MP3 lengkap dengan speaker
aktifnya. Tidak bisa berkata apa, aku hanya mampu menggelengkan kepala.
"Kalian
telah berhasil membuat aku mati berdiri teman-teman." ucapku lantang saat
kembali ke tengah-tengah mereka.
"Kamu
ingin tau, siapa yang menutup pintu?" tanya Ari yang jadi pocong tadi.
Aku
mengangguk. Sesaat kemudian dari luar pintu terbuka. Rudi masuk sambil
cengengesan.
"Maaf
yah, aku kunci kamu dari luar hehe... habis perintahnya gitu sih," kata
Rudi. "Tapi kamu tau gak, aku hampir saja meledak tawanya saat mendengar
kamu teriak-teriak ketakutan hahaha...." Diikuti yang lain Rudi tertawa
bergelak-gelak. "Untung aku masih bisa nahan." lanjutnya di tengah
tawa.
"Untung
dia tidak kentut akibat nahan, hahaha...."
"Kampret
kalian!" Aku berpaling kearah Ari. Baru sadar, di tangan kanannya dia
menggenggam sesuatu. Aku mendekat dan tanpa berkata kuambil dari tangannya.
"Hueekkk!"
Aku membanting benda itu. Busuk! Rupanya bau ini yang membuat aku hampir muntah.
Melihat
kekonyolanku semua teman-teman kembali tertawa.
"Udah
tau bau, malah dicium, kau memang gila kawan."
"Bangkai
apa itu?"
"Kelinci.
Udah hampir seminggu." jelas Ari.
"Kamu
tahan berlama-lama memegang bangkai itu?"
"Kalo
gak disumpel pakai kapas, gak bakalan kali, haha...." kata Ari sambil
membuang kapas yang masih menyumpal di hidungnya.
"Sebenarnya
acara utamanya bukan ini."
Aku
berpaling kearah Dody. "Maksud kamu?"
"Acara
inti akan segera dimulai." Habis berkata Dody bertepuk tiga kali. Dari arah
dapur keluar tiga perempuan. Aku membeliakkan mata. Salah satu dari dua
perempuan itu adalah pacarku. Meyla. Rupanya dia juga ikut andil untuk
mengerjaiku. Tapi yang dibawa mereka membuat aku bertanya-tanya.
"Selamat
ulang tahun sayang." Meyla yang baru beberapa bulan jadi pacarku tersenyum
manis. Di tangannya ada kue ulang tahun untukku.
"Jadi...?"
"Aku
dan semua teman-teman menyiapkan kejutan besar ini hanya untukmu, sayang. Dan
adegan tegang tadi kuharap kau mau mengerti, kalo kami inging memberikan yang
spesial buat kamu. Silahkan tiup lilinnya." jelas Meyla penjang lebar.
"Tapi..."
"Eh,
soal tiup lilin nanti dulu!" seru Dody lantang. Suaranya yang keras
menghentikan ucapanku. "Ada permainan menarik. Seperti biasa hahaha...
Teman-teman, mari kita bermain-main." Mereka mengambil sesuatu dalam dus
yang dibawa Rita dan Yanti.
"Apa
lagi ini?" teriakku sambil berlari saat melihat mereka membawa beberapa
butir telor.
Brakkk!
Brakk brakk! Beberapa telor pecah menghantam tubuhku. Aku terpekik, melenguh
sedikit sakit. Tapi bukannya membuat mereka iba atau setidaknya memikirkan
perasaanku justru malah tertawa.
Wushhh!!
Debu putih berhambur di tubuh dari arah samping. Ari telah melayangkan
seplastik tepung. Ahhhh.... tubuhku yang lengket akibat cairan telur terlihat
seperti melepuh.
Byaarrrh!!
Belum puas sampai disitu mereka kembali menyiram aku. Kali ini dengan minyak
goreng. Aku berteriak meminta dihentikan. Tapi mereka semakin keras tawanya.
"Kalian
gila! Tubuhku kotor semua!" hardikku setengah marah.
"Wah,
kotor yah. Sini aku bersihkan pakai air."
Byaaarrhhh!!!
Rita akhiri ucapannya dengan menyiram aku.
"Kalian
keterlaluan! Dengarkan dulu penjelasanku!"
Semua
teman-teman tidak memperdulikanku. Mereka tertawa terbahak-bahak. Aku menatap
kesal mereka semua. Sesaat kemudian, tanpa berkata aku melangkah keluar.
"Eh,
mau kemana kamu?" Dody mencegah.
"Aku
mau pulang," jawabku perlahan.
"Tapi
ulang tahun kamu bagaimana?"
"Makasih
udah susah payah menyiapkan ini semua. Tapi kalian harus tau, ulang tahunku
bukan hari ini, ngerti?!'
"Apa...?"
"Hah,
kok bisa?"
"Gile!
Kenapa bisa gini?"
Semua
nampak terkejut. Mereka terbengong. Aku tau, mereka menyesal telah melakukan
tindakan konyol dan memalukan ini.
"Bukannya
dulu kau merayakan ulang tahun tanggal 2 November?" tanya Dody heran.
"Dulu
iya," kataku lemas.
"Sekarang?"tanya
mereka hampir bersamaan.
"Sekarang
juga iya, hahaha...." Aku tertawa puas. Walau sedikit tapi bisa membalas
kejengkelan.
"Huuuuu!!!"
Semua teman-teman bersorak kesal lantaran kena tipu. Aku yang tidak mau kotor
sendirian, berlari memeluk mereka satu persatu. Maka jadilah, rumah yang
katanya penuh hantu itu diselimuti suara pekik dan jeritan. Untung juga aku
bisa memeluk teman-teman perempuan tanpa ada rasa cemburu dari sang pujaan
hahaha....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar