Senin, 03 April 2017

CERPEN, UNDANGAN MISTERIUS


Undangan Misterius
Oleh: Rianto Adrelas
Komunitas Bisa Menulis

Di ujung komplek tempatku tinggal ada sebuah rumah. Rumah itu lumayan besar dan bahkan megah. Halaman yang luas nampak indah saat cahaya sang surya bersinar di rumput nan hijau. Tapi, itu dulu. Sekarang? Rumah itu tak ubahnya markas binatang malam. Ratusan kelelawar banyak berkeliaran di dalam bahkan sampai keluar. Jika malam tiba, rumah itu selalu menjadi buah bibir bagi para warga. Terutama penghuni rumah terdekat. Banyak cerita-cerita menakutkan dari mereka. Namun sejauh ini aku belum mempercayai, karena belum melihat dengan mata kepala sendiri.
Tepat jam sembilan malam aku sampai di pintu gerbang. Selama tiga tahun saat dibiarkan kosong baru pertama ini aku melihat langsung keadaannya. Rumah itu memang sungguh menyeramkan. Seluruh benda baik yang berbahan alami, seperti dedaunan dan ranting-ranting pohon juga rumput liar berserakan di mana-mana. Ditambah lagi dengan benda-benda hasil buatan manusia. Tembok rumah yang dulu mentereng dengan warna cerahnya, kini penuh dengan coretan dan gambar sosok manusia. Manusia yang sudah mati maksudku.
Sebelum turun dari motor, aku mengambil sebuah kertas yang bertuliskan kalimat mengundang, namun juga berupa tantangan sekaligus ejekan.
>>~~ Ratusan manusia menyangka, ribuan rahasia akan terungkap. Jika kau merasa manusia yang bersifat satria datang dan lihat segera! Orang penakut dan pengecut akan mengabaikan surat ini. Ribuan rahasia akan terkubur dalam rumah tanpa penghuni. Aku jamin kau tidak berani datang di rumah yang penuh tanda tanya. Kau akan menyesal jika datang saat siang hari. Lebih menyesal lagi jika mengabaikan surat ini.~~>>>>
Kurang lebih sudah 15 kali aku melihat dan membaca surat ini. Awalnya memang tak aku pedulikan. Tapi melihat kata-katanya, juga mendengar ucapan para tetangga jiwaku merasa tertantang. Rasa penasaran yang menggebu menjalar di seluruh tubuhku. "Aku bukan manusia pengecut, aku bukan lelaki penakut." ucapan itu yang selalu terlontar dalam benakku, saat membaca surat.
Kalian tentu bertanya-tanya, mengapa aku datang sendiri. Bukan karena aku sok berani, tapi karena keadaan yang memaksaku melakukan ini. Beberapa teman dekatku menolak aku ajak ke sini. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan aku gila karena mau saja ngurusi surat misterius menurut mereka.
"Kamu masih sadarkan, apa yang kamu ucapkan barusan?" kata salah seorang temanku saat aku ajak beberapa jam yang lalu. "Aku memang belum pernah melihat sendiri keadaan rumah itu, tapi dari cerita-cerita dan peringatan para tetua di sini sudah membuat aku berfikir ribuan kali untuk datang bahkan cuma melihat ke sana. Apa kamu lupa cerita Pak Soleh? Beliau hampir mati saat melihat tiga pocong yang hampir membunuhnya. Belum lagi cerita yang lainnya."
Krekk!! Aku membentangkan sepasang alis saat langkahku menginjak sesuatu. Pikiranku kembali sedikit lebih tenang ketika kutau hanya ranting kering yang tadi sempat mengejutkan hati. Perlahan aku terus melangkah. Walau aku sadar, rasa ngeri telah bersemayam dalam hati tapi aku harus tetap maju. Demi melihat semuanya, demi tau apa dan rahasia apa aku harus tetap sampai kedalam sana.
Ketika memasuki halaman keadaan semakin gelap. Lampu senter yang kubawa semakin kuperkecil titik fokusnya. Maksudnya untuk mempertajam pencahayaan, tapi rupanya tidak begitu membantu.
Wuttt!!! Tiba-tiba pintu terbuka. Aku terbelalak. Jantungku berdetak kencang, sedang aliran darahku semakin cepat.
"Apakah benar rumah ini berhantu?" batinku. Dengan dada berdebar aku terus melangkah, memasuki rumah itu. Tidak seperti di luar tadi, di sini langkah terasa sangat berat. Bulu kuduk mulai berdiri. Aku teringat kata-kata temanku, saat bulu kuduk berdiri, itu pertanda mahluk halus berada dekat di sisi kita. Semakin aku berfikir ke sana, semakin aku membenarkan perkataan temanku semakin merinding aku dibuatnya. Kini bukan bulu kuduk saja, tengkuk pun terasa dingin.
"Tuhan, kuatkan aku." Dalam hati aku terus berdo'a. Semoga tidak terjadi apa-apa.
Brakk!! Sebuah benda terbanting ke lantai. Secepat kilat aku berpaling ke arah sebelah kiri. Dalam keterkejutan aku berteriak, "Siapa itu?" Segera aku melangkah ke depan. "Langit-langit," dengusku saat mengetahui benda yang jatuh tadi. Senter aku arahkan ke atas.
Aku terbelalak. Teriakan keras meluncur dari mulut. Suaraku yang bergetar menggema dalam ruangan. Tangan yang memegang senter bergetar hebat. Dalam lubang bekas langit-langit atap tadi sekilas aku melihat sosok perempuan. Rambutnya menjuntai ke bawah. Muka merah penuh darah. Matanya mengerikan. Putih semua. Walau lututku terasa goyah, sudah tak kuat rasanya aku berdiri, namun aku paksakan untuk meneliti keadaan dalam sana. Tapi hanya sebuah lubang kosong melompong.
"Tenang Yan, hanya halusinasi," ucapku menenagkan sambil memejamkan mata.
Bluk!! Sebuah benda jatuh tepat menimpa kepalaku. Penuh rasa kejut aku membuka mata. Saat cahaya senter memantul di benda jatuh tadi aku menjerit keras. Tiada henti menyebut nama Allah. Memohon perlindungan atas gangguan mahluk halus.
Di lantai berdebu, kotor dan menjijikan tergeletak sepotong kepala. Wajah kepala itu hancur tak berupa. Matanya melotot, mulut ternganga. Darah menjijikan menyelimuti seluruh bongkahan kepala itu.
"Kuntilanak....!!!" Aku berteriak. Hilang sudah keberanianku untuk terus melanjutkan tujuan. Tidak terpikir lagi untuk ngurusi soal satria. Tidak perduli lagi jika sekarang ada yang mengatakan pengecut, bahkan penakut. Yang aku pikirkan sekarang adalah lari, mencari selamat dari tempat ini.
Brukkk!! Pintu tiba-tiba tertutup.
"Tolong buka pintunya!!" teriakku sambil memutar-mutar grandel pintu. Tapi percuma. Pintu itu terkunci.
"Ya Allah, tolong aku. Aku gak mau mati." Dalam hati aku menyesali diri, kenapa harus bersikap bodoh memutuskan datang kesini?
Aku kembali menjerit, saat satu sosok putih melayang di atas ruangan. Seluruh tubuh terbungkus kain kafan. Sosok itu menghilang dibalik dinding kamar. Tubuhku menggigil menahan takut.
Drug...drug..drugg!!! "Tolong buka pintunya." Kucoba tarik, menggedor, berharap ada yang mendengar dari luar tapi sepertinya percuma. Kalaupun ada manusia yang mendengar dari luar sana, tentu dia akan ketakutan.
"Aku belum mau mati!" Baru saja aku terduduk lemas, dari arah kamar di mana pocong tadi menghilang terdengar suara tangisan. Perempuan. Siapa? Suara itu begitu menyayat hati. Aku begitu penasaran, tapi.... tidak mungkin aku melihat ke sana. Aku tidak mau menjemput kematian.
"To_long a-ku." Suaranya terdengar jauh seperti berada dalam sumur di kampung. Bergetar dan mengerikan.
Rasa takut yang begitu besar membuat aku semakin ketakutan. Tubuh mengigil. Bagaimanapun caranya aku harus keluar dari tempat ini. Bergegas aku kembali mencoba membuka pintu.
"Ahhhhh....." Aku mendesah putus asa. Pintu iblis ini tidak bisa dibuka.
Suara tangisan terhenti. Sesaat kemudian berubah menjadi tawa. Sedikit demi sedikit tawa yang berada dalam kamar itu menjadi keras. Ketika sosok putih berambut panjang muncul dari kamar aku menjerit ketakutan. Tak kuasa melihat rupa menakutkan itu aku alihkan senter kejurusan lain. Jeritanku kembali menggelegar saat ditempat itupun ada pocong yang berdiri mematung sejauh lima meter dari tempatku. Mata mahluk itu berkapas. Bibir hancur dan hidung tersumbat kapas. Wajah hitam dan merah penuh darah.
"Tidak, aku tidak mau mati! Keluarkan aku! Aku mohon, jangan bunuh aku." Aku berteriak. Meringkuk ketakutan. Namun hantu-hantu itu terus mendekat.
"Ya Allah, tolong hambamu." Aku memohon perlindungan. Beberapa surat pendek dari kitab suci al Quran aku baca. Bahkan ayat kursi yang katanya ampuh mengusir setan terus-terusan aku kumandangkan. Tapi sosok menakutkan itu terus mendekat kearahku. Jangankan mereka terbakar atau ketakutan, sedikit terganggu dengan bacaanku pun tidak.
"Ampunn...!!!" Aku berteriak lantang. Hantu-hantu itu semakin dekat. Ketika satu meter lagi sampai padaku, aku memejamkan mata. Bau bangkai busuk mulai menusuk. Kepalaku mendadak pusing. Perut terasa mual. Ingin muntah tapi tidak bisa. Saat tak bisa berbuat apa, saat hawa putus asa menerpa saat pasrah yang aku bisa, saat itulah, telingaku mendengar suara gelak tawa. Tawa yang tidak asing lagi di telinga. Suara tawa itu semakin keras dan ramai. Ketika hatiku bertanya-tanya dan menduga-duga, ruangan yang gelap gulita dan mengerikan itu berubah menjadi terang benderang. Seluruh ruangan memang berantakan, tapi beberapa orang yang keluar dari kamar tamu, kamar mandi dan dapur mengejutkanku.
"Kalian?" seruku lantang dalam keterkejutan. "Jadi...?"
"Hahaha..... kasihan sekali kau, Ryan." kata Dody.
"Katanya pemberani, kok minta ampun ama Hantu sih," ledek Mila, lalu dia tertawa dan diikuti dengan yang lainnya.
"Kalian keterlaluan! Gak lucu tau!"
"Marah nieeee... hihihi." Mila kembali meledek.
"Siapa mereka?" Aku melihat kearah hantu-hantu tadi. Saat topeng itu mereka lepas, aku mengenal semuanya. Dia bukan lain Ari, orang yang tadi kuajak ke sini tidak mau. Sedang yang jadi kuntilanak Mita, cewek centil juga pernah aku ajak tapi tidak mau. Rupanya aku jelas ditipu. Mereka memperdayaiku. Mereka mengatur semuanya. Mereka mengerjaiku. Ahhh.... sialan!!
"Apa maksud semua ini? Kalian bikin aku mau mati tau gak?"
"Maaf Yan, hehe kita cuma iseng kok," kata Dody.
"Iseng sih iseng, tapi ini terlalu berlebihan. Untung aku gak jantungan." Aku berpaling ke Mita yang jadi kuntilanak. "Terus kepala tadi?"
"Hahaha... masih penasaran dengan ini." Riki melempar sebuah benda. Aku segera menangkap. Rupanya hanya sebuah boneka. Tapi darahnya nyata. Darah siapa? Seperti tau apa yang ada dalam hatiku, Riki melanjutkan, "Itu darah ayam. Dan cewek yang menangis tadi rekaman dari TV hahaha...."
"Kurang ajar mereka!" makiku dalam hati.
"Terus yang membuka dan menutup pintu itu siapa?" tanyaku yang masih penasaran. Semua teman-teman tertawa.
"Lihat di atasmu," seru Dody. Aku segera melaksanakan perintahnya. Beberapa tali menjalar dimana-mana. Tali itu juga menuju kearah kamar. Masih penasaran dengan pocong yang terbang tadi aku berlari menuju kamar. Di sana pocong tadi masih tergantung. Aku segera mengambil. Rupanya hanya sebuah guling yang didesain sedemikian rupa. Lagi-lagi mereka pakai boneka untuk wajahnya.
Aku berpaling kearah sebelah kiri. Di kamar ini ada MP3 lengkap dengan speaker aktifnya. Tidak bisa berkata apa, aku hanya mampu menggelengkan kepala.
"Kalian telah berhasil membuat aku mati berdiri teman-teman." ucapku lantang saat kembali ke tengah-tengah mereka.
"Kamu ingin tau, siapa yang menutup pintu?" tanya Ari yang jadi pocong tadi.
Aku mengangguk. Sesaat kemudian dari luar pintu terbuka. Rudi masuk sambil cengengesan.
"Maaf yah, aku kunci kamu dari luar hehe... habis perintahnya gitu sih," kata Rudi. "Tapi kamu tau gak, aku hampir saja meledak tawanya saat mendengar kamu teriak-teriak ketakutan hahaha...." Diikuti yang lain Rudi tertawa bergelak-gelak. "Untung aku masih bisa nahan." lanjutnya di tengah tawa.
"Untung dia tidak kentut akibat nahan, hahaha...."
"Kampret kalian!" Aku berpaling kearah Ari. Baru sadar, di tangan kanannya dia menggenggam sesuatu. Aku mendekat dan tanpa berkata kuambil dari tangannya.
"Hueekkk!" Aku membanting benda itu. Busuk! Rupanya bau ini yang membuat aku hampir muntah.
Melihat kekonyolanku semua teman-teman kembali tertawa.
"Udah tau bau, malah dicium, kau memang gila kawan."
"Bangkai apa itu?"
"Kelinci. Udah hampir seminggu." jelas Ari.
"Kamu tahan berlama-lama memegang bangkai itu?"
"Kalo gak disumpel pakai kapas, gak bakalan kali, haha...." kata Ari sambil membuang kapas yang masih menyumpal di hidungnya.
"Sebenarnya acara utamanya bukan ini."
Aku berpaling kearah Dody. "Maksud kamu?"
"Acara inti akan segera dimulai." Habis berkata Dody bertepuk tiga kali. Dari arah dapur keluar tiga perempuan. Aku membeliakkan mata. Salah satu dari dua perempuan itu adalah pacarku. Meyla. Rupanya dia juga ikut andil untuk mengerjaiku. Tapi yang dibawa mereka membuat aku bertanya-tanya.
"Selamat ulang tahun sayang." Meyla yang baru beberapa bulan jadi pacarku tersenyum manis. Di tangannya ada kue ulang tahun untukku.
"Jadi...?"
"Aku dan semua teman-teman menyiapkan kejutan besar ini hanya untukmu, sayang. Dan adegan tegang tadi kuharap kau mau mengerti, kalo kami inging memberikan yang spesial buat kamu. Silahkan tiup lilinnya." jelas Meyla penjang lebar.
"Tapi..."
"Eh, soal tiup lilin nanti dulu!" seru Dody lantang. Suaranya yang keras menghentikan ucapanku. "Ada permainan menarik. Seperti biasa hahaha... Teman-teman, mari kita bermain-main." Mereka mengambil sesuatu dalam dus yang dibawa Rita dan Yanti.
"Apa lagi ini?" teriakku sambil berlari saat melihat mereka membawa beberapa butir telor.
Brakkk! Brakk brakk! Beberapa telor pecah menghantam tubuhku. Aku terpekik, melenguh sedikit sakit. Tapi bukannya membuat mereka iba atau setidaknya memikirkan perasaanku justru malah tertawa.
Wushhh!! Debu putih berhambur di tubuh dari arah samping. Ari telah melayangkan seplastik tepung. Ahhhh.... tubuhku yang lengket akibat cairan telur terlihat seperti melepuh.
Byaarrrh!! Belum puas sampai disitu mereka kembali menyiram aku. Kali ini dengan minyak goreng. Aku berteriak meminta dihentikan. Tapi mereka semakin keras tawanya.
"Kalian gila! Tubuhku kotor semua!" hardikku setengah marah.
"Wah, kotor yah. Sini aku bersihkan pakai air."
Byaaarrhhh!!! Rita akhiri ucapannya dengan menyiram aku.
"Kalian keterlaluan! Dengarkan dulu penjelasanku!"
Semua teman-teman tidak memperdulikanku. Mereka tertawa terbahak-bahak. Aku menatap kesal mereka semua. Sesaat kemudian, tanpa berkata aku melangkah keluar.
"Eh, mau kemana kamu?" Dody mencegah.
"Aku mau pulang," jawabku perlahan.
"Tapi ulang tahun kamu bagaimana?"
"Makasih udah susah payah menyiapkan ini semua. Tapi kalian harus tau, ulang tahunku bukan hari ini, ngerti?!'
"Apa...?"
"Hah, kok bisa?"
"Gile! Kenapa bisa gini?"
Semua nampak terkejut. Mereka terbengong. Aku tau, mereka menyesal telah melakukan tindakan konyol dan memalukan ini.
"Bukannya dulu kau merayakan ulang tahun tanggal 2 November?" tanya Dody heran.
"Dulu iya," kataku lemas.
"Sekarang?"tanya mereka hampir bersamaan.
"Sekarang juga iya, hahaha...." Aku tertawa puas. Walau sedikit tapi bisa membalas kejengkelan.
"Huuuuu!!!" Semua teman-teman bersorak kesal lantaran kena tipu. Aku yang tidak mau kotor sendirian, berlari memeluk mereka satu persatu. Maka jadilah, rumah yang katanya penuh hantu itu diselimuti suara pekik dan jeritan. Untung juga aku bisa memeluk teman-teman perempuan tanpa ada rasa cemburu dari sang pujaan hahaha....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar